(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute, Wahyu Nuryanto menilai kebijakan tax amnesty jilid II yang digulirkan pemerintah hanya akan menimbulkan rasa ketidakadilan atau kasihan bagi masyarakat yang ikut dalam program jilid I.
Tax amnesty adalah salah satu program pengampunan pajak yang ditujukan pemerintah kepada seluruh “pengemplang pajak” untuk mengakui kesalahannya. Di antaranya, membayar kekurangan pajak pada tahun-tahun sebelumnya termasuk juga penghapusan bunga dan dendanya.
Rencana tax amnesty jilid II ini dituangkan dalam Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Dengan mengeluarkan kebijakan tax amnesty (jilid II), pemerintah memberi pesan yang kurang baik bagi wajib pajak yang berusaha mematuhi kewajibannya,” kata Wahyu seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (28/5/2021).
Menurutnya, tax amnesty adalah jalan pintas untuk mengerek penerimaan negara yang lebih besar di masa pandemi ini. Apalagi pemerintah harus mengembalikan defisit anggaran kembali di bawah 3 persen di tahun 2023.
Namun, ia merasa bahwa ini bukan langkah yang tepat. Sebab, tax amnesty jilid II ini akan menurunkan kepercayaan publik kepada pemerintah, terutama yang selama ini sudah taat membayarkan kewajiban perpajakannya.
Menurunnya kepercayaan publik akan sangat berpengaruh pada tingkat kepatuhan pajak. Bisa saja kepatuhan masyarakat yang selama ini taat membayar makin turun.
Belum lagi, pada saat tax amnesty jilid I, pemerintah menyebutkan bahwa program pengampunan bagi “pengemplang pajak” ini hanya akan dilakukan sekali seumur hidup dan tidak akan terjadi lagi. Ini dinilai akan sangat mengecewakan publik.
“Tax amnesty juga menimbulkan dampak lain. Terutama pada kredibilitas pemerintah yang sebelumnya sudah mengatakan tidak akan kembali memberi ampunan pajak,” jelasnya.
Selain itu, ia menyebutkan bahwa kembalinya dilakukan tax amnesty menunjukkan bahwa program pertukaran informasi keuangan antar negara atau Automatic Exchange of Information (AEoI) menjadi program yang kurang efektif. Sebab, AEoI adalah program untuk mengumpulkan informasi wajib pajak.
Dengan adanya program AEoI ini wajib pajak yang tidak patuh mengikuti tax amnesty jilid I agar sanksi bunganya lebih ringan. Namun, jika tahap kedua dilakukan tentu yang mengikuti tahap pertama merasa tidak adil. “Kita tahu, bahwa AEoI juga menjadi alasan bagi wajib pajak mengikuti program tax amnesty jilid I,” pungkasnya.
Pengamat pajak di Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, bahwa program ini lebih tepat disebut pengampunan pajak dibanding tax amnesty. Masih ada kemungkinan langkah yang diambil seperti sunset policy 2008.
Pengampunan pajak adalah cara paling pragmatis dan cepat untuk mengumpulkan penerimaan negara lebih banyak. Apalagi, Indonesia harus mengembalikan defisit anggaran yang membengkak saat ini kembali di bawah 3 persen pada tahun 2023.
“Pengampunan pajak ini dapat dijadikan solusi jangka pendek bagi pemerintah untuk memobilisasi pendapatan dalam jangka waktu yang cepat dan dengan effort yang tidak terlalu banyak,” ujarnya.
Namun, ia berharap jika program pengampunan pajak diberlakukan kembali, agar dibuat secara adil. Salah satunya menetapkan tarif sanksi yang lebih besar dibandingkan dengan tax amnesty jilid I dulu.
“Tentunya ada isu mengenai keadilan. Untuk menjawab isu tersebut, desain program pengampunan menjadi krusial. Contohnya, tarif yang dikenakan jauh lebih besar dibandingkan dengan program amnesti pajak 2016-2017 lalu. Serta ada kewajiban tambahan bagi wajib pajak yang ingin mengikutinya,” jelasnya.
Ada Orang Kuat
Tax amnesty memang menjadi jalan dan kesempatan bagi para wajib pajak untuk membayar pajak dengan jumlah tertentu. Termasuk penghapusan bunga dan dendanya tanpa takut akan dipidana.
Kala itu, pemerintah memberikan berbagai kemudahan kepada pembayar pajak yang mengikuti tax amnesty. Mulai dari penghapusan sanksi administratif, ditiadakannya pemeriksaan pajak, penghapusan pajak tertuang, hingga penghentian pemeriksaan.
Tak ayal, Presiden Jokowi yang secara rutin memantau pelaksanaan tax amnesty meminta para wajib pajak untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Pasalnya, program ini hanya satu kali seumur hidup.
“Kesempatan ini tidak akan terulang lagi. Jadi tax amnesty adalah kesempatan yang tidak akan terulang lagi. Ini yang terakhir. Yang mau gunakan silakan, yang tidak maka hati-hati,” jelasnya kala itu.
Namun, wacana menerapkan kebijakan tersebut kembali terbuka melalui perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Bahkan disebutkan akan segera dibahas antara pemerintah dan DPR.
Ekonom senior Faisal Basri menyebut ada “orang kuat” yang menjadi pemicu pemerintah kembali menerapkan kebijakan tersebut. Orang kuat di balik rencana tersebut bahkan disebut berada di lingkaran Presiden Jokowi.
“Orang kuat itu ada di dalam pusaran terdalam politik. Mereka dekat dengan inti kekuasaan dan mereka punya pengaruh politik yang besar,” jelasnya awal pekan ini.
Ekonom senior Dradjad Wibowo tak memungkiri keberadaan orang kuat yang dimaksud Faisal Basri. Namun, menurutnya, orang yang dimaksud tidak sekuat yang diperkirakan.
“Saya enggan menyebut orang kuat. Saya lebih memilih istilah para penggagas. Saya tahu para penggagas tax amnesty lanjutan ini tidak kuat-kuat amat,” jelas Dradjad, Kamis (27/5/2021).
Ia mengaku bahwa dirinya memang sempat dimintai pandangan terkait pelaksanaan tax amnesty jilid II. Artinya, wacana pelaksanaan tax amnesty sejatinya sudah mulai dibahas serius sejak lama. “Sikap saya konsisten. Tolong dihitung dengan teliti manfaat vs (versus) kerugiannya,” ujarnya.
Drajad membantah kalau itu ada dalam jajaran menteri. Ia menilai pelaksanaan tax amnesty jilid II memang akan memberikan manfaat bagi negara. Namun, bukan berarti tidak ada kerugian dari sisi fiskal pemerintah.
“Hingga saat ini belum ada evaluasi terbuka dan tajam terhadap manfaat vs kerugian tax amnesty sebelumnya. Selain itu, masih ada kasus-kasus pajak yang didalami,” katanya.
“Jadi saran saya, evaluasi dulu yang obJektif. Lalu buat desain tax amnesty yang benar-benar mengatasi kelemahan sebelumnya. Setelah itu, boleh kita bahas secara terbuka, baik di DPR maupun di publik. Tax amnesty akan berhasil jika partisipatif dan transparan,” tambahnya. [wip]