(IslamToday ID) – Sekjen Transparancy International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menyoroti kinerja pemberantasan korupsi di era pemerintahan Presiden Jokowi dari perspektif mandat reformasi.
“Kenapa berpijaknya ke situ (reformasi), karena Jokowi adalah presiden yang paling banyak menikmati capaian-capaian reformasi. Mulai dari Pilkada dia terpilih terus, kemudian pilihan presiden melalui pilihan langsung ia juga terpilih. Itu semua produk reformasi,” kata Dadang saat berbicara di sebuah acara di Bravos Radio Indonesia, Senin (3/5/2021).
Ia menyebut Jokowi adalah sosok yang harusnya paling berkomitmen untuk melanjutkan capaian-capaian reformasi, seperti pembangunan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
Menurutnya, pemerintahan yang bebas dari KKN ini di dalamnya ada unsur KPK yang merupakan produk reformasi yang sangat penting. KPK adalah wujud konkret dari amanat reformasi terkait dengan pembangunan pemerintahan yang bersih.
“(Keberadaan) KPK harusnya tidak dipisah dengan mandat-mandat yang lain, seperti mandat demokratisasi, penegakan HAM, dan lain-lainnya. Itu satu paket, tidak boleh dipisah-pisah. Karena kalau desentralisasi tanpa pemerintahan yang bersih juga akan rusak negaranya,” jelas Dadang.
Ia menerangkan bahwa KPK adalah king changer trasisi politik di Indonesia pasca 1998. KPK diberi kewenangan fokus pada big fish karena cerita masa lalu yang masih ada. Harus ada lembaga yang mampu menjangkau koruptor-koruptor kelas kakap
“Kalau menurut analisis Transparancy International, ada dua fenomena korupsi yang selalu memberatkan dan mengganggu Indonesia, yaitu political corruption dan korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum. Dan dua ini menjadi ranahnya KPK, dan hanya KPK yang mampu menyentuh lembaga-lembaga penegak hukum,” jelasnya.
Dadang melanjutkan, KPK didesain sedemikian rupa sebagai role model dengan diawali perekrutan personel yang begitu ketat dan menghasilkan orang-orang yang berintegritas, serta sistem pengawasan yang sangat ketat.
“KPK juga sudah menjadi simbol dari gerakan anti-korupsi selama 15 tahun terakhir. KPK itu didesain juga sebagai lembaga yang independen, akuntabel, karena ia memang harus menghadapi situasi korupsi yang mengakar di semua cabang kekuasaan di republik ini,” ungkapnya.
Oleh karena itu, KPK yang independen itu sangat penting dalam membangun pemerintahan dan tata kelola yang bersih.
Dadang kembali membuka lembaran KPK selama Jokowi berkuasa. Tahun 2015-2016 ada kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dan penyidiknya yang prosesnya berlarut-larut. “Itu sebenarnya kasus yang sederhana, namun tak terselesaikan dengan cepat. Dan itu melawan nalar publik, aneh begitu ya,” ujarnya.
Kemudian serangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dengan air keras dan dua pimpinan KPK lainnya. Terhadap Novel sudah ada proses hukumnya, namun masih menimbulkan pertanyaan publik juga.
“Presiden Jokowi dimana komitmennya? Menuntaskan gangguan pada simbol gerakan anti-korupsi ini,” kata Dadang.
Kemudian revisi UU KPK jilid pertama tahun 2016 yang sempat ditunda. Kemudian tahun 2019 revisi UU KPK jilid dua dan ini yang gol, prosesnya sangat cepat, tidak transparan, menolak atau tanpa partisipasi public. “Ini korbannya banyak, demonstrasi sebesar apapun tidak didengar,” ujar Dadang.
Jika mengacu pada rilis Transparancy International saat launching indeks persepsi korupsi tahun 2018, Indonesia sudah diingatkan bahwa ada kecenderungan makin menyempitnya ruang demokrasi dan itu berdampak pada gerakan pemberantasan korupsi.
“Karena pelapor akan dibatasi ruang geraknya, ekspresinya dibatasi, dan ada serangan balik dan lain-lain. Itu semacam timeline selama Presiden Jokowi yang ada hubungannya dengan KPK,” kata Dadang. [wip]