(IslamToday ID) – Maskapai penerbangan plat merah Garuda Indonesia diambang kebangkrutan. Kondisi keuangan perusahaan babak belur karena pendapatan seret akibat pandemi Covid-19.
Kini mau tak mau Garuda harus mengambil keputusan pahit, yakni melakukan PHK dengan dalih menawarkan program pensiun dini bagi karyawannya. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengurangi beban biaya yang semakin membengkak.
Pasalnya, selain harus membayar gaji karyawan, Garuda juga punya kewajiban lain yang harus dipenuhi. Salah satunya yaitu membayar biaya sewa pesawat kepada lessor. Faktanya, Garuda memang telah menunggak membayar sewa pesawat.
Dari 142 pesawat yang dimiliki, hanya 41 unit yang beroperasi. Sisanya tidak boleh digunakan karena Garuda belum membayar sewa.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengatakan jika kondisi ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan Perseroan bisa digugat pailit.
“Tentu saja kita akan berhadapan dengan posisi legal yang sangat sulit apabila perusahaan-perusahaan yang selama ini terus menerus menagih dan tidak dibayarkan atau baru dibayarkan sebagian haknya oleh kita itu mengajukan pailit,” kata Irfan dalam pertemuan internal dengan karyawan Garuda Indonesia pada 19 Mei 2021 lalu seperti dikutip dari Kumparan.
Menurutnya, saat ini manajemen Garuda tengah dikejar waktu untuk segera melunasi tunggakan kepada lessor maupun kreditor. Utang Garuda tidak sedikit memang. Irfan membeberkan jumlahnya mencapai Rp 70 triliun dan jumlah ini masih akan terus membengkak.
“Ini kita kejar-kejaran dengan waktu. Penting buat kami untuk diskusi dengan lessor, kreditor yang jumlahnya begitu banyak, yang jumlah total utang kita sebesar Rp 70 triliun untuk bagaimana menyelesaikan ini di waktu mendatang,” ujar Irfan.
Tidak hanya itu, ia juga mengkhawatirkan kemungkinan lain. Menurutnya, ada kemungkinan para pemilik pesawat bersepakat dan bersekongkol untuk meng-grounded-kan semua armada. Jika itu terjadi maka Garuda tidak bisa terbang sama sekali.
“Kalau kita tidak terbang, dari mana kita memperoleh pendapatan? Perusahaan ini bisa berhenti tiba-tiba,” lanjutnya.
Sejatinya Garuda Indonesia tidak sendirian. Kondisi serupa dialami oleh seluruh perusahaan maskapai secara global. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) bahkan telah memperkirakan industri penerbangan global bakal mengalami kerugian mencapai 47,7 miliar dolar AS dan laba bersih yang anjlok hingga 10,4 persen sepanjang tahun ini.
Kondisi ini sedikit lebih baik dibandingkan 2020 lalu ketika industri penerbangan merugi 126,4 miliar dolar AS dengan margin laba bersih yang anjlok 33,9 persen. Sayangnya, pemulihan yang diharapkan terjadi di tahun ini tidak semudah yang diharapkan. Penerbangan domestik memang mulai rebound. Namun masih banyak negara yang menutup penerbangan internasional.
“Meskipun diperkirakan 2,4 miliar orang bepergian melalui udara pada tahun 2021, maskapai penerbangan tetap harus menghabiskan uang 81 miliar dolar AS lebih,” ujar Dirjen IATA Willie Walsh dalam sebuah keterangan resmi.
Secara global, data IATA menunjukkan bahwa permintaan atau demand di sepanjang 2021 diprediksi merosot 57 persen dibandingkan pada 2019 lalu. Sedangkan kapasitas di tahun ini juga diprediksi bakal terjun 47,2 persen dibandingkan 2019 lalu.
Sementara itu, pemerintah Indonesia selaku pemegang saham mayoritas Garuda Indonesia mengaku masih berusaha untuk menyelamatkan maskapai plat merah tersebut.
Dikonfirmasi, Juru Bicara Kementerian BUMN Arya Sinulingga menyatakan pemerintah masih berupaya untuk melakukan restrukturisasi di tubuh Garuda. “Yang pasti kita lagi mengusahakan restrukturisasi,” ujarnya.
Biaya Operasional Sangat Tinggi
Memang tidak mudah mengelola sebuah maskapai penerbangan. Sebagai sebuah perusahaan yang menggunakan teknologi sangat tinggi dan sangat diminati masyarakat, pada kenyataannya hanya mempunyai margin keuntungan di bawah 5 persen. Banyak maskapai di dunia yang hanya berumur di bawah 5 tahun.
