(IslamToday ID) – Presiden Jokowi diminta untuk turun tangan terkait dengan tidak lulusnya 75 pegawai KPK dalam alih status pengawai menjadi ASN yang akhir-akhir ini ramai diributkan.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono mengatakan 75 pegawai yang tak lulus TWK terancam dipecat sehingga berpotensi kehilangan pekerjaan.
“Kami berharap kepala negara mengambil alih polemik ini, karena beliau adalah pejabat tertinggi ASN (Aparatur Sipil Negara),” kata Giri seperti dikutip dari Republika, Senin (17/5/2021).
Ia mengaku telah mendapatkan Surat Keputusan (SK) TMS (Tidak Memenuhi Syarat) yang membebastugaskan dirinya dari tanggung jawab pekerjaan di KPK. Berdasarkan poin kedua dari SK, Giri diminta untuk menyerahkan tanggung jawab tersebut ke atasan mulai 7 Mei 2021.
“Kami telah menerima SK TMS, dan dalam SK diktum 2 kami dibebaskan dari tugas dan tanggung jawab dan menyerahkan kepada atasan (nonjob). Ini tindakan zalim, apalagi dilakukan di bulan puasa,” kata Giri.
Ia menegaskan, alih status para pegawai KPK menjadi ASN adalah mandat UU KPK No 19 Tahun 2019. Konstitusi itu, kata Giri, tidak menyebutkan pegawai KPK diseleksi untuk menjadi ASN. Berbeda dengan sikap pimpinan KPK yang dinilainya menyeleksi para pegawai.
Dampak penyerahan tanggung jawab atau nonjob tersebut membahayakan integritas penanganan perkara besar yang sedang ditangani KPK. Kebijakan itu juga membuang-buang APBN untuk membayar gaji serta memberikan contoh buruk pendidikan anti-korupsi dan integritas.
Puluhan guru besar dari berbagai perguruan tinggi telah mengeluarkan pernyataan bersama pada Ahad (16/5/2021). Mereka di antaranya Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Fathul Wahid, Mulai Ni’matul Huda (UII), Didik J Rachbini (Universitas Mercu Buana), dan Azyumardi Azra (UIN Jakarta). Para guru besar itu mengajak seluruh komponen bangsa yang masih hidup nurani kebangsaannya menolak TWK dan penonaktifan pegawai KPK.
Mereka menduga TWK itu bermuatan kepentingan yang tak sejalan dengan misi pemberantasan korupsi yang sebenarnya. “Ini dukungan tulus yang dilandasi dengan rasa cinta dan rindu akan Indonesia yang bebas dari praktik korupsi dan lebih bermartabat,” kata Fathul Wahid lewat keterangan tertulis.
Pakar hukum Bivitri Susanti juga merasa heran lantaran sebagian pegawai KPK gagal lulus TWK. Padahal, di antara mereka merupakan pejabat tinggi yang pernah melewati tes sejenis itu.
Bivitri menekankan para pegawai yang tak lolos TWK sebenarnya bukan pegawai baru. Karena itu, penilaian TWK pada mereka tak perlu disamakan layaknya kepada perekrutan baru.
“Karena mereka sudah mengalami berbagai tes, dulu waktu pertama masuk KPK. Mereka bukan pegawai baru masuk, tidak bisa disamakan,” kata Bivitri belum lama ini.
TWK Diminta Dibatalkan
Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Penyelidik KPK Harun Al Rasyid meminta hasil TWK dibatalkan. Tes tersebut merupakan bagian dari proses alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Menurut Harun, tolok ukur penilaian yang digunakan dalam TWK tidak masuk akal. Sehingga, ia menilai hasil tes tidak objektif. “Secepatnya hasil TWK tersebut dibatalkan secara keseluruhan. Karena prosesnya tidak fair dan tidak mencerminkan objektivitas. Ukuran penilaiannya absurd,” kata Harun seperti dikutip dari Kompas, Senin (17/5/2021).
Pasalnya, di dalam proses TWK itu muncul sejumlah pertanyaan yang dianggap mengarah pada ranah privat. Misalnya, terkait dengan pilihan kenapa belum menikah, apakah melaksanakan qunut saat salat Subuh, hingga tanggapan tentang penikahan beda agama.
