(IslamToday ID) – Ekonom INDEF Dradjad Wibowo mengingatkan sekalipun ekonomi Indonesia membaik, tapi sangat rapuh. Angka pertumbuhan ekonomi 7,07 persen diambil dari basis Produk Domestik Bruto (PDB) yang anjlok drastis tahun lalu.
Dijelaskannya, pertumbuhan ekonomi kuartal II/2021 tercatat 7,07 persen. Angka ini jauh melebihi perkiraan kebanyakan ekonom dan pelaku keuangan, yaitu sekitar 5 persen.
“Secara objektif, saya melihat perekonomian memang membaik selama kuartal II/2021. Konsumsi dan ekspor tumbuh relatif tinggi,” kata Dradjad seperti dikutip dari Republika, Sabtu (7/8/2021).
Namun, ia juga mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut masih sangat rapuh. Alasannya, pertama, angka 7,07 persen itu diperoleh dari basis PDB yang anjlok drastis tahun lalu. Saat itu, ekonomi tumbuh minus 5,32 persen pada kuartal II/2020. Ini memberikan basis perhitungan PDB yang rendah.
“Untuk mudahnya saya ibaratkan kita punya 100 medali pada tahun 2019. Tahun 2020, medali kita anjlok menjadi 100-5,32 = 94,68. Nah, pada tahun 2021 jumlah medali kita menjadi 101.37,” jelas Ketua Dewan Pakar PAN ini.
Angka 101,37 ini, kata Dradjad, mencerminkan kenaikan 7,07 persen dibandingkan kondisi tahun 2020. Tapi jika dibandingkan angka dasar 100, kenaikannya hanya 1,37 persen.
Kedua, pertumbuhan 7,07 persen itu antara lain karena ada kebijakan melonggarkan pergerakan orang pada kuartal II/2021. Efeknya, konsumsi tumbuh 5,93 persen, lebih tinggi dari biasanya. Beberapa tahun terakhir, konsumsi “biasanya” tumbuh sedikit di atas atau di bawah 5 persen.
“Masalahnya pelonggaran tersebut terbukti membuat kasus Covid-19 di Indonesia meledak dengan tingkat kematian yang tinggi,” ungkap Dradjad.
Kondisi ini memaksa pemerintah menerapkan PPKM darurat dan PPKM level 4 di berbagai provinsi selama Juli hingga awal Agustus. Hampir separuh dari kuartal III/2021 kita lalui dalam PPKM.
“Jelas pertumbuhan konsumi akan anjlok, meski mungkin tidak akan negatif karena kita berangkat dari basis yang rendah,” paparnya.
Efek lainnya, lanjut Dradjad, Indonesia ditempatkan oleh Bloomberg sebagai negara yang paling rendah skor ketahanan pandeminya. Indonesia berada pada urutan 53 dari 53 negara yang masuk dalam Bloomberg Resilience Score (BRS).
BRS yang buruk ini bisa mengganggu kepercayaan investor dan konsumen terhadap Indonesia pada kuartal III/2021 dan ke depannya.
Ketiga, selisih antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi kali ini cukup besar. Kondisi ini di luar kebiasaan.
Dradjad mengatakan masih harus melihat tren ke depan untuk mengetahui apakah hal ini hanya lonjakan sesaat atau awal perubahan yang lebih mendasar. Jika yang terjadi adalah lonjakan sesaat dari komponen pengeluaran yang lain, ini menandakan lebih tingginya tingkat kerapuhan dari pertumbuhan ekonomi. Karena, konsumsi sebagai soko gurunya cenderung menurun di kuartal III/2021. [wip]