(IslamToday ID) – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan PBNU menolak rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bidang pendidikan yang diwacanakan pemerintah. Kebijakan seperti ini dinilai bertentangan dengan konstitusi dan tak layak dilanjutkan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan keberatan atas wacana penerapan PPN bidang pendidikan sebagaimana tertuang dalam draf RUU Revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Ia menyatakan pemerintah seharusnya yang paling bertanggung jawab dan berkewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN sesuai dengan amanat undang-undang.
“Ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, Kristen, Katholik, dan sebagainya justru meringankan beban dan membantu pemerintah yang semestinya diberi reward atau penghargaan, bukan malah ditindak dan dibebani pajak yang pasti memberatkan. Kebijakan PPN bidang pendidikan jelas bertentangan dengan konstitusi dan tidak boleh diteruskan,” kata Haedar seperti dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (11/6).
Rencana penerapan PPN bidang pendidikan ini, kata Haedar, jelas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 31. Poinnya, tentang bagaimana setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.
“Pemerintah, termasuk Kemenkeu dan DPR mestinya mendukung dan memberi kemudahan bagi organisasi kemasyarakatan yang menyelenggarakan pendidikan secara sukarela dan berdasarkan semangat pengabdian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Haedar.
Sebaliknya, dengan perpajakan ini, kata Haedar, pemerintah dan DPR malah memberatkan langkah lembaga dan organisasi kemasyarakatan penggerak pendidikan. Padahal, kata Haedar, selama ini mereka telah banyak membantu rakyat kecil, serta meringankan beban pemerintah dalam memeratakan pendidikan.
“Jika kebijakan PPN itu dipaksakan untuk diterapkan, maka yang nanti akan mampu menyelenggarakan pendidikan selain negara yang memang memiliki APBN, justru para pemilik modal yang akan berkibar dan mendominasi, sehingga pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan,” tutur Haedar.
Ia menilai PPN bidang pendidikan hanya akan membuat peningkatan mutu di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal (3T) kian tersendat, terutama di era pandemi Covid-19 ini. Ujung-ujungnya, kata Haedar, pendidikan Indonesia semakin sulit bersaing dengan negara-negara lain.
“Konsep pajak progresif lebih-lebih di bidang pendidikan secara ideologis menganut paham liberalisme absolut, sehingga perlu ditinjau ulang karena tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia yang mengandung spirit gotong-royong dan kebersamaan,” jelasnya.
Haedar menyarankan, para perumus konsep dan pengambil kebijakan semestinya menghayati, memahami, dan membumi dalam realitas kebudayaan bangsa Indonesia. Bukan kian terbawa arus rezim ideologi liberalisme dan kapitalisme yang bertentangan dengan konstitusi, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Cerdaskan Kehidupan Bangsa
Sedangkan penolakan dari PBNU disuarakan oleh Lembaga Pendidikan Ma’arif NU. Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, Arifin Junaidi mendesak pemerintah agar mengurungkan rencana tersebut.
“LP Ma’arif NU PBNU menolak rencana penghapusan bebas pajak bagi lembaga pendidikan, dan meminta pemerintah membatalkannya,” tegas Arifin dalam keterangan tertulis seperti dikutip dari Liputan 6, Jumat (11/6/2021).
Dirinya mengaku tak habis pikir alasan apa yang ada di benak pemerintah untuk berniat mengambil pajak dari pendidikan tersebut. Setelah gagal mengkapitalisasi pendidikan saat menyusun RUU Omnibus Law, kini pemerintah akan mengenakan pajak bagi lembaga pendidikan.
“Ini bertentangan dengan upaya mencerdaskan bangsa yang menuntut peran pemerintah dan keterlibatan masyarakat. Harusnya pemerintah mendukung partisipasi masyarakat,” tegasnya.
Bagi Arifin, pihaknya memandang pendidikan bukan ladang untuk mencari keuntungan. Lebih penting dari itu, aktivitas LP Ma’arif NU dalam dunia pendidikan demi ikut berperan serta dalam upaya mencerdaskan bangsa sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945.
“Itu sebabnya gaji tenaga didik kependidikan di lingkungan LP Ma’arif NU harus diakui masih jauh dari layak, karena jauh di bawah UMK. Padahal tugas, posisi, dan fungsi guru tak berada di bawah buruh,” katanya.
LP Ma’arif NU yang bergiat di bidang pendidikan jauh sebelum kemerdekaan RI, menurutnya, saat ini menaungi sekitar 21.000 sekolah dan madrasah di seluruh Indonesia, dan sebagian besar ada di daerah 3 T.
Dalam menetapkan biaya pendidikan yang harus ditanggung murid, jangankan menghitung komponen margin dan pengembalian modal, dapat menggaji tenaga didik kependidikan dengan layak saja merupakan hal yang berat. “Karena hal itu akan sangat memberatkan orang tua murid,” keluhnya. [wip]