(IslamToday ID) – Untuk yang kesekian kalinya, pemerintah menegaskan bahwa tidak akan mencabut UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena masih diperlukan.
“Undang-Undang ITE masih sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan menghukumi, bukan menghukum ya, dan menghukumi dunia digital. Masih sangat dibutuhkan. Jadi, tidak akan ada pencabutan Undang-Undang ITE,” kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (29/4/2021).
Namun, lanjut Mahfud yang memberikan keterangan pers melalui YouTube Kemenko Polhukam usai menggelar rapat bersama Kemenkominfo, Kejagung dan Polri akan ada merevisi UU ITE secara terbatas.
“Ada revisi semantik atau revisi terbatas yang sangat kecil,” katanya seperti dikutip dari Law-Justice.
Revisi terbatas itu yaitu penambahan beberapa aspek dalam pasal yang dianggap multitafsir, salah satunya memasukkan penjelasan pada sejumlah pasal di UU ITE.
“Seperti, misalnya, apa sih penistaan itu? Apa sih fitnah itu? Apa sih? Jadi dijelaskan,” tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Mahfud menuturkan tujuan penambahan penjelasan agar ketentuan yang dianggap pasal karet tidak disalahgunakan, sehingga seluruh pihak memahami konteks regulasi tersebut.
“Sehingga tidak sembarang orang yang berdebat lalu dianggap onar,” jelasnya.
Revisi terbatas juga akan menambahkan satu pasal dalam UU ITE. Penambahan pasal untuk memperkuat ketentuan yang ada. “Memang kemudian untuk memperkuat itu ada satu penambahan pasal yaitu pasal 45 C,” tuturnya.
Mahfud menambahkan dibutuhkan pedoman untuk menghindari salah tafsir dalam menerapkan UU ITE. Oleh sebab itu, pemerintah akan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian/lembaga, yakni Kemenkominfo, Kejagung, dan Polri.
“Untuk mengatasi kecenderungan salah tafsir dan ketidaksamaan penerapan, maka dibuatlah pedoman teknis dan kriteria implementasi yang nanti akan diwujudkan dalam bentuk SKB tiga kementerian dan lembaga, yaitu Menkominfo, Kejagung, dan Polri,” papar Mahfud.
Bentuknya nanti akan seperti buku saku, yang akan diedarkan ke masyarakat hingga polisi dan jaksa.
Jejak “Berdarah” UU ITE
Sepanjang tahun 2020, UU ITE masih menjerat sejumlah orang karena bersuara lantang. UU ITE kerap dianggap sebagai pasal karet untuk membungkam para pihak yang kritis maupun berseberangan dengan pemerintah.
Berdasarkan data monitoring dan pengaduan yang dicatat Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sejak Januari hingga Oktober, ada 35 kasus pemidanaan menggunakan pasal-pasal dalam UU yang pertama kali disahkan pada 21 April 2008 itu.
Dari 35 kasus itu, pasal yang paling banyak digunakan adalah Pasal 28 ayat (2) sebanyak 14 kasus, Pasal 28 ayat (1) sebanyak 11 kasus, pasal gabungan sebanyak 6 kasus, dan Pasal 27 ayat (3) sebanyak 4 kasus.
Berikut rangkuman kasus terkait UU ITE di 2020, beberapa dari mereka berstatus tersangka hingga terpidana:
1. Said Didu
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu ke Bareskrim Polri.
Laporan tersebut dibuat kuasa hukum Luhut, Arief Patramijaya dan terdaftar dengan nomor LP/B/0187/IV/2020/Bareskrim tertanggal 8 April 2020.
Polemik Said dan Luhut bermula melalui sebuah video yang diunggah Said di kanal YouTube pribadinya dengan judul “MSD: Luhut hanya pikirkan uang, uang, dan uang”.
Said dilaporkan dengan Pasal 45 ayat (3), Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dan Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Tidak hanya itu, Said Didu kembali dilaporkan ke Bareskrim Polri belum lama ini. Laporan terkait cuitannya yang diduga menghina Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Said Didu dilaporkan oleh Ketua Pimpinan Anak Cabang Ansor Jagakarsa, Wawan atas nama pribadi ke Baresrim Polri. Laporan dilakukan karena Said Didu diduga melanggar Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) dan/atau Pasal 207 KUHP.
2. Ravio Patra
Peneliti kebijakan publik dan pegiat demokrasi, Ravio Patra ditangkap oleh aparat kepolisian pada 22 April 2020.
Kasubdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Dwiasi Wiyatputera mengatakan penangkapan Ravio berawal dari laporan tentang ajakan untuk melakukan penjarahan nasional pada 24 April 2020. Laporan itu tertuang dalam nomor laporan LP/473/IV/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ.
Ravio diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 huruf A ayat (2) UU ITE juncto Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2) atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 160 KUHP.
