(IslamToday ID) – Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) melontarkan kecurigaan adanya permainan mafia daging sapi. Hal ini menyusul masih tingginya harga daging sapi di pasaran yang mencapai Rp 150.000 per kg walau pemerintah sudah memuluskan langkah impor.
“Ada mafia-mafia yang bermain dengan daging,” kata Buwas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI, Selasa (18/5/21).
Bulog sudah menjalankan operasi pasar daging sapi untuk menekan lonjakan harga. Ada dua jenis daging yang disiapkan dalam operasi tersebut, yakin sapi-kerbau beku sebanyak 13.000 ton dengan harga Rp 80.000 per kg, serta daging sapi beku impor dengan banderol Rp 90.000 per kg.
Namun, Buwas mengakui langkah tersebut tidak mampu menurunkan harga daging sapi di pasaran.
“Walaupun tidak menurunkan harga sapi karena daging sapi dengan daging kerbau konsumennya berbeda. Kemarin ada 13.000 ton (sapi-kerbau beku) kita gunakan untuk operasi pasar, memang sebagian besar dirasakan oleh masyarakat. Tapi yang fanatik atau tetap berharap daging sapi, karena Bulog memiliki daging sapi yang terbatas, kita jual sampai ke konsumen Rp 90.000, itu juga tidak nendang (menurunkan harga) karena keterbatasan kemampuan Bulog,” jelasnya.
Buwas mengklaim harga daging sapi di bawah Rp 100.000 yang dijual Bulog cukup membantu, karena banyak masyarakat yang membeli dengan harga jauh lebih mahal.
Harga rata-rata daging sapi dua hari jelang lebaran di DKI Jakarta masih tergolong mahal, yakni di kisaran Rp 146.650 per kg berdasarkan Pusat Informasi Harga Strategis Pangan Nasional (PHIPS). Angka ini tidak beranjak dari Jumat pekan sebelumnya.
Di hari ini, harganya lebih mahal lagi, mencapai Rp 148.350 per kg. Padahal, pemerintah sudah memberi acuan melalui Peraturan Menteri Perdagangan No 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen, yang berkisar Rp 80.000 – Rp 105.000.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengapa harga daging sapi di pasaran tetap tinggi. Namun, Buwas mengklaim bukan pihaknya yang membuat harga daging sapi dan kerbau naik menjelang lebaran kemarin.
“Ini pasti bukan perbuatan Bulog, pasti, tapi namanya orang yang nakal itu pasti dia ada saja usahanya bagaimana dia mendapatkan keuntungan,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, permasalahan lonjakan harga daging sapi memang erat kaitannya dengan permainan pihak-pihak tertentu. Namun, pedagang pasar bukan pelakunya.
Pernyataan Buwas, menurutnya, tidak salah. “Saya mengaminkan itu, karena di pasar para pedagang beli dengan harga yang sudah diatur oleh yang punya barang. Memang faktanya seperti itu,” kata Ngadiran seperti dikutip dari Katadata.co.id.
Penjualan daging sapi yang tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) biasanya terjadi pada pasar-pasar yang tidak mendapatkan intervensi dari pemerintah. Yang berperan besar dalam menentukan harga adalah yang memiliki barang dalam jumlah besar.
“Kalau pedagang pasar belanjanya dengan keterbatasan. Kadang hanya beli satu dua kaki. Hanya beberapa saja yang kuat beli satu dua ekor,” ucapnya.
Sependapat dengan hal tersebut, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Reynaldi Sarijowan mengatakan, kehadiran mafia daging bukan hanya terjadi baru-baru ini. Praktik tersebut sudah ada sejak lama. Ia menduga ada campur tangan pihak tertentu.
“Kalau dibiarkan terus, harganya akan dimainkan oleh pemain-pemain ini,” kata Reynaldi.
