(IslamToday ID) – Penyidik senior KPK Novel Baswedan menyatakan bakal melawan keputusan penonaktifan dirinya bersama 74 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
“Nanti ada tim kuasa hukum dari koalisi sipil yang ingin melihat itu karena agak lucu juga, SK-nya kan SK pemberitahuan hasil asesmen, tapi kok di dalamnya menyebut menyerahkan tugas dan tanggung jawab, bukan pemberhentian,” kata Novel seperti dikutip dari Republika, Rabu (12/5/2021).
“Yang jelas kami melihat ini bukan proses yang wajar, ini bukan seleksi orang tidak kompeten dinyatakan gugur, tapi ini upaya yang sistematis yang ingin menyingkirkan orang bekerja baik untuk negara, ini bahaya. Maka sikap kami jelas, kami akan melawan,” tambahnya.
Novel yang menjabat sebagai Kepala Satgas (Kasatgas) kasus e-KTP itu menyebut TWK sangatlah bermasalah. TWK dinilainya sengaja dijadikan tameng untuk menyingkirkan 75 pegawai terbaik KPK, termasuk dirinya.
Pasalnya, kata Novel, TWK digunakan untuk menyeleksi pegawai KPK yang telah berbuat nyata bagi bangsa dan negara Indonesia melawan musuh negara bernama korupsi.
“Jadi penjelasan yang akan saya sampaikan ini bukan hanya soal lulus atau tidak lulus tes, tapi memang penggunaan TWK untuk menyeleksi pegawai KPK adalah tindakan yang keliru,” kata Novel.
Menurutnya, seharusnya pemberantasan korupsi tidak bisa dipisahkan dengan nasionalisme atau nilai kebangsaan pegawai KPK. Hal ini karena sikap anti-korupsi pada dasarnya adalah perjuangan membela kepentingan negara.
“Saya ingin menggambarkan posisi pemberantasan korupsi dalam bernegara. Terbentuknya negara, tentu ada tujuan yang itu dituangkan dalam konstitusi. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara membentuk pemerintahan dan aparatur. Dalam pelaksanaan tugas, ketika aparatur berbuat untuk kepentingan sendiri atau kelompok dan mengkhianati tujuan negara, maka itulah korupsi. Untuk kepentingan tersebut, maka negara atau pemerintah membentuk UU yang mengatur bentuk-bentuk kejahatan korupsi,” ujar Novel.
Ia juga menilai TWK sangatlah tidak cocok digunakan untuk menyeleksi pegawai negara atau aparatur yang telah bekerja lama. Terutama, bagi yang bertugas di bidang pengawasan terhadap aparatur atau penegak hukum, apalagi terhadap pegawai KPK.
Menurut Novel, pegawai-pegawai KPK tersebut telah menunjukkan kesungguhannya dalam bekerja menangani kasus-kasus korupsi besar yang menggerogoti negara, baik keuangan negara, kekayaan negara, dan hak masyarakat. TWK baru akan relevan bila digunakan untuk seleksi calon pegawai dari sumber lulusan baru. “Tetapi juga tidak dibenarkan menggunakan pertanyaan yang menyerang privasi, kehormatan, atau kebebasan beragama,” ucap Novel.
Menurut Novel, tidak lulusnya 75 pegawai KPK yang kritis adalah kesimpulan yang sembrono dan sulit untuk dipahami sebagai kepentingan negara. Novel pun menegaskan bahwa tes TWK bukan seperti tes masuk seleksi tertentu yang bisa dipandang sebagai standar baku.
“Sekali lagi, penjelasan ini bukan karena lulus atau tidak lulus TWK, tetapi penggunaan TWK yang tidak tepat. Yang terjadi justru sebaliknya yaitu merugikan kepentingan bangsa dan negara, dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia karena dimanfaatkan untuk menyingkirkan pegawai-pegawai terbaik KPK yang bekerja dengan menjaga integritas,” tegas Novel.
Kezaliman dan Ketidakadilan
Penyidik KPK yang juga masuk dalam 75 pegawai yang dinonaktifkan, Harun Al Rasyid mengatakan penonaktifan itu sebagai bentuk arogansi Ketua KPK Firli Bahuri dan bukan keputusan secara kelembagaan.
“Ini bentuk kezaliman dan ketidakadilan serta arogansi ketua KPK secara personal (bukan kelembagaan),” ungkap Harun seperti dikutip dari Suara, Rabu (12/5/2021).
Harun diketahui merupakan Kasatgas Tim Penyelidik KPK yang belum lama ikut dengan Bareskrim Polri menangkap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat terkait kasus jual beli jabatan.
Harun menyebut sepatutnya, bukan hanya 75 pegawai KPK saja yang perlu melakukan perlawanan atas ketidakadilan yang dilakukan pimpinan KPK. Namun, seluruh elemen masyarakat maupun Presiden Jokowi pun harus turut pula menyikapi.
Lantaran, ini bagian dari pemberangusan pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Kezaliman dan ketidakadilan ini harus kita lawan. Kita dalam arti bukan hanya 75 orang yang dinonaktifkan tersebut. Tetapi seluruh elemen dan anak bangsa yang konsen dengan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Termasuk yang terhormat Bapak Presiden tentunya,” katanya.
Padahal, kata Harun, sudah banyak desakan dari sejumlah elemen terkait sejumlah kejanggalan dalam tes wawasan kebangsaan kepada pegawai KPK. Sehingga 75 orang ini dinyatakan tidak lulus menjadi ASN.