Setelah sempat ditahan, Ravio akhirnya dibebaskan. Saat itu Ravio berstatus saksi, meski sebelumnya sempat dinyatakan tersangka penyebaran ujaran kebencian oleh kepolisian.
3. Gus Nur
Sugi Nur Raharja atau yang lebih akrab dikenal Gus Nur ditangkap aparat kepolisian di kediamannya, Malang pada Sabtu, 24 Oktober 2020 dini hari. Selepas ditangkap Gus Nur ditetapkan tersangka ujaran kebencian dan penghinaan terhadap Nahdlatul Ulama (NU).
Penangkapan itu menindaklanjuti laporan Ketua Pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Cirebon Aziz Hakim ke Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/0596/X/2020/Bareskrim tertanggal 21 Oktober 2020.
Gus Nur disangkakan telah melanggar Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) dan/atau Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan/atau Pasal 156 KUHP dan atau Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP.
Belum lama ini, Bareskrim Polri telah merampungkan berkas penyidikan kasus yang menjerat Gus Nur.
Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono mengatakan pihaknya telah melimpahkan barang bukti dan tersangka ke kejaksaan alias pelimpahan tahap II pada Rabu (23/12/2020). Kini kasus Gus Nur sudah masuk persidangan.
4. Jerinx
Majelis Hakim PN Denpasar menjatuhkan vonis 1 tahun 2 bulan penjara kepada I Gede Ari Astina alias Jerinx dalam kasus ujaran kebencian “IDI Kacung WHO” pada November 2020 lalu. Vonis hakim itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yakni tiga tahun penjara.
Jerinx dinilai melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 54A ayat (2) UU ITE juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pusaran kasus Jerinx ini terjadi lantaran unggahan “Kacung WHO” yang ia posting di instagram pribadinya (@jrxsid). Penabuh drum Superman is Dead (SID) itu mengunggah sebuah gambar tulisan pada akun Instagram-nya pertengahan Juni lalu.
Tulisan dalam gambar itu berbunyi, “Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites CV19. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tesnya bikin stres dan menyebabkan kematian pada bayi/ibunya, siapa yang tanggung jawab?”
Imbas unggahan tersebut, IDI Bali lantas melaporkan Jerinx kepada Polda Bali pada Selasa (16/6/2020). IDI menilai unggahan Jerinx yang menyebut IDI dan RS adalah kacung WHO merupakan fitnah dan telah mencoreng nama IDI.
5. Ustaz Maaher
Polisi menangkap Soni Ernata alias Ustaz Maaher At-Thuwailib di kediamannya di wilayah Bogor, Jawa Barat pada Kamis (3/12/2020) dini hari.
Penangkapan itu dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri terhadap Maaher yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Maaher sebelumnya dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik. Maaher diduga menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian, permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu. Maaher diduga melanggar Pasal 45 ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Namun kini kasus ini dihentikan karena Maaher meninggal dunia saat ditahan.
6. Haikal Hassan
Juru Bicara PA 212 Haikal Hassan dilaporkan oleh seseorang bernama Husin Shahab. Laporan diproses dengan nomor LP/7433/XII/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ tertanggal 14 Desember 2020. Pihak terlapor adalah pemilik akun Twitter @wattisoemarsono dan Haikal Hassan.
Laporan itu buntut dari penyataan Haikal soal mimpi bertemu Rasulullah. Ia menyampaikan pernyataan itu saat memberikan sambutan pada prosesi pemakaman anggota laskar FPI di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengawal Habib Rizieq Shihab diketahui tewas dalam insiden bentrok antara polisi dan FPI di jalan tol Jakarta-Cikampek pada Senin (7/12/2020) dini hari.
Haikal diduga melakukan penyebaran berita bohong dan penodaan agama yang menyebabkan keonaran dan rasa kebencian Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan atau Pasal 156 huruf a KUHP dan atau Pasal 14, Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
7. Munarman
Eks Sekretaris Umum FPI, Munarman dilaporkan ke Polda Metro Jaya lantaran menyebut enam laskar yang tewas tertembak dalam bentrokan dengan polisi tidak membawa senjata api.
Munarman dilaporkan oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya sebagai Barisan Ksatria Nusantara atas dugaan penghasutan dan berita bohong.
Munarman diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (22) UU ITE dan atau Pasal 14, Pasal 15 UU No 1 Tahun 1996 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 160 KUHP.
Penegakan Hukum
Rencana revisi UU ITE masih terus bergulir hingga hari ini, ditandai dengan pertemuan Tim Kajian UU ITE dengan pakar dan publik.
Pengajar Hukum Telematika di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim berpendapat isu mengenai UU ITE sebenarnya terletak pada penegakan hukum, jika melihat rekam jejak setelah undang-undang tersebut diterapkan.
“Faktanya, UU ITE pernah diuji konstitusional dan hasilnya (dinyatakan) konstitusional,” kata Edmon, Sabtu 10 April 2021.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta pemerintah dan wakil rakyat di DPR RI untuk merevisi UU ITE jika dirasa belum bisa memberikan rasa keadilan.