Praktik permainan harga biasanya terjadi di rumah potong hewan (RPH) dan feedloter (tempat usaha penggemukan sapi). Pemerintah, menurutnya, perlu hadir untuk mengawal proses distribusi dari feedloter menuju pasar. “Pembuktian mafia daging harus dibuktikan dengan data dan temuan, sehingga tidak menjadi asumsi publik yang ngawur,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan harus berkoordinasi dengan semua stakeholder mengenai distribusi dan harga daging. Penerapan HET tidak pernah efektif menghilangkan praktik mafia daging karena pemerintah hanya melibatkan satu pihak saja, yaitu pedagang dan distributor. “Padahal, di daging ada feedloter, RPH, pasar, dan seterusnya,” kata Reynaldi.
Peternakan Sapi di Belgia
Menteri BUMN Erick Thohir menginginkan perusahaan plat merah membeli peternakan sapi di Belgia, sebagai upaya menekan impor daging sapi nasional yang kebutuhannya sangat tinggi.
Namun sejumlah pihak menyuarakan penolakan.
Aktivis 98 Wahab Talaohu curiga pihak-pihak yang lantang menolak rencana tersebut merupakan bagian dari mafia daging, yang selama ini telah merasakan nikmatnya keuntungan impor. Mengingat, ketergantungan impor daging sapi sebagian besar dilakukan pihak swasta.
“Bila ada pihak yang lantang menolak, maka kita patut curiga. Jangan sampai mereka ini mafia-mafia daging yang selama ini menikmati keuntungan impor, sehingga tidak mau ada transformasi pangan di Indonesia,” kata Wahab seperti dikutip dari Tribunnews, Ahad (23/5/2021).
Padahal, menurutnya, rencana Menteri BUMN membeli peternakan dan ekosistem di dalamnya adalah solusi tepat menangani ketergantungan daging sapi impor.
Mengingat berdasarkan data, stok daging dalam negeri hanya bisa memenuhi 473.814 ton dari perkiraan kebutuhan 696.956 ton di tahun 2021.
Sehingga guna memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemerintah kemudian mengimpor sapi bibit sebanyak 502.000 ekor dan impor daging sapi 185.500 ton. Namun upaya impor itu tak serta merta membuat harga daging di pasar turun.
“Kita prihatin, daging impor sudah masuk tapi harga masih saja mahal. Maka kita harus melihat upaya Menteri Erick dengan membeli peternakan di Belgia sebagai sebuah terobosan yang positif,” ucapnya.
Wahab menjelaskan setidaknya ada empat manfaat yang bisa diperoleh ketika BUMN membeli peternakan sapi di Belgia. Pertama, terjadinya transfer teknologi peternakan yang dikelola secara modern.
Kedua, Indonesia bisa mendapat pasokan indukan sapi betina yang berkualitas. Ketiga, menghasilkan pendapatan bagi BUMN atau kas negara.
Keempat, atas proses tersebut kualitas daging sapi Indonesia bisa jadi mampu bersaing di pasar lokal bahkan Internasional. “Ini solusi yang sangat tepat karena kita punya masalah utama adalah kualitas dan kuantitas produksi yang masih kecil. Sehingga sangat tergantung dengan pasokan daging sapi impor,” kata Wahab.
Soal penolakan DPR yang lebih menuntut pengembangan peternakan dalam negeri, Wahab menilai terjadi pemahaman keliru. Pasalnya rencana pembelian peternakan sapi di Belgia bukan cuma sekadar lahan saja. Melainkan juga teknologi, manajemen, SDM, hak paten, maupun ekosistem lainnya.
“Saya pikir ini pemahaman yang keliru. Yang mau dibeli itu bukan lahan peternakannya saja, melainkan perusahaan peternakan. Di mana di dalamnya ada lahan, teknologi, manajemen, SDM, bibit unggul, lisensi/hak paten, dan lain sebagainya. Jadi jangan dikerdilkan seolah hanya mau beli tanah peternakan saja,” pungkasnya. [wip]