(IslamToday ID) – Kalangan guru besar dan BEM Universitas Indonesia (UI) mendesak agar Peraturan Pemerintah (PP) No 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI segera dicabut. Desakan itu untuk menghentikan polemik rektor rangkap jabatan.
“Tidak ada pilihan lain selain mencabut PP ini,” kata Guru Besar Fakultas Hukum UI Sulistyowati Irianto saat diskusi secara daring, Sabtu (24/7/2021).
Menurutnya, desakan ini harus disampaikan oleh semua pihak yang keberatan dengan isi revisi Statuta UI. Permintaan itu harus disampaikan secara langsung kepada pemerintah.
“Bersama-sama mengatakan ke pemerintah kita butuh PP ini dicabut. Sebab revisi harusnya disuarakan semua stakeholder, melibatkan semua stakeholder,” kata Sulistyowati seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Hal sama juga diungkap oleh Ketua BEM UI, Leon Alvinda Putra. Menurutnya, Statuta UI baru dari PP No 75/2021 itu berpotensi merugikan universitas karena tidak mencerminkan nilai-nilai kampus kuning tersebut. “Kami anggap ke depan bisa menghancurkan UI jika dibiarkan,” katanya.
Leon mengatakan sejak tahun lalu mahasiswa UI telah menyampaikan sejumlah rekomendasi apabila statuta itu akan direvisi. Rekomendasi itu, katanya, di antaranya pengelompokan pendapatan atau bayaran sistem UKT, beasiswa, hingga keterwakilan mahasiswa di Majelis Wali Amanat (MWA).
“Kami ingin hak atas informasi dan berpartisipasi dalam pembuatan dan evaluasi kampus yang berdampak signifikan kepada mahasiswa,” katanya.
Rekomendasi ini berkaitan dengan penambahan unsur MWA mahasiswa menjadi dua orang. Sebab katanya, selama ini puluhan ribu mahasiswa hanya diwakilkan satu orang di MWA.
“Dan kami minta tambah satu orang lagi saja, itu jelas dari pascasarjana. Jadi satu sarjana, satu pascasarjana. Karena kami melihat kebutuhan mereka berbeda,” katanya.
Terkait rangkap jabatan rektor, Leon menyatakan BEM UI tidak setuju. Ia mengatakan rektor UI secara absolut tak boleh rangkap jabatan, baik itu di institusi pemerintah maupun di BUMN.
“Terkait rangkap jabatan juga kami klir bahwa rektor tak boleh rangkap jabatan. Baik sebagai komisaris, wakil komisaris, direktur, atau jabatan yang setara dengan jabatan tersebut. Jadi bukan justru diganti hanya tak boleh jadi direksi,” kata Leon.
Alokasi Beasiswa
Leon menyebut dalam PP No 75/2021 tak hanya soal jabatan rektor UI yang bermasalah. Ia juga menemukan beberapa pasal bermasalah yang menyangkut kepentingan mahasiswa. “Ada beberapa pasal bermasalah yang menyangkut kepentingan mahasiswa,” katanya.
Misalnya, kata Leon, terkait beasiswa untuk mahasiswa yang kurang mampu dan berprestasi secara akademik. Dalam statuta terbaru, kampus tak lagi memiliki kewajiban untuk mengalokasikan beasiswa minimal 20 persen dari jumlah keseluruhan mahasiswa.
Padahal, katanya, aturan ini sebelumnya tertuang dalam PP No 68/2013 pasal 11 ayat 5. Namun, dalam PP No 75/2021 aturan ini tak lagi berlaku.
Sementara itu dalam statuta baru UI, kata Leon, hanya ada aturan berkaitan penjaringan mahasiswa dari seluruh Indonesia yang berprestasi secara akademik namun tak mampu secara ekonomi.
Penjaringan ini akan dialokasikan untuk 20 persen kursi dari total mahasiswa yang diterima kampus tersebut melalui pola penerimaan secara nasional. Aturan itu tertuang dalam pasal 13 PP No 75/2021 ayat 4.
Tentu, tambah Leon, ada perbedaan di kedua pasal ini. Perubahan frasa keseluruhan jumlah mahasiswa menjadi seluruh mahasiswa baru yang diterima melalui pola penerimaan secara nasional. Frasa ini ia sebut akan berdampak kepada mahasiswa.
“Artinya implikasi yang mungkin terjadi 20 persen ini hanya yang diterima lewat SNMPTN dan SBMPTN saja. Simak UI, PPKB dan lain sebagainya tidak ada syarat ini setelah statuta baru,” katanya.
Perubahan aturan dalam Statuta UI itu pun, menurut Leon, sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai kampus berjas kuning tersebut. Bahkan, jika dibiarkan berpotensi menghancurkan UI itu sendiri. “Kami anggap ke depan bisa menghancurkan UI jika dibiarkan,” pungkasnya. [wip]