(IslamToday ID) – Kejaksaan Agung (Kejagung) menghitung dugaan kerugian negara dalam kasus yang menjerat mantan Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Alex Noerdin. Kejagung memperkirakan negara merugi hingga lebih dari Rp 480 miliar.
Jumlah tersebut terkait dengan dugaan memperkaya diri dan orang lain dalam pembelian serta pengelolaan gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel 2008-2018.
“Total-totalnya, itu kalau saya lihat sendiri penghitungan kerugian negaranya, itu dalam bentuk dolar. Kalau dirupiahkan sekitar Rp 480-an miliar. Itu plus-minus, kira-kira segitu,” ujar Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Supardi seperti dikutip dari Republika, Ahad (19/9/2021).
Ia menerangkan, ada beberapa dugaan praktik tindak pidana korupsi (tipikor) yang terjadi dalam pembelian, serta pengelolaan gas bumi oleh PDPDE Sumsel itu. Indikasi dugaan tipikor tersebut mulai dari permintaan alokasi Pemprov Sumsel kepada Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas), sampai pada persetujuan untuk pembentukan badan hukum baru yang melibatkan swasta. Bahkan ada pembayaran yang tak sah menurut hukum.
“Intinya, bahwa ada permintaan alokasi gas, kemudian menyetujui kerja sama antara PDPDE Sumsel, dengan pihak swasta, yang sebenarnya PDPDE Sumsel bