(IslamToday ID) – Praktik korupsi yang terjadi selama dua dekade terakhir nilainya sungguh fantastis. Jika diakumulasi jumlah kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi itu mencapai puluhan triliun.
Kasus-kasus korupsi itu diantaranya Asabri, Jiwasraya, skandal BLBI, pengadaan e-KTP, proyek Hambalang, dan lainnya. Hingga kini sebagian dari kasus itu masih dalam proses penyidikan, dan sebagian yang lain tak jelas penyelesaiannya.
Kasus Korupsi PT Asabri
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan perhitungan sementara kerugian negara pada kasus korupsi PT Asabri (Persero) tembus Rp 23,7 triliun. Perhitungan ulang kerugian negara masih dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan kronologi kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi oleh Asabri.
Ia menyebutkan pada tahun 2012 hingga 2019, Direktur Utama, Direktur Investasi dan Keuangan, serta Kadiv Investasi Asabri bersepakat dengan pihak di luar Asabri yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi yaitu Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman Purnomosidi.
Mereka bersepakat untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio Asabri dengan saham-saham milik Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro, dan Lukman dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi dengan tujuan agar kinerja portofolio Asabri terlihat seolah-olah baik.
Setelah saham-saham tersebut menjadi milik Asabri, kemudian saham-saham tersebut ditransaksikan atau dikendalikan oleh Heru, Benny, dan Lukman berdasarkan kesepakatan bersama dengan Direksi Asabri.
Dengan transaksi itu, sehingga seolah-olah saham tersebut bernilai tinggi dan likuid, padahal transaksi-transaksi yang dilakukan hanya transaksi semu dan menguntungkan Heru, Benny, dan Lukman, serta merugikan investasi Asabri.
Ini karena Asabri menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga dibawah harga perolehan saham-saham tersebut.
Untuk menghindari kerugian investasi Asabri, maka saham-saham yang telah dijual di bawah harga perolehan, dibeli kembali dengan nomine Heru, Benny, dan Lukman, serta dibeli lagi oleh Asabri melalui underlying reksadana yang dikelola oleh manajer investasi yang dikendalikan oleh Heru dan Benny.
Seluruh kegiatan investasi Asabri pada 2012 sampai 2019 tidak dikendalikan oleh Asabri, namun seluruhnya dikendalikan oleh Heru, Benny dan Lukman.
Leonard menyebut kasus dugaan korupsi Asabri ini merugikan keuangan negara sebesar Rp 23,7 triliun. Jaksa penyidik Jampidsus Kejagung telah menetapkan delapan tersangka dalam penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi oleh PT Asabri.
Skandal BLBI
Jika ditarik ke belakang, pada 1997-1998 terjadi krisis moneter (krismon) yang diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Setelah adanya paket deregulasi perbankan Oktober 1988 (Pakto 88), bank-bank baru bermunculan seiring kemudahan izin mendirikan bank. Saat itu orang bisa bikin bank hanya dengan modal Rp 1 miliar.
Kendati demikian booming perbankan tidak dibarengi dengan manajerial yang tepat. Akibatnya, saat kurs rupiah jeblok, utang valas perbankan membengkak. Di saat yang sama, debitur yang terpapar krisis kesulitan membayar kewajiban valasnya kepada perbankan.
Bank Indonesia dan Menteri Keuangan yang kala itu juga dijabat Sri Mulyani Indrawati kemudian menyepakati penyelesaian dengan BLBI, melalui berbagi beban (burden sharing). Bank sentral menanggung beban Rp 24,5 triliun, sisanya jadi tanggungan pemerintah.
Pada Oktober 1997, pemerintah kemudian tak bisa menemukan jalan keluar dan meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional atau IMF. Kemudian pada Januari 1998, IMF datang menyelamatkan bank-bank di Indonesia melalui pinjaman senilai 40 miliar dolar AS.
Salah satu syarat agar Indonesia mendapatkan pinjaman dari IMF adalah dengan melikuidasi bank-bank sakit. Perjanjian itu kemudian disepakati dalam letter of intent (LoI).
Mengacu Keputusan Presiden No 27 Tahun 1998, dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Badan ini bertugas menyelesaikan aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian negara yang tersalur di perbankan.
Pada 1998 setelah adanya bantuan IMF terjadilah penutupan 16 bank, yang kemudian membuat masyarakat panik dan ramai-ramai menarik simpanannya di bank, sehingga bank kehabisan likuiditas.
Bank Indonesia pun kemudian mengguyur banyak likuiditas ke bank yang seret likuiditasnya.
Melansir situs Kementerian Keuangan, disebutkan usaha-usaha penyelamatan bank seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bantuan Solvabilitas Dana Talangan oleh pemerintah berpotensi besar merugikan keuangan negara.
“Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000, BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun dari Rp 144,536 triliun BLBI yang disalurkan. Bantuan kredit itu diberikan kepada kepada 48 bank,” jelas Kementerian Keuangan dalam situs resminya seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (12/4/2021).
“Bantuan kredit yang awalnya bersifat Likuiditas menjadi Solvabilitas karena pada ujungnya pemerintah yang menanggung kerugian dengan mengambil tanggung jawab para kreditur ke BI,” kata Kementerian Keuangan melanjutkan.
Masih dari situs Kementerian Keuangan, pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga menemukan penyimpangan senilai Rp 54,561 triliun yang dilakukan oleh 28 bank yang diberikan bantuan likuiditas oleh BI.
Lalu ditambah lagi sebesar Rp 640,9 triliun dana penyehatan perbankan yang digelontorkan pemerintah pada sepanjang 1997-2004.