Adapun Harun merupakan salah satu dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat atau tidak lolos TWK. Nasibnya di KPK kini terancam sejak keluarnya Surat Keputusan (SK) Ketua KPK Firli Bahuri yang membebastugaskan 75 pegawai itu.
Sedangkan, Harun menjadi Kasatgas Penyelidikan dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat bersama Bareskrim Polri baru-baru ini. Harun menuturkan, ia bersama pegawai lainnya telah mengajukan protes kepada pimpinan KPK terkait pelaksanaan TWK.
“Kami sudah coba mengajukan protes dan keberatan ke pimpinan. Namun, tidak dijadikan pertimbangan untuk lanjut tidaknya tes tersebut,” jelasnya.
Ia mengaku sempat menemui dua Wakil Ketua KPK itu ketika ada keputusan mengenai pelaksanaan TWK. “Ketika kita bertanya dengan upaya untuk melakukan tes TWK tersebut, pimpinan lainnya mengatakan bahwa juga tak setuju dengan adanya TWK dan dia juga sudah mengatakan bahwa TWK itu tidak diperlukan,” ungkapnya.
“Coba komunikasi langsung ke Ghufron (Nurul Ghufron) atau Pak Alex (Alexander Marwata). Itu setidaknya pimpinan yang kita temui ketika keluar keputusan adanya tes itu,” tuturnya.
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK Sujanarko juga adalah salah satu pegawai yang disebut tak lulus TWK. Ia diminta menyerahkan seluruh pekerjaannya ke atasannya.
“Bisa diartikan saya sedang dihukum karena nggak boleh kerja. Jadi disuruh kerja di kantor, disuruh duduk-duduk manis tapi digaji penuh. Menurut saya zalim banget itu. Ini lebih sadis dibanding dipecat. Ini digantung, dibunuh pelan-pelan,” ujar Sujanarko.
Ia memandang fakta dirinya tak lolos TWK sebagai sebuah anomali. Di tahun 2015, Sujanarko, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, pernah menerima piagam Satyalancana Wira Karya dari Presiden Jokowi karena dianggap berkontribusi bagi negara.
“Saya dianggap warga negara yang punya dharma bakti besar terhadap nusa dan bangsa. Presiden lho, bunyi Keppresnya seperti itu. Lalu, melalui tes yang hanya dalam dua jam, saya dinyatakan nggak Pancasilais, nggak berwawasan kebangsaan, itu anomali,” tambahnya.
KPK Tidak Memecat
Dalam kiprahnya di KPK, Sujanarko mengatakan ia terlibat dalam pengembangan sistem penelusuran aset hingga anti-corruption learning center (pusat pembelajaran antikorupsi). “Dari sisi kinerja saya nggak rendah diri,” katanya.
Di sisi lain, Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan hingga saat ini badan antirasuah itu belum memutuskan status 75 orang itu.
“Kami tidak melakukan pemecatan, kami tidak menyingkirkan para pegawai tersebut. Inilah hasil tes wawasan kebangsaan BKN. Kami memandang semua pegawai adalah aset KPK, maka kami akan memberi putusan terbaik terkait status mereka, setelah ada koordinasi dengan Kemenpan-RB dan BKN,” kata Ali.
Ia juga membantah penonaktifan 75 pegawai KPK akan menghambat kinerjanya. Menurutnya, tidak semua dari 75 orang itu ada di bagian penyidikan atau penindakan. Ia mengatakan pegawai itu tersebar di berbagai direktorat.
“Kalau kita khusus bicara mengenai penindakan, kerja-kerja KPK, baik itu di penindakan, pencegahan, pendidikan masyarakat, semuanya tak ada yang individual. Kerja KPK itu kerja tim, dalam Satgas yang terdiri dari 4-5 orang, tidak ada yang tak memenuhi syarat (TMS) semua. Kalau ada satu yang TMS di Satgas itu, kan masih ada empat orang,” ujarnya.
Ia menambahkan 75 orang itu diminta menyerahkan pekerjaannya ke atasan demi mencegah polemik hukum di kemudian hari. [wip]