UU ITE pernah direvisi pada 2016, yaitu UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menurut Edmon, UU ITE kala itu direvisi dengan urgensi yang sama, ada sejumlah pasal yang menimbulkan multitafsir sehingga bisa disalahgunakan.
Menurutnya, diskusi mengenai revisi UU ITE semestinya tidak melulu berkutat pada substansi, melihat implementasi undang-undang ini yang sering disalahgunakan. Ia melihat ada isu pada penegakan hukum.
“Kalau disalahgunakan berarti ada pihak yang menyalahgunakan, bagaimana hal itu bisa disalahgunakan,” kata Edmon.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar menilai pasal-pasal yang perlu direvisi dari UU ITE kebanyakan adalah yang berhubungan dengan pidana, yaitu pasal 27, 28, dan 29.
Pasal-pasal tersebut dijuluki pasal karet karena seringkali menimbulkan multitafsir ketika diimplementasikan.
Tak hanya tentang pasal yang berkaitan dengan tindak pidana, ELSAM juga mempertanyakan ketentuan mengenai tata kelola konten internet dan sejumlah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang belum direspons UU ITE, misalnya tentang penggunaan kecerdasan buatan dan soal disinformasi.
“Di Indonesia selalu ada perdebatan tentang aturan disinformasi, belum ada rujukan yang komprehensif dan detail, selama ini tindakannya selalu pidana,” kata Wahyudi.
Revisi atau Tidak?
Edmon melihat tidak perlu membuat pasal baru untuk UU ITE, namun ketika pasal-pasal lama tidak optimal, maka harus ada pasal yang merupakan kualifisir dari kejahatan yang ada.
Ia mencontohkan kualifisir pasal berdasarkan yang sudah ada, ketika di KUHP terdapat pasal mengenai penghinaan, maka di UU ITE diperjelas bahwa penghinaan juga termasuk mendistribusikan dan membuat informasi tersebut bisa diakses.
Sementara bagi ELSAM, akan lebih baik jika ada amandemen menyeluruh karena masalah UU ITE tidak hanya soal pasal yang berkaitan dengan pidana.
“Kalau didorong amandemen, akan lebih baik ketika amandemen menyeluruh, tidak terbatas hanya untuk pasal yang berkaitan dengan pidana. Apalagi kalau disempitkan perubahan untuk pasal 27 ayat 3 atau pasal 28 ayat 2,” kata Wahyudi.
Menurut Wahyudi, UU ITE saat ini bersifat sapu jagat alias mencakup semua hal tentang informasi dan transaksi elektronik, sehingga beberapa hal tidak terperinci dan menimbulkan interpretasi.
Jika memang diamandemen secara menyeluruh, perlu diperhatikan juga model legilasi seperti apa untuk undang-undang ini, apakah bersifat sapu jagat seperti sekarang ini atau diturunkan ke beberapa legislasi, misalnya ada undang-undang khusus tentang kejahatan siber dan satu undang-undang khusus tentang transaksi elektronik.
Pun ketika dituangkan dalam satu undang-undang seperti UU ITE sekarang, perlu dipastikan juga tidak menimbulkan multitafsir lagi.
Berbicara mengenai kebebasan berekspresi, isu mengenai ini juga berkaitan dengan UU ITE, Edmon mengingatkan bahwa dalam konvensi International Covenant on Civil and Political Rights, kebebasan berekspresi tidak berarti bebas mutlak, tidak ada aturan sama sekali.
Dalam kebebasan berekspresi, ada kewajiban dan tanggung jawab untuk menghargai orang lain. “Jadi kebebasan itu bukan absolut, tidak boleh disalahgunakan untuk menyerang orang lain,” kata Edmon.
Tim Kajian UU ITE
Pemerintah merespons isu revisi UU ITE ini dengan membentuk Tim Kajian UU ITE beranggotakan perwakilan dari tiga kementerian, yaitu Kemenko Polhukam, Kemenkominfo, dan Kemenkumham.
Tim ini bertugas mengkaji pasal-pasal yang selama ini dianggap publik perlu direvisi.
Pengarah Tim Kajian UU ITE terdiri dari Menko Polhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, Menkominfo Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Tim pelaksana UU ITE dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam, Sugeng Purnomo, terbagi menjadi Sub Tim I Perumus Kriteria Penerapan UU ITE, yang diketuai Staf Ahli Menkominfo bidang Hukum Henri Subiakto dan Sub Tim II Telaah Substasi UU ITE oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana.
Pertengahan Maret 2021 lalu, Tim Kajian UU ITE bertemu dengan pakar, baik ahli hukum hingga aktivis pegiat kebebasan berekspresi, hingga perwakilan publik seperti selebritas Nikita Mirzani dan pembawa acara Deddy Corbuzier untuk dimintai masukan seputar regulasi tersebut. [wip]