(IslamToday ID) – Bareskrim Polri akan melimpahkan dokumen dugaan penerimaan gratifikasi Ketua KPK Firli Bahuri ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto mengatakan perkara tersebut memang sudah pernah ditangani oleh Dewas, sehingga Polri tak ingin terlibat lebih jauh dalam kisruh di lembaga antirasuah itu.
“Sudah ditangani Dewas KPK, nanti kami limpahkan saja ke sana,” kata Agus seperti dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (5/6/2021).
Ia berdalih bahwa pihak kepolisian saat ini tengah sibuk menangani masalah pandemi virus corona (Covid-19) dan pemulihan ekonomi nasional.
Di sisi lain, Dewas KPK menyatakan pihaknya tidak memiliki wewenang lebih jauh untuk mendalami dokumen yang dikumpulkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dugaan gratifikasi tersebut.
Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menjelaskan kerja Dewas sudah rampung pada 2020 lalu dengan menyatakan Firli melanggar etik dengan menyewa helikopter untuk kepentingan pribadinya. Menurutnya, Dewas tak punya wewenang lebih jauh untuk mendalami dugaan pelanggaran pidana.
“Dewas sudah selesai. Dewas hanya memeriksa Etik. Tidak punya kewenangan untuk memeriksa pidananya,” kata Tumpak.
Ia mengatakan kerja Dewas ialah memeriksa sisi kepantasan ataupun kepatutan dari peristiwa tersebut. Kemudian, semuanya pun telah diputuskan dalam kesimpulan yang dibacakan tahun lalu.
Karena itu, Dewas tak bisa melakukan pemeriksaan lebih mendalam apabila terdapat pihak-pihak yang menduga Firli menerima gratifikasi berupa diskon dari penyewaan helikopter itu dari swasta.
“Pernyataan dari orang helikopternya juga kita panggil kok. Pilotnya kita panggil, manajernya kami panggil, kita dengar. Tapi apakah itu benar atau tidak benar (ada pelanggaran pidana), saya tidak punya kewenangan sampai sejauh itu,” ucapnya lagi.
Ia pun mempersilakan setiap pihak yang masih ingin mendalami perkara tersebut.
Tumpak hanya menekankan bahwa selama proses sidang etik, segala kelengkapan penyewaan itu sudah diperiksa dan diakui oleh pihak-pihak terkait.
“Apakah ada diskon, mana saya tahu, dia bilang tidak ada. Bagaimana saya bisa memaksa. Itu pengakuan dari si pemilik helikopter loh, perusahaan,” ujar Tumpak.
“Kami tidak mungkin membuka pembukuannya sana, segala macam. Upaya kami seperti itu,” tambahnya.
ICW sendiri menduga Firli mendapat diskon besar-besaran dari vendor yang menyewakan helikopter lantaran terkait dengan suatu kepentingan tertentu.
“Kami mendapatkan informasi bahwa harga sewa yang terkait dengan penyewaan helikopter itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Firli ketika sidang etik dengan Dewas,” kata peneliti ICW Wana Alamsyah di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (3/6/2021).
Menurut Wana, salah satu komisaris dari PT APU yang memberikan penyewaan, sempat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi Meikarta yang ditangani oleh KPK pada 2018 saat dirinya menjabat sebagai Deputi Penindakan. Dalam hal ini, helikopter itu disewakan seharga Rp 7 juta untuk satu jam pemakaian.
Sementara, dibandingkan ICW, harga sewa helikopter itu bisa mencapai Rp 39,1 juta per jam dan total yang harus dibayarkan Firli ialah Rp 172,3 juta.
Tiga Pelanggaran Etik Firli Bahuri
Sebelumnya, dugaan pelanggaran etik oleh Ketua KPK Firli Bahuri dilaporkan oleh 75 pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) kepada Dewas.
Terdapat tiga poin besar terkait dugaan pelanggaran tersebut. Dua poin pertama berkenaan dengan integritas.
Firli diduga melanggar pasal 4 ayat (1) huruf a Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi RI No 02 Tahun 2020 Tentang Penegakan Pedoman Kode Etik dan Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Tidak berperilaku dan bertindak secara jujur dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan fakta dan kebenaran,” dikutip dalam surat tersebut, Selasa (18/5/2021).
Kedua, Firli juga dianggap tidak menjaga citra, harkat, dan martabat Komisi di berbagai forum, baik formal maupun informal di dalam maupun di luar negeri. Hal ini sebagaimana ketentuan pasal 4 ayat 1 huruf C Peraturan Dewan Pengawas KPK No 2 Tahun 2020.
Terakhir, dugaan pelanggaran kode etik Firli berkenaan dengan kepemimpinan. Ia diduga melanggar pasal 8 ayat 2 Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi RI No 02 Tahun 2020 tentang Penegakan Pedoman Kode Etik dan Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Bertindak sewenang-wenang atau tidak adil atau bersikap diskriminatif terhadap bawahan atau sesama insan Komisi,” tulisnya.
Dalam Peraturan Dewas KPK No 2 Tahun 2020, pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan pasal 8 dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran ringan, sedang, atau berat.
Adapun terhadap pelanggaran itu dapat dikenakan sanksi ringan berupa teguran lisan dengan masa berlaku hukuman selama satu bulan. Sedangkan sanksi berat berupa diminta mengajukan pengunduran diri. [wip]