(IslamToday ID) – Meski penyusunan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) sudah terjadi sejak 2018, namun Komisi VII DPR tidak ingin gegabah. Hal ini guna mengakomodir kepentingan semua pihak.
Anggota Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mengatakan saat ini DPR masih akan terus menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) guna mendengarkan aspirasi dan masukan berbagai pihak.
“Sampai saat ini RDPU kami nggak mau gegabah, kita masih mau memanggil pihak yang lebih banyak. Karena mengingat urgensi UU ini cukup positif,” katanya seperti dikutip dari Kata Data, Selasa (27/4/2021) dalam sebuah acara diskusi secara virtual.
Komisi VII sebelumnya menargetkan RUU EBT dapat rampung pada Oktober 2021. Untuk diskusinya, saat ini telah masuk pembahasan naskah akademik dan meminta masukan dari berbagai pihak. “Insya Allah tahun ini kami selesaikan,” ujar Maman pada kesempatan berbeda.
Ia menjelaskan terkait energi baru dan terbarukan sudah diatur dalam UU Energi No 30 Tahun 2007, walaupun implementasinya masih banyak terkendala dan belum maksimal. Makanya di DPR saat ini tengah berdebat dan akan mendorong pembuatan UU baru atau merevisi UU No 37 Tahun 2007 ini.
“Kalau buat undang-undang baru, UU No 37 mau diapain? Yang jelas substansi prinsipnya ada dua hal, prinsipnya mengejar target angka bauran energi di 23 persen sekarang di 11 persen. Kedua mandatori isu international menekan emisi karbon,” jelasnya.
Maman menjelaskan Indonesia saat ini sudah semangat menurunkan emisi karbon. Tapi jangan sampai penurunan emisi karbon ini menjadi tidak ekonomis terkait penggunaan energi fosil.
“Jangan nanti sumber energi yang sudah bagus kita singkirkan. Perangkat RUU ini diharapkan bisa menggapai semua sektor hingga ketemu titik ekuilibrium dengan urusan keekonomian. Juga pemangkasan birokrasi, ini yang jadi concern kami di DPR,” kata Maman.
“Selain itu posisi kita dari batu bara dan gas melimpah itu jadi concern DPR, gimana menaikkan devisa negara dari batu bara dan gas. Jangan sampai kita menelantarkan SDA dari dua ini. Semangat kita EBT ditunjukkan dan dipersiapkan, tapi tanpa meninggalkan yang sudah ada,” tambahnya.
Diubah Menjadi RUU ET
Sementara itu, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar mengusulkan supaya RUU EBT hanya fokus ke energi terbarukan. Sehingga RUU EBT seharusnya diubah menjadi RUU ET. Kemudian mulai dari perencanaan, pengadaan, dan pengoperasian harus mengutamakan energi terbarukan.
Artinya, selama energi terbarukan masih ada, maka teknologi lain diharapkan tidak masuk dalam perencanaan, pengadaan, dan pengoperasian. Adapun jika dikaitkan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disusun PLN dan telah disahkan pemerintah, ini berarti di setiap RUPTL hanya memasukkan energi terbarukan, tidak akan ada pengembangan energi non-terbarukan.
Kemudian pentingnya penerapan standar portofolio energi terbarukan. Artinya pemilik pembangkit energi berbasis fosil yang masih beroperasi saat ini harus juga berinvestasi di energi terbarukan. “Atau mengkonversi sebagian kapasitas yang dimiliki ke energi terbarukan,” katanya.
Namun jika perusahaan tidak mampu, maka mereka harus membeli sertifikat energi terbarukan, yaitu sertifikat yang diterbitkan untuk pembangkit energi terbarukan.
Selain itu, ia juga meminta agar pemerintah membentuk Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET). Ini menjadi sangat penting agar implementasi dari kebijakan dapat lebih terarah dan efisien. “Badannya seperti SKK Migas, tugas-tugasnya juga mirip dengan SKK Migas,” ujarnya.
Dengan porsi pemanfaatan energi terbarukan ke depan yang akan lebih tinggi, maka diperlukan badan independen yang akan menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk mencapai target-target pembangunan energi terbarukan.
Keberlangsungan Korporasi PLN
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengungkapkan RUU EBT yang tengah disusun pemerintah bersama dengan DPR akan mengakselerasi kebutuhan pengembangan EBT di Indonesia.
“RUU EBT ini sifatnya percepatan, karena harus melipatgandakan realisasinya dan magnitudenya besar. Misalnya untuk listrik, kalau kita mau naik dua kali lipat, berarti harus menaikkan (EBT) sampai 12.000 Gigawatt dalam lima tahun,” kata Dadan.
Selain meningkatkan koordinasi dan sinergi antar sektor, keberadaan aturan EBT diharapkan mampu mempercepat dari sisi proses-proses investasi. Hal ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara nasional, baik dari segi EBT maupun ekonominya.
Salah satu sisi keekonomian yang disorot Dadan adalah keberlangsungan korporasi PLN, dimana ia berharap upaya transisi energi akan memberikan dampak positif bagi finansial PLN. “Masuknya EBT yang berbasis listrik justru akan memperbaiki kasnya PLN,” katanya.
Dadan menekankan EBT harus mampu menciptakan keekonomian yang efisien dengan masuk ke level daya saing yang baik terhadap energi fosil. Jangan sampai jatuh pada nilai keekonomian yang tinggi.
“Jadi EBT punya solusi di dua sisi, yakni menyediakan listrik yang lebih baik dan bersih serta menjadi penyedia tenaga kerja yang berkelanjutan,” katanya.
Menurutnya, EBT bukan hanya memiliki dampak positif terhadap lingkungan, melainkan juga mengikuti tren perekonomian, di mana negara-negara maju kini ramai-ramai menuju transisi energi, terutama dengan negara-negara tujuan ekspor yang mulai fokus pada sumber jejak karbon sebuah produk. [wip]