(IslamToday ID) – Plt Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) Novita Kusuma Wardani mengklaim pembangunan proyek wisata alam yang dilakukan pihaknya demi kelanjutan ekosistem dan keberlangsungan hidup warga sekitar.
Ia juga sekaligus membantah tudingan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terkait pembangunan wisata buatan di kawasan Jemplang, Desa Ngadas, Malang, Jawa Timur.
“Jadi dugaan Walhi kalau pembangunan di Jemplang itu untuk jembatan kaca tidak benar, tetap memperhatikan prinsip-prinsip wisata alam berkelanjutan,” kata Novita seperti dikutip dari CNN Indonesia, Senin (13/9/2021).
“Pengembangan wisata di TNBTS itu sebetulnya bukan pada fisik pembangunan, kami juga mendorong desa-desa penyangga TN dikembangkan, pembangunan non fisik ini yang lebih penting,” sambungnya.
Berdasarkan penjelasannya, pihak TNBTS memang sedang melakukan pembangunan tempat wisata di Jemplang. Novita menjelaskan, pembangunan tempat wisata sudah tersusun dalam Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam (RPPA) dan sudah prosedural.
Pembangunan wisata yang diklaim berkelanjutan ini tidak menyalahi aturan karena dibangun di zona pemanfaatan.
Sebagai informasi, kawasan TNBTS seluas 50.276 hektare dibagi dalam tujuh zonasi diantaranya zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona tradisional, zona khusus, dan zona religi.
Novita menjelaskan, rencananya akan dibangun anjungan pandang atau view point, jembatan antar tajuk pohon, dan sarana prasarana pendukung seperti shelter, tempat parkir, hingga jaringan nirkabel dan akses wifi.
“Termasuk kios PKL masyarakat yang ada di sana akan dibuatkan yang lebih baik, dibangun bangunan semi permanen dengan bahan ramah lingkungan,” ucapnya.
Proyek ini juga sudah memiliki Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) yang diberikan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2009 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
Pemberian izin juga merujuk ketentuan peraturan Menteri LHK No 3 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Peraturan Menteri LHK No 4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL.
Menurut acuan peraturan itu, Novita mengatakan pihak pengembang menggunakan dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL), bukan AMDAL.
“Sesuai dengan aturan ketentuan persyaratan persetujuan lingkungannya kita pakai UKL/UPL yang sudah disahkan oleh DLH Provinsi Jatim,” katanya.
Sebelumnya, Walhi Jatim menyorot proyek pembangunan wisata buatan yang menyasar wilayah TNBTS. Temuan Walhi menunjukkan banyak penebangan pohon yang dikhawatirkan dapat merusak lingkungan dan mengikis kultur masyarakat adat di sekitar TNBTS.
Ketua Dewan Daerah Walhi Jatim, Purnawan Dwikora juga menyinggung dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam proyek tersebut. Menurutnya, proyek wisata yang akan dibangun di kawasan TNBTS harus mengantongi izin AMDAL untuk meminimalisasi dampak lingkungan.
Selain itu, Purnawan mengatakan beberapa pohon yang telah ditebang diduga demi proyek itu erat kaitannya dengan adat masyarakat setempat. Sehingga penebangan pohon tersebut juga bisa mengikis adat dan budaya setempat.
Meski secara aturan proyek ini tak menyalahi karena dibangun di zona pemanfaatan, Purnawan menilai proyek ini melukai nilai-nilai kepercayaan masyarakat Tengger.
“Jadi di Jemplang ini kontraproduktif, orang Tengger sendiri menebang pohon itu dikriminalkan, sekarang orang Tengger dicontohkan menebang tanaman yang invasif, tanaman yang merusak ekosistem,” ujarnya, Kamis (9/9/2021).
“Saya setuju sebagai tanaman invasif yang harus ditebang. Tapi menebangnya itu diikuti dengan pembangunan wisata buatan. Itu yang tidak etis,” sambungnya. [wip]