Biaya yang ditanggung maskapai penerbangan sangat tinggi, baik biaya operasional maupun yang lain seperti pengadaan dan perawatan pesawat. Seperti misalnya Garuda dan lainnya, sebagian besar biaya dalam bentuk dolar AS. Misalnya untuk pengadaan dan perawatan pesawat (harga 1 pesawat bisa mencapai Rp 1 triliun).
Bahan bakar (avtur) yang sebagian besar dipasok Pertamina, harganya juga mengacu pada pergerakan harga minyak dunia yang hitungannya dalam dolar AS.
Sementara pemasukannya sebagian besar dalam bentuk rupiah, seperti dari tiket, jasa angkutan kargo, iklan dan lainnya. Jadi jika nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS, sudah pasti maskapai nasional tekor.
Pasar Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh iklim sosial politik. Terutama pada Garuda yang merupakan BUMN dan tentu saja harus melaksanakan operasionalnya berdasarkan mandat sosial-politik-ekonomi yang diberikan pemerintah.
Mau bukti? Lihat saja di tahun 2018-2019, di mana maskapai beramai-ramai menaikkan harga tiket untuk menambah pendapatan karena sudah tidak kuat menanggung kerugian. Maskapai juga mengurangi rute dan frekuensi penerbangan yang dianggap merugikan. Akibatnya rakyat resah. Pemerintah kalang kabut. Apalagi tahun itu adalah tahun politik.
Pemerintah melalui Menteri Perhubungan dan beberapa kementerian lain sampai membuat skema untuk menurunkan harga tiket pesawat. Yang menjadi kambing hitam, siapa lagi kalau bukan Garuda. Garuda sebagai maskapai full service dan punya nama besar, adalah price er. Kalau Garuda menaikkan harga tiket, maskapai lain pasti mengikuti. Begitu pula sebaliknya.
Padahal, apa yang dilakukan manajemen Garuda saat itu tidak menyalahi aturan. Harga tiket yang dijual masih di dalam koridor harga tiket yang ditetapkan Menteri Perhubungan. Namun iklim sosial politik berkata lain. Gejolak di masyarakat harus diredam. Pemerintah pun menekan maskapai yang saat itu posisinya sudah sangat sulit.
Perlu Injeksi Modal
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mengatakan, pengelolaan keuangan di masa sulit akibat pandemi Covid-19 benar-benar sangatlah krusial. Menurutnya, dengan melihat kondisi keuangannya saat ini, Garuda Indonesia dituntut berpikir keras dan mendapatkan alternatif keuangan lain seperti mendapatkan suntikan dana dari pemerintah pusat.
Contohnya, hampir semua flag carrier regional seperti Singapore Airlines dan Cathay Pasific, mendapatkan tambahan injeksi modal dari negara agar mampu bertahan hidup.
Namun, meski Garuda Indonesia adalah bagian dari BUMN, Perseroan disinyalir tidak bisa mengharapkan sepenuhnya bantuan injeksi modal dari pemerintah. Toto memiliki alasan, karena saat ini pemerintah tengah berfokus dalam pemulihan ekonomi nasional di berbagai sektor, sehingga dana yang diberikan pemerintah kepada Garuda Indonesia memiliki nilai yang sangat terbatas.
Salah satu solusi yang dinilai tepat oleh Toto adalah refinancing. Refinancing ialah sebuah skema penggantian pinjaman yang ada dengan pinjaman baru, dengan melunasi utang pinjaman yang lama.
“Aspek pengelolaan keuangan atau financing, sangat krusial di era pandemi dan pasca pandemi bagi airlines business,” jelas Toto seperti dikutip dari Tribunnews, Selasa (25/5/2021).
“Karena pendanaan negara terbatas, maka selain pinjaman modal kerja dari pemerintah, Garuda juga harus mampu memperoleh alternatif financing lainnya. Misal dengan refinancing utang jatuh tempo, maupun refinancing dari mitra pemasok,” sambungnya.
Tak hanya refinancing, Toto juga menilai pengurangan jumlah sumber daya manusia (SDM) di Garuda Indonesia adalah sebuah langkah yang relevan.
“Pengurangan jumlah SDM juga merupakan langkah turnaround yang dilakukan banyak maskapai lainnya. Langkah ini menurut saya relevan dengan upaya membuat cost structure yang lebih ramping buat Garuda,” ujar Toto.
Ia menyebutkan, selama kegiatan manusia terbatas, bisnis Garuda Indonesia akan tetap dalam posisi yang negatif. “Saya kira dengan masih terbatasnya pergerakan manusia, kerugian Garuda memang akan cukup besar,” pungkasnya. [wip]