(IslamToday ID) – Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) akan menggugat Ketua DPR RI Puan Maharani ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait dengan seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Gugatan akan dilayangkan pada pekan depan dan meminta agar PTUN membatalkan surat Ketua DPR No: PW/09428/DPR RI/VII/2021 tanggal 15 Juli 2021 kepada pimpinan DPD RI tentang penyampaian nama-nama calon anggota BPK RI berisi 16 orang.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menduga ada dua calon yang tidak memenuhi persyaratan, yakni Nyoman Adhi Suryadnyana dan Harry Z Soeratin. “MAKI minggu depan akan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta,” ujarnya melalui pesan tertulis seperti dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (7/8/2021).
Pada periode Oktober 2017 sampai Desember 2019, lanjut Boyamin, Nyoman merupakan Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (Kepala Satker Eselon III) yang notabene adalah pengelola keuangan negara (Kuasa Pengguna Anggaran/KPA).
Sedangkan Harry Z Soeratin pada Juli 2020 lalu dilantik oleh Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) yang notabene merupakan jabatan KPA.
Menurut Boyamin, ihwal latar belakang MAKI gugat Puan Maharani, seharusnya Nyoman dan Harry tidak lolos seleksi karena bertentangan dengan pasal 13 huruf j UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Pasal itu berbunyi “Untuk dapat dipilih sebagai anggota BPK, calon harus memenuhi syarat-syarat, (huruf j) paling singkat telah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara”.
“Gugatan ini bertujuan untuk membatalkan surat tersebut dan termasuk membatalkan hasil seleksi calon anggota BPK yang tidak memenuhi persyaratan dari kedua orang tersebut,” kata Boyamin.
Koalisi Save BPK atau #SaveBPK akan melaporkan Komisi XI DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian Keuangan Negara, Prasetyo.
“Bersama ini kami dari Pusat Kajian Keuangan Negara yang tergabung dalam Koalisi #SaveBPK melaporkan dugaan pelanggaran etik oleh Komisi XI DPR dalam proses seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2021,” bunyi surat laporan seperti dikutip dari Republika.
Prasetyo menjelaskan ada indikasi Komisi XI DPR meloloskan kedua calon anggota BPK Harry Z Soeratin dan Nyoman Adhi Suryadnyana, padahal tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 13 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Prasetyo mengungkapkan perdebatan di internal Komisi XI sempat terjadi. Ada kebimbangan antara meloloskan kedua nama tersebut atau mencoret sesuai dengan rekomendasi BK. Namun akhirnya perdebatan tersebut berakhir deadlock, dan kemudian diambil keputusan menunggu fatwa Mahkamah Agung (MA).
“Karena sudah terpojok sepertinya itu langkah jalan tengah,” ujar Prasetyo.
Namun demikian, dirinya memandang langkah DPR menunggu fatwa MA dinilai tidak relevan dan tidak mendasar. Sebab, sudah jelas bahwa kedua calon anggota BPK tersebut masih belum dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat pengelola keuangan negara atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
“Nanti kasusnya akan sama dengan tahun 2009. Bila misalnya lolos dan jadi terpilih pun akan dianulir. Kasus 2009 Pak Dharma Bhakti dan Gunawan Sidauruk dianulir oleh paripurna DPR setelah minta fatwa dari MA karena belum dua tahun meninggalkan jabatan KPA,” jelasnya.
Harusnya Didiskualifikasi
Hal yang sama juga dilakukan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus. Ia menilai seharusnya Komisi XI DPR langsung mendiskualifikasi calon anggota BPK yang tidak memenuhi syarat tersebut.
“Pertimbangan BK DPR terlihat cukup objektif karena menilai kelayakan seseorang calon berdasarkan persyaratan sebagaimana yang diatur dalam UU tentang BPK. Tentu saja syarat-syarat dalam UU BPK itu bukan hal yang remeh-remeh untuk diabaikan begitu saja, karena DPR tentu tak bisa dinilai melanggar UU. Jadi soal dua nama yang menurut BK DPR tak memenuhi syarat mestinya langsung didiskualifikasi dari proses pemilihan anggota BPK,” kata Lucius seperti dikutip dari Republika.
Menurutnya, jika DPR memaksakan kelanjutan proses bagi dua orang yang dinilai BK DPR tak memenuhi syarat, maka bisa dikatakan DPR melanggar UU. Sebab ketidaklayakan yang jadi alasan BK DPR berdasarkan syarat yang ditulis dalam UU BPK.
“Jika keduanya masih dipertahankan, bukan hanya pelanggaran atas UU BPK, kepentingan tersembunyi DPR atas kedua orang tersebut juga bisa jadi alasan lain,” ucapnya.
Dirinya menjelaskan, adanya kepentingan-kepentingan tersembunyi DPR memang tak terhindarkan dalam proses pemilihan anggota BPK. Hak penuh DPR untuk memilih anggota BPK membuat proses seleksi dan juga hasilnya memang tak akan mungkin tanpa unsur kepentingan dari DPR.
“Lihat saja pada proses pemilihan terdahulu yang selalu berakhir dengan terpilihnya kolega DPR sendiri, entah sesama anggota DPR atau orang yang punya kemampuan mempengaruhi partai untuk mendapatkan dukungan,” ujarnya.
Lucius menambahkan, ketika pemilihan anggota BPK tergantung penuh pada DPR maka sulit untuk menghindari keterpilihan politisi sekaligus hasil yang kompromistis. Dengan modal hasil pemilihan yang kompromistis dan politis sulit berharap banyak pada anggota BPK untuk bekerja independen.
“Dengan semua potensi kekurangan proses pemilihan anggota BPK melalui DPR, saya kira menjadi penting bagi publik untuk memastikan kontrol terhadap figur-figur yang mengikuti seleksi di DPR, dan kontrol itu kali ini dipermudah ketika ada kajian BK DPR atas calon-calon anggota BPK,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa proses seleksi calon anggota BPK yang dilakukan DPR harus mengacu pada UU. DPR tak bisa memilih kandidat yang secara administratif melanggar ketentuan. [wip]