(IslamToday ID) – Presiden Jokowi membentuk Badan Pangan Nasional (BPN) sebagai sebuah lembaga pemerintah resmi yang akan menjalankan tugas dan fungsi di bidang pangan. Badan ini nantinya bertanggung jawab langsung ke presiden.
Menurut Peraturan Presiden (Perpres) No 66 Tahun 2021 tentang BPN, badan ini akan memiliki tugas untuk mengkoordinasikan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan terkait ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, hingga keamanan pangan.
Selain itu, BPN juga menjadi pelaksana dalam pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pemerintah melalui BUMN di bidang pangan. BPN juga berfungsi sebagai lembaga yang mengembangkan sistem informasi pangan dan pengelola barang milik negara yang menjadi tanggung jawab BPN.
Keputusan Jokowi membentuk BPN itu mendapat kritik dari Wakil Sekjen Perhimpunan Ekonom Pertanian Indonesia (PERHEPI) Lely Pelitasari Soebekty. Ia mempertanyakan kewenangan untuk memutuskan kebijakan impor pangan usai BPN dibentuk.
“Mekanisme impor ini nanti dari siapa? Ketika ada pendelegasian penetapan ekspor dan impor diberikan ke BPN, maka nanti akan seperti apa pada bisnis prosesnya?” ungkap Lely dalam diskusi virtual INDEF, Senin (30/8/2021).
Menurutnya, bila merujuk pada Perpres No 66 Tahun 2021 tentang BPN, seharusnya badan ini punya kewenangan soal kebijakan impor. Sebab, dalam beleid itu dikatakan bahwa salah satu tugas BPN adalah mengkoordinasikan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan terkait ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan.
Sementara, kebijakan impor memiliki dampak pada persoalan ketersediaan pangan dan stabilisasi stok serta harganya. Di sisi lain, dari segi struktural, menurut Lely, seharusnya Kepala BPN nantinya memiliki jabatan yang setingkat dengan menteri.
“Karena dulu BPN dirancang setingkat menteri, bahkan Menko, tapi sekarang belum diatur, ini harus diselesaikan agar terjawab,” ucapnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Selain itu, menurutnya, pemerintah perlu memperjelas peran BPN dan Bulog karena belum terlalu jelas di Perpres tersebut. Sementara bila dilihat dari struktur aturan, ia mengatakan Bulog saat ini justru memiliki tingkat yang lebih tinggi dari BPN.
Pasalnya, Bulog didirikan sesuai PP No 13 Tahun 2016 tentang Perum Bulog. Sedangkan BPN dibentuk berdasarkan Perpres No 66/2021.
“Kalau dihadapkan perundang-undangan, lebih tinggi PP. Betul tugasnya dialihkan dari Kementerian BUMN ke BPN lalu ke Bulog, tapi ini harus dijelaskan, jangan tumpang tindih,” jelasnya.
Di sisi lain, ia turut meminta pemerintah memberi kewenangan kepada Bulog nanti bila sudah ada berada di bawah koordinasi BPN agar memiliki kewenangan tata kelola beras yang lebih besar.
Tujuannya agar keluar masuk beras tidak hanya ditentukan oleh penugasan dari pemerintah, namun juga manajemen dan pengawasan langsung dari Bulog.
“Diharapkan Bulog jadi punya fleksibilitas untuk beli dan jual, kalau sekarang kan mesti ada penugasan dari pemerintah dulu, kalau tidak, tidak boleh keluar berasnya, dan menjadi turun mutu,” ujarnya.
Terlalu Kaku dan Sempit
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai, jangkauan komoditas yang diatur oleh BPN terlalu sempit dan kaku. Dengan wewenang yang besar dalam sektor pangan, BPN justru hanya mengurusi sembilan bahan pokok (sembako).
“Badan ini akan menjadi lembaga superbodi dengan wewenang yang luas, tapi jadi sempit karena hanya sembilan komoditas,” katanya seperti dikutip dari Republika, Ahad (29/8/2021).
Diketahui, sembako yang menjadi fokus kerja BPN, yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur ayam, daging ruminansia, daging unggas, serta cabai.
Khudori mempertanyakan jangkauan komoditas pangan yang hanya fokus pada sektor pertanian. Padahal, komoditas pangan dari sektor perikanan juga perlu menjadi objek dari kebijakan pangan di Indonesia.
Di satu sisi, dengan hanya fokus mengurusi sembako bertolak belakang dari keinginan pemerintah untuk mendorong diversifikasi pangan lokal. Sesuai isi dari Perpres No 66 Tahun 2021, BPN juga akan memiliki kedeputian bidang penganekaragaman konsumsi dan keamanan pangan.
