(IslamToday ID) – Harun Al Rasyid, Kepala Satgas (Kasatgas) Penyelidikan nonaktif, meyakini bahwa dirinya bisa menangkap politikus PDIP, Harun Masiku yang saat ini masih buron sebagai tersangka karena telah menyuap mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Namun, Harun Al Rasyid mengaku saat ini tidak bisa berbuat banyak. Sebab, keinginannya untuk menangkap Harun Masiku saat ini terganjal SK penonaktifan dirinya karena dinyatakan tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Saya SK 652 (SK penonaktifan) dicabut sore ini, saya bungkus,” kata Harun Al Rasyid dalam wawancaranya di film dokumenter “KPK End Game” besutan WatchDoc, seperti dikutip dari CNN Indonesia, Senin (14/6/2021).
“Masalahnya saya diminta untuk menyerahkan ini tugas,” imbuhnya.
Harun Al Rasyid mengaku dirinya mengetahui keberadaan Harun Masiku yang dalam 16 bulan terakhir buron sejak ditetapkan sebagai tersangka. Dalam obrolan bersama Najwa Shihab sebelumnya, Harun Masiku, kata Harun Al Rasyid, ada di luar negeri dua bulan lalu.
Namun, keinginannya untuk menangkap Harun Masiku saat ini terganjal usai pimpinan KPK kadung mengeluarkan Surat Keputusan No 652 Tahun 2021 soal pembebastugasan 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam TWK.
Harun Al Rasyid diketahui merupakan 1 dari 75 pegawai yang dinyatakan tak bisa lagi bergabung dengan lembaga antirasuah karena gagal dalam TWK. Sejumlah pegawai yang dinonaktifkan itu disebut-sebut sebagian merupakan tim yang banyak terlibat dalam penanganan kasus kakap KPK. seperti korupsi bansos dan suap ekspor benur, termasuk diantaranya kasus Harun Masiku.
Sementara itu, penyidik KPK yang juga dinonaktifkan karena tak lulus TWK, Hasan menuding Ketua KPK Firli Bahuri kerap membocorkan rencana operasi tangkap tangan (OTT) saat menjabat sebagai Deputi Penindakan.
Hal itu disampaikan Hasan dalam film dokumenter garapan WatchDoc bertajuk “KPK End Game”. “Pada waktu itu saya melaporkan Firli membocorkan rencana operasi tangkap tangan. Saya menginformasikan kepada pimpinan seperti itu. Kebocoran di KPK ini paling sering justru pada waktu Pak Firli jadi Deputi (Penindakan),” ujar Hasan.
Selain dirinya, Hasan menuturkan bahwa penyelidik dan penyidik lainnya juga menghadap kepada pimpinan lembaga antirasuah untuk melaporkan Firli. Ia mengatakan laporan dilayangkan karena melihat indikasi-indikasi keterlibatan Firli.
“Pada waktu itu beberapa rekan-rekan penyelidik dan penyidik sempat menghadap kepada pimpinan dan menyampaikan bahwa ‘Bagaimana ini, Pak? Ini banyak sekali perkara yang bocor. OTT yang bocor, yang gagal’. Dan juga kita ada beberapa indikasi-indikasi tertentu sehingga kita melaporkan kepada pimpinan,” tuturnya.
“Namun, kebetulan belum sempat dijatuhkan sanksi etik, sudah ditarik kembali ke instansi asal,” imbuhnya.
Menurut Hasan, OTT gagal lebih banyak disebabkan oleh kebocoran internal. Katanya, pegawai KPK yang membocorkan hal tersebut tidak mempunyai integritas.
“Pegawai yang tidak berintegritas yang mungkin menjual informasi atau dia mungkin ada motif tertentu yang kita tidak tahu, dia membocorkan OTT tersebut. Harapannya seperti apa, ya kita juga tidak pernah tahu,” katanya.
Pada September 2019, KPK menyatakan mantan Deputi Penindakan Firli Bahuri terbukti melakukan pelanggaran berat. Kesimpulan itu diperoleh setelah Direktorat Pengawasan Internal KPK merampungkan pemeriksaan yang dilakukan sejak 21 September 2018.
Hasil pemeriksaan disampaikan kepada pimpinan KPK tertanggal 23 Januari 2019.
Firli terbukti melanggar etik karena melakukan pertemuan dengan Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang sebanyak dua kali. Padahal, KPK sedang melakukan penyelidikan dugaan korupsi terkait kepemilikan saham pemerintah daerah dalam PT Newmont pada 2009-2016.
Pelanggaran etik selanjutnya adalah ketika Firli bertemu pejabat BPK Bahrullah Akbar di Gedung KPK. Saat itu, Bahrullah akan menjalani pemeriksaan dalam kapasitas sebagai saksi untuk tersangka Yaya Purnomo perihal kasus suap dana perimbangan.
Sementara pertemuan ketiga dilakukan dengan pimpinan partai politik di sebuah Hotel di Jakarta, 1 November 2018. [wip]