Sampai pada 2017, pemerintah melalui Kementerian Keuangan masih mengelola aset-aset para obligor tak tertagih, tercatat setidaknya masih ada 22 obligor penunggak BLBI senilai Rp 31 triliun.
Korupsi Jiwasraya
Dalam hitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bisa menimbulkan dampak perekonomian bisa lebih besar dari dampak kerugian negara yang mencapai Rp 16,8 triliun.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menjelaskan sejauh ini pihaknya baru melakukan perhitungan kerugian negara sesuai permintaan Kejaksaan Agung (Kejagung). Perhitungan tersebut dilakukan untuk mendukung proses penegakan hukum.
Namun begitu, karena besarnya skala kasus Jiwasraya ini, BPK juga akan menghitung dampaknya terhadap kerugian perekonomian negara. “Bukti saat ini paling firm adalah tingkat kerugian negara, apabila aparat penegak hukum mengaitkan dengan yang lebih besar, itu terbuka,” ujar Agung, Senin, 29 Juni 2020 lalu.
Sejumlah Kasus Lain
Selain tiga kasus kakap dengan kerugian negara yang mencapai ratusan triliun di atas, sejumlah kasus dugaan korupsi juga belum terselesaikan. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan pun tak kalah besar.
Sebut saja kasus yang menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim dengan kerugian negara mencapai Rp 4,5 triliun. Kemudian kasus korupsi PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) dengan kerugian negara hingga Rp 37 triliun. Ada lagi kasus FPJP Century dengan kerugian negara mencapai Rp 17 triliun.
Selanjutnya kasus e-KTP dengan kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun, proyek Hambalang Rp 1,2 triliun, Bapindo Rp 1,3 triliun, korupsi IM2 Indosat Rp 1,3 triliun, dan terakhir kasus yang menjerat Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) dengan kerugian Rp 5,8 triliun.
Dari seluruh kasus yang sebagian masih proses penanganan dan sebagian lagi mangkrak itu, jumlah total kerugian negara mencapai Rp 250 triliun. Sungguh angka yang fantastis jika semua berhasil dikembalikan pada negara.
Bisa Untuk Beli Kapal Selam
Terbaru, banyak pihak yang mengaitkan antara maraknya kasus korupsi di Tanah Air dengan alokasi anggaran peremajaan alustsista TNI yang terbatas. Ini menyusul tragedi tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 belum lama ini yang diduga karena kapal sudah berusia tua.
Salah satunya kasus korupsi dua BUMN perasuransian, PT Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero). Kerugian negara dari kasus rasuah dua perusahaan negara itu juga tak luput dikaitkan dengan anggaran pembelian kapal selam.
Sebagai informasi, dalam kasus korupsi Jiwasraya, kerugian negara menurut taksiran BPK mencapai Rp 16,8 triliun. Sementara untuk kerugian negara dari kasus korupsi penyalahgunaan investasi di tubuh Asabri, jumlahnya jauh lebih besar, yakni mencapai Rp 23,7 triliun.
Lalu, berapa jumlah kapal selam yang seandainya bisa dibeli dari uang negara yang hilang dari dua korupsi tersebut? Jika digabung antara kerugian negara dalam kasus korupsi Asabri dan Jiwasraya, maka besarannya mencapai Rp 40,54 triliun.
Sementara itu, harga kapal selam yang dimiliki TNI AL yakni sekitar Rp 4,79 triliun. Harga kapal selam itu mengacu pada pengadaan terbaru kapal selam dari proyek kerja sama Indonesia-Korea Selatan.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia menargetkan setidaknya memiliki 12 unit kapal selama dalam beberapa tahun ke depan. Untuk memenuhi target tersebut, Kementerian Pertahanan melakukan kontrak kerja sama pembuatan kapal dengan Korea Selatan yang disertai dengan klausul transfer teknologi. Perusahaan Korea Selatan dalam proyek tersebut adalah Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering Co., Ltd (DSME), sementara Indonesia diwakili BUMN kapal PT Pal Indonesia (Persero).
Kapal pertama dibangun di Korea Selatan dengan tenaga kerja sepenuhnya berasal dari perusahaan tersebut. Kemudian kapal kedua dibangun di Korea dengan mendatangkan tenaga profesional dari PT PAL sebagai bagian dari alih teknologi.
Sedangkan kapal ketiga sepenuhnya dibangun di fasilitas produksi PT Pal Indonesia (Persero) di Surabaya. Sejauh ini, Indonesia telah menerima tiga kapal selam, yakni Nagapasa, Ardadedali, dan Alugoro.
Kapal selam ini mempunyai panjang 61,3 meter dengan kecepatan kurang lebih 21 knot di bawah air, dan dengan ketahanan berlayar lebih dari 50 hari. Berdasarkan kontrak, 3 kapal selam kelas Changbogo ini harganya mencapai 1,08 miliar dolar AS atau sekitar 330 juta dolar AS per unit atau setara Rp 4,79 triliun (kurs Rp 14.500).
Harganya ini dinilai jauh lebih murah dibandingkan kapal selam buatan Eropa atau AS yang bisa mencapai Rp 7 triliun. Dengan asumsi harga kapal selam kelas sedang tersebut, jumlah kerugian negara dari dua kasus korupsi Asabri dan Jiwasraya sebesar Rp 40,54 triliun bisa dipakai untuk pembelian 8 unit kapal selam.
Bagaimana jika total kerugian dari seluruh kasus korupsi yang mencapai Rp 250 triliun itu? Tentunya puluhan kapal selam bisa terbeli. [Berbagai sumber/wip]