(IslamToday ID) – Para dai dan penceramah agama akan disertifikasi wawasan kebangsaan dalam rangka penguatan moderasi beragama. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI, Selasa (1/6/2021).
Yaqut mengatakan, jaringan stakeholders dari Kementerian Agama yang berasal dari organisasi ke masyarakat agama dan lembaga dakwah cukup luas, dan perlu berkontribusi dalam memecahkan problematika “what”.
“Salah satunya dengan melakukan bimbingan kepada para dai dengan menggandeng peran ormas Islam dan lembaga dakwah,” katanya seperti dikutip dari Sindo News.
Fasilitas pembinaan ini, kata Yaqut, untuk meningkatkan kompetensi para dai dalam menjawab dan merespons isu-isu aktual dengan strategi metode dakwah yang menitikberatkan pada wawasan kebangsaan atau sejalan dengan slogan Hubbul Wathon Minal Iman.
“Pelaksanaan bimbingan teknis kepada para dai juga sejalan dengan upaya penguatan moderasi beragama yang dicanangkan dalam RPJMN 2020-2024,” paparnya.
Saat ini, Yaqut mengatakan bahwa moderasi beragama telah menjadi bagian dari arah kebijakan dan strategi pemerintah menuju revolusi mental dan pembangunan kebudayaan.
Nantinya, kata Yaqut, bimbingan teknis akan diselenggarakan oleh Ditjen Bimas Islam baik di tingkat pusat maupun di tingkat instansi vertikal dengan menggandeng peran serta organisasi masyarakat Islam setempat.
“Para dai yang sudah mengikuti bimtek akan memperoleh sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh Kementerian Agama,” katanya.
“Diharapkan para dai yang sudah terbina akan bertambah wawasan serta kompetensi keilmuannya dan memiliki integritas kebangsaan yang tinggi, untuk mensyiarkan dakwah langsung pada masyarakat tempatnya berdomisili melalui pendekatan kultur dan budaya setempat,” tambah Yaqut.
Serahkan ke MUI
Terkait sertifikasi wawasan kebangsaan untuk dai dan penceramah itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Fraksi Golkar, Ace Hasan Syadzily meminta agar negara tidak terlalu mencampuri urusan sertifikasi penceramah. Hal itu, ditekankan Ace, agar tidak ada polemik terkait stigmatisasi status penceramah negara.
“Soal moderasi beragama melalui kompetensi penceramah, buat saya sederhana, saya sebetulnya mendukung untuk program ini,” kata Ace.
“Hanya saja, memang harus dipastikan bahwa jangan sampai ada despotisme negara untuk menentukan bahwa ini penceramah negara, dan ini bukan penceramah negara,” imbuhnya.
Ace menekankan bahwa agama merupakan urusan masing-masing masyarakat. Ia meminta agar sertifikasi agama diserahkan kepada Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, ataupun Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Karena urusan agama itu ya diserahkan kepada masyarakat itu sendiri. Jangan sampai kena stigmatisasi yang justru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara itu sendiri. Itu yang saya kira harus dijaga,” paparnya.
“Oleh karena itu, sejak awal saya selalu menekankan bahwa untuk penceramah-penceramah ini diserahkan saja ke NU, Muhammadiyah, MUI. Negara fungsinya memfasilitasi saja. Saya pikir itu penting,” sambung Ace.
Ancaman Perpecahan dan Gesekan
Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan menyoroti rencana Menag Yaqut terkait sertifikasi penceramah dalam rangka penguatan moderasi beragama dan wawasan kebangsaan.
Ia menyatakan sertifikasi penceramah dikhawatirkan menimbulkan perpecahan dan gesekan di akar rumput, serta adanya potensi persekusi dari pihak tertentu kepada dai yang tidak memiliki sertifikasi tersebut.
“Sebelum ada sertifikasi saja kerap marak persekusi serta terkadang agenda kegiatannya dibatalkan dan penceramahnya diusir atas tuduhan radikal,” kata Chandra seperti dikutip dari JPNN.
Ia menilai pemerintah semestinya tidak melakukan indelingsbelust yaitu mendefinisikan, pengkotak-kotakan yang semuanya dilakukan oleh dan menurut persepsi pemegang kekuasaan negara. “Sebelumnya terkait definisi radikal apakah memiliki dasar hukum? Di dalam perundangan-undangan yang mana? Pasal berapa? Ditambah lagi dengan tes wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan yang seperti apa?” kata Chandra mempertanyakan.
Berikutnya, ia meminta pemerintah jangan menjadikan TWK sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang atau penceramah yang kerap dituduh radikal, intoleran, dan anti kebangsaan.
“Atau berpotensi menjadi alat gebuk pemerintah untuk membungkam lawan-lawan politiknya,” tegas Ketua Eksekutif BPH KSHUMI (Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia) itu.
Menurut Chandra, selama ini masyarakat menilai dan beranggapan mereka yang senantiasa dekat dan “membenarkan” pemerintah dianggap sebagai Pancasilais atau memiliki wawasan kebangsaan. Sementara, mereka yang mengkritik pemerintah diposisikan sebagai anti Pancasila, tidak Pancasilais, dan tidak memiliki wawasan kebangsaan. [wip]