Harun juga menyinggung terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gugatan revisi UU KPK baru. Di mana hakim MK menegaskan dalam peralihan status pegawai KPK menjadi ASN jangan sampai mempersulit pegawai itu sendiri.
“Alih-alih menjadi bahan renungan, justru ketua KPK terus bergerak di ruang gelap dengan cara-cara dan proses yang gelap menerbitkan SK non-job bagi 75 pegawai KPK,” katanya.
Keputusan MK
Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo mengatakan pihaknya bakal melakukan konsolidasi setelah 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK dinonaktifkan. Ia mengatakan konsolidasi dilakukan untuk menentukan langkah selanjutnya.
“Pegawai KPK tentu akan melakukan konsolidasi untuk langkah yang akan kami ambil berikutnya,” katanya seperti dikutip dari Detikcom.
Yudi menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 70/PUU-XVII/2019 secara jelas mengatur alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai. Ketua KPK Firli Bahuri disebutnya harus mematuhi aturan itu.
“Karena bagi kami putusan MK sudah jelas bahwa peralihan status tidak merugikan pegawai dan amanat revisi UU KPK hanya alih status saja dari pegawai KPK jadi ASN dan ketua KPK harus mematuhi itu,” ujarnya.
Yudi mengatakan sebagian besar pegawai yang dinyatakan tak lolos TWK telah menerima surat keputusan (SK) Pimpinan KPK No 652 Tahun 2021 untuk menyerahkan tugas kepada atasan masing-masing. Ia menyebut 75 pegawai ini sudah tidak lagi bisa menjalankan tugas.
“Benar bahwa SK dari ketua KPK sudah diterima oleh sebagian besar pegawai yang tidak memenuhi syarat dan diminta dalam SK itu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya kepada atasan langsungnya,” ujar Yudi.
“Ini artinya penyelidik dan penyidik yang TMS misalnya tidak bisa lagi melakukan kegiatan penyelidikan dan penyidikan dan harus menyerahkan perkaranya kepada atasannya,” tambahnya.
Tanggung Jawab Presiden
Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Presiden Jokowi turun tangan terkait pemecatan 75 pegawai KPK akibat tidak lolos TWK. ICW menduga tes tersebut merupakan upaya terselubung yang didorong oleh Ketua KPK, Firli Bahuri.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan polemik pemecatan puluhan pegawai KPK berintegritas itu muncul atas buah dari kebijakan Presiden Jokowi tatkala memilih pimpinan KPK. Ia menilai Jokowi juga telah mengakomodir konstitusi alih status kepegawaian KPK melalui UU No 19 Tahun 2019.
“Jadi, segala persoalan yang timbul akibat dari kekeliruan kebijakan politik hukum pemberantasan korupsi itu mesti diletakkan sebagai tanggung jawab dari presiden,” kata Kurnia.
Ia mengungkapkan, buruknya kepemimpinan Firli Bahuri telah membuat KPK berada di ambang kehancuran, kemerosotan reputasi, dan kehilangan kepercayaan publik yang semakin serius. Ia berpendapat, Dewan Pengawas (Dewas) KPK harus mengambil tindakan tegas dan serius agar KPK tetap dapat dijaga dari kehancuran dan pembusukan.
Ia meneruskan, berbagai akumulasi persoalan dan kegaduhan di KPK tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab ketua KPK dan pimpinan lembaga antirasuah lainnya. ICW mendesak inisiatif Dewas untuk melakukan pemeriksaan terhadap para pimpinan KPK, termasuk Firli Bahuri atas berbagai dugaan pelanggaran etik.
KPK menggandeng BKN telah menggelar rangkaian tes termasuk TWK terhadap 1.351 pegawai lembaga anti rasuah. Tes kemudian menuai polemik lantaran membuat soal yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Di antara pertanyaan yang muncul yakni pandangan pegawai seputar FPI, Habib Rizieq Shihab, HTI, alasan belum menikah, kesediaan menjadi istri kedua, doa qunut dalam salat, hingga LGBT.
Lalu muncul surat keputusan terkait nasib 75 pegawai tersebut. Dalam surat yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri itu meminta pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) dalam TWK untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
KPK lantas membantah telah menerbitkan surat tersebut. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan kalau pihaknya bakal melakukan pengecekan keabsahan potongan surat tanpa tanggal dan cap kedinasan yang beredar tersebut.
Belakangan, surat serupa terkait nasib 75 pegawai KPK tersebut kembali beredar di kalangan jurnalis. Surat dengan perintah serupa itu kali ini dibubuhkan tandatangan Plh Kepala Biro SDM KPK, Yonathan Demme Tangdilintin mewakilkan Ketua Firli Bahuri.
Dalam SK penonaktifan 75 pegawai yang tak lolos TWK itu, terdapat 4 poin sebagai berikut:
Pertama, menetapkan nama-nama pegawai yang tersebut dalam lampiran surat keputusan ini tidak memenuhi syarat (TMS) dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN.
Kedua, memerintahkan pegawai sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
Ketiga, menetapkan lampiran dalam keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.
Keempat, keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
Surat keputusan dibuat tertanggal 7 Mei 2021. Meski demikian, KPK belum memberikan konfirmasi terkait surat yang beredar ke publik tersebut. [wip]