(IslamToday ID) – Tahun depan pemerintah harus menyediakan dana Rp 405 triliun untuk kewajiban pembayaran bunga utang. Beberapa tahun setelahnya, jumlah itu terus meningkat drastis dan akan menggerus belanja lainnya.
Dalam kondisi seperti ini, posisi utang pemerintah Indonesia dianggap berbahaya. Bukan lagi soal rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), akan tetapi beban bunga utang yang harus dibayar setiap tahunnya.
Apakah ada solusi?
Ekonom senior Chatib Basri mengatakan opsi yang paling tepat saat ini adalah evaluasi total belanja pemerintah, dimana tahun depan mencapai Rp 2.700 triliun.
“Covid belum selesai, artinya masih ada ketidakpastian tinggi. Maka pemerintah harus melihat kualitas belanja, bisa nggak fokus pada kesehatan dan bansos dan UKM,” katanya seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (2/9/2021)
Anggaran kesehatan pada tahun depan mencapai Rp 255,3 triliun atau turun dari outlook 2021 sebesar Rp 326,4 triliun. Sementara, perlindungan sosial (perlinsos) di tahun depan juga turun menjadi Rp 427,5 triliun dibandingkan dengan outlook 2021 dipatok Rp 487,8 triliun.
Beragam insentif untuk membantu dunia usaha juga akan diberikan lebih selektif, yang artinya tidak akan sebanyak sebelumnya. Padahal pemulihan ekonomi mesih cenderung lamban. “Harusnya spendingnya naik untuk yang bersifat prioritas,” imbuhnya.
Pemerintah bisa saja memangkas beberapa belanja lain seperti pembangunan infrastruktur yang tidak mendesak. Diantaranya gedung pemerintahan, sekolah, dan fasilitas lainnya. “Jadi tunggu dulu, nggak dibatalin. Tapi ditunda karena ada yang lebih prioritas,” jelas Chatib.
Belanja yang bisa dipangkas lain adalah pembelian senjata. “Dananya itu terlalu besar, harusnya digeser dulu unduk menyelesaikan persoalan Covid dan dampaknya,” tegas mantan Menteri Keuangan tersebut.
Opsi selanjutnya, menurut Chatib, adalah dengan memangkas belanja pajak. Ia menilai banyak insentif pajak tidak dimanfaatkan, karena kebanyakan dunia usaha juga sedang kesulitan untuk bertahan apalagi ekspansi usaha.
“Kalau nggak diambil, ya apa perlu insentif itu dipertahankan. Lebih baik untuk UMKM,” terangnya.
Maka dengan demikian, defisit APBN di tahun depan yang dipatok 4,8 persen bisa lebih rendah. Belanja pemerintah juga lebih berkualitas untuk mendorong pengentasan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Rencana pemerintah untuk mengenakan tarif pajak baru di beberapa kelompok barang dan jasa dianggap bukan solusi yang tepat. Alih-alih mendorong penerimaan, kebijakan tersebut justru akan menahan laju pemulihan ekonomi.
“Setiap kenaikan rate Rp 1 maka akan menimbulkan beban kepada pembayar pajak sebesar Rp 0,59. Jadi netnya cuma Rp 0,41,” jelasnya.
Dapat diartikan bahwa negara benar akan mendapatkan penerimaan, akan tetapi konsumsinya akan turun. Konsumsi memegang porsi terbesar dari perekonomian Indonesia. Jadi, ekonomi yang tadinya mulai bergairah, bisa kembali lesu akibat tarif pajak yang lebih tinggi.
Pemerintah dan DPR memang sedang dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Di dalamnya ada rencana pengenaan PPN untuk sembako dan lainnya, PPh untuk orang sangat kaya, pajak karbon, hingga pengampunan pajak.
Chatib menyarankan agar pemerintah lebih berhati-hati. Langkah administratif sangat diharapkan terjadi untuk mendorong penerimaan di tengah kondisi masyarakat masih berjuang melawan pandemi Covid-19. “Apa iya mau langsung naikin tarif, bukankah lebih baik administratif dulu,” pungkasnya. [wip]