Menurut Khudori, jangkauan komoditas yang diurus oleh BPN semestinya bisa ditambah. Namun, jika pun fokus pada sembako, BPN diharap dapat bekerja dengan luwes dan mendukung upaya-upaya diversifikasi pangan di setiap daerah.
“Siapapun nanti yang ditunjuk dalam memimpin BPN, jangan kaku dan jangan seperti pemerintah selama ini yang cenderung fokus dengan pajale (padi, jagung, kedelai) seolah-olah pangan lokal tidak penting,” ujarnya.
Khudori berharap kinerja BPN nantinya bisa lebih fokus, sehingga pengambilan keputusan bidang pangan tidak terpecah pada banyak kementerian. “Yang perlu diingat, BPN berfungsi untuk koordinasi merumuskan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan, pihak yang mengeksekusi tetap kementerian teknis terkait,” katanya.
Ekonom INDEF Faisal Basri menilai Jokowi sebenarnya tidak perlu membentuk BPN bila kementerian yang bertugas di bidang pangan menjalankan tupoksinya masing-masing dengan benar. “Sebenarnya kalau semua kementerian menjalankan tupoksinya masing-masing dengan baik, tidak perlu lagi ada BPN,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Senin (30/8/2021).
Misalnya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyusun perencanaan pangan di lintas kementerian/lembaga. Lalu, Kementerian Keuangan mengonsolidasikan anggarannya.
Kemudian, persoalan data diselesaikan dengan kompak menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS). Sayangnya, menurut Faisal, hal ini tidak dilakukan dan masing-masing kementerian memiliki ego sektoral.
“Misalnya impor beras, Kemenko Perekonomian dan Kemendag yang memutuskan, meski ada rapat untuk melawan Kementan, Bulog, dan BPS, ini tidak boleh lagi terjadi. Impor garam juga begitu, Kemenko Perekonomian dan Kemenperin melawan KKP. Kalau impor gula, Kemenko Perekonomian dan Kemenperin vs Kementan,” ungkapnya.
Ketika ada perbedaan pendapat pun, menurut Faisal, Kemenko Bidang Perekonomian bisa mengkoordinasikannya. Bila tidak sepakat juga, baru dibawa ke presiden dengan menggelar rapat terbatas.
“Tapi Menko-nya tidak boleh ambil alih tugas kementerian, sementara kalau sekarang kan bablas, Menko-nya ambil tugas, jadi dia yang putuskan, bilangnya berdasarkan rapat, tapi bohong. Nah jadi yang seharusnya beres semua dan tidak ada masalah, justru tidak terjadi,” ujarnya.
Faisal menilai kewenangan BPN terbilang sedikit dan belum sepenuhnya jelas. Bahkan, gagasan awal mengenai BPN dengan finalnya berupa Perpres No 66 Tahun 2021 tentang BPN sangat jauh berbeda.
“Jadi draf dikembalikan ke kementerian, sama kementerian dipotong lagi, dipotong lagi. Ini BPN jadi tidak bergigi, tidak bertaji, jadi tidak perlu ditunggu tajinya karena tidak ada tajinya, itu muncul karena sedemikian banyak kepentingan dan sudah terdistribusi ke partai-partai lain,” katanya.
Kendati begitu, karena BPN sudah terlanjur dibentuk, ia tetap ingin mengingatkan sejumlah pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan badan ini ke depan. Utamanya, BPN harus bisa membenahi masalah koordinasi yang selama ini masih menjadi tantangan di internal pemerintah.
Selanjutnya, BPN juga harus bisa meningkatkan daya tahan ekonomi Tanah Air. Selain itu, BPN juga harus bisa membenahi tata kelola pangan agar Indonesia tidak terus menerus mengimpor pangan.
“Secara historis, kita pengekspor gula terbesar di dunia pada paruh pertama 1900-an. Jadi kita unggul sejak dulu, namun kita terus ekspor gula sampai 1967, sekarang sejak 2016, kita pengimpor gula terbesar di dunia,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya, BPN harus bisa membuat peringkat Global Food Security Index Indonesia meningkat dari posisi ke-65 pada 2020 menjadi lebih tinggi lagi. Sebab, peringkat Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga.
“Indonesia lebih rendah dari Vietnam, Thailand, Malaysia, China, dan Singapura sekalipun yang tidak punya lahan. Jadi urusannya bukan lahan saja, tapi ada soal akses pangan,” pungkasnya. [wip]