(IslamToday ID) – Ekonom senior Faisal Basri menyatakan mayoritas utang pemerintah digunakan untuk membayar beban bunga utang, alias untuk gali lubang tutup lubang. Kondisi ini tercermin dari belanja pemerintah dalam APBN.
“Kita lihat selama era pemerintahan Jokowi belanja yang naik paling kencang adalah bayar bunga utang. Jadi, kita utang buat bayar bunga utang juga, gali lubang tutup lubang istilahnya,” ujarnya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Rabu (30/6/2021).
Faisal mengatakan berdasarkan data yang dihimpunnya dari APBN, ia tahu selama 2014 hingga sekarang ini, pertumbuhan belanja untuk pembayaran utang mencapai 108 persen. Itu merupakan yang paling tinggi.
Baru kemudian pengeluaran diikuti oleh belanja barang sebesar 105 persen dan belanja pegawai 73 persen. Sebaliknya, pertumbuhan belanja yang berkaitan dengan rakyat langsung justru lebih rendah. Misalnya, belanja sosial hanya tumbuh 64 persen.
Karenanya, ia menilai klaim pemerintah bahwa utang pemerintah digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, mayoritas utang justru digunakan untuk membayar bunga utang.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur justru mayoritas menggunakan utang dari BUMN infrastruktur. Dalam catatannya, utang BUMN non keuangan mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun pada Maret 2021 akibat tugas pembangunan infrastruktur.
“Jadi, bohong besar kalau kita utang kelihatan tuh infrastruktur dibangun dimana-mana, tidak betul. Kalau dilihat dari sini sebagian besar kenaikan utang buat bayar bunga utang, belanja barang, dan belanja pegawai,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga memperingatkan pemerintah bahwa utang Indonesia tidak dalam kondisi baik-baik saja. Sebab, utang Indonesia semakin membebani APBN.
Indikatornya, lanjutnya, rasio pembayaran bunga utang terhadap pengeluaran atau belanja dan pendapatan APBN milik Indonesia sudah tinggi. Masing-masing mencapai 12 persen dan 14 persen.
Angka ini hampir menyamai AS yakni rasio pembayaran bunga utang terhadap pengeluaran sebesar 12 persen dan rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan 15,5 persen.
Dibandingkan negara lain, rasio pembayaran bunga utang Indonesia terbilang tinggi. Jepang misalnya, masing-masing hanya 9 persen. Padahal, rasio utang Jepang terhadap PDB paling tinggi mencapai 237 persen.
Indonesia juga melampaui negara lain seperti Yunani dengan rasio pembayaran bunga utang 6 persen, Italia masing-masing 7,8 persen dan 8,2 persen, maupun Singapura yang masing-masing hanya 0,6 persen dan 0,4 persen.
“Jadi jangan dibilang ini tidak ada masalah. Ini sudah bermasalah. Ini sudah membebani, sudah menggerogoti APBN dan berpotensi kalau ada apa-apa, maksudnya kalau ada krisis kecil rupiah bisa merosot, karena Indonesia harus bayar bunga lebih banyak saat rupiah merosot,” ujarnya.
Indikator lainnya, Bank Dunia menyebut bahwa rasio pembayaran bunga utang Indonesia dibandingkan pendapatan ekspor mencapai 39 persen. Artinya, 39 persen cadangan devisa yang didapatkan Indonesia dari ekspor digunakan untuk membayar bunga utang, alih-alih untuk membiayai sektor produktif lainnya.
Angka ini merupakan yang tertinggi keempat setelah Montenegro (55 persen), Brasil (53 persen), dan Argentina (47 persen).
“39 Persen harus disisihkan untuk membayar cicilan dan bunga utang, ini kita tinggi sekali. Contohnya, Filipina hanya 10 persen, China cuma 10 persen, India 9 persen. Nah, ini kan sudah merongrong kemampuan kita,” imbuhnya.
Menurutnya, lambat laun tumpukan itu akan membebani masyarakat dalam bentuk kenaikan tarif pajak. Sebab, pemerintah harus berputar otak mencari sumber pendanaan untuk membayar bunga utang maupun cicilannya.
“Itu sudah ada rencana menaikkan PPN dan memajaki sembako, itu langsung dampaknya terasa padahal masyarakat sedang berjuang hadapi pandemi. Itulah hakikatnya kenaikan PPN ini juga menunjukkan beban utang pemerintah yang makin berat, tidak tahu harus membiayai dari mana, ya dipajaki rakyatnya,” tuturnya.
Per Kepala WNI Tanggung Utang Rp 23 Juta
Mengutip dari laman APBN KiTa Juni 2021 yang dirilis Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah per akhir Mei 2021 yakni mencapai Rp 6.418,15 triliun. Dalam perjalanannya, utang pemerintah sudah melonjak lebih dari dua kali lipat dibandingkan masa awal pemerintahan Presiden Jokowi di periode pertamanya.
Sebagai contoh, pada akhir tahun 2014, utang pemerintah tercatat masih di level Rp 2.608 triliun. Kemudian setahun setelahnya atau di akhir 2015, utang pemerintah sudah menjadi Rp 3.089 triliun.
Selain kenaikan besaran total utang pemerintah, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) di era Presiden Jokowi juga mengalami kenaikan signifikan. Di awal masa jabatannya sebagai Presiden RI, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat masih di level 24,7 persen. Kini angkanya sudah naik menjadi 40,94 persen.
Dari total utang pemerintah sebesar Rp 6.418,15 triliun tersebut, sebagian besar berasal dari utang lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 5.580,02 triliun.
Sisanya di luar SBN, utang pemerintah berasal dari sumber pinjaman yakni sebesar Rp 838,13 triliun. Terdiri dari pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri yang meliputi pinjaman bilateral, pinjaman multilateral, commercial banks, dan suppliers.
Sementara itu, jika diasumsikan dengan total keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, maka setiap satu penduduk atau per kepala warga negara Indonesia (WNI) menanggung utang sebesar Rp 23,75 juta.
Angka tersebut didapat dengan membagi jumlah utang pemerintah Rp 6.418 triliun dengan jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2020 dari BPS dengan populasi sebanyak 270,2 juta penduduk.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit laporan keuangan pemerintah pusat di era pemerintah Presiden Jokowi tahun lalu, termasuk penggunaan APBN 2020.
Lembaga auditor itu menyatakan kekhawatiran kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir. Kekhawatiran lainnya yakni rasio utang terhadap PDB yang juga terus meningkat.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna berujar, utang pemerintah semakin jor-joran akibat merebaknya pandemi virus corona (Covid-19). Pertumbuhan utang dan biaya bunga yang ditanggung pemerintah ini sudah melampaui pertumbuhan PDB nasional.
“Ini memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunga utang,” ujar Agung seperti dikutip dari Kompas.
Sejumlah indikator menunjukkan tingginya risiko utang dan beban bunga utang pemerintah. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 19,06 persen. Angka tersebut melampaui rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 7-10 persen dan standar International Debt Relief (IDR) sebesar 4,6-6,8 persen.
Adapun rasio utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 369 persen, jauh di atas rekomendasi IMF yang sebesar 90-150 persen dan standar IDR sebesar 92-167 persen.
Selain itu, rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri (debt service ratio) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah pada tahun 2020 mencapai 46,77 persen. Angka tersebut juga melampaui rekomendasi IMF yang sebesar 25-35 persen. Namun, nilai tersebut masih dalam rentang standar IDR yang sebesar 28-63 persen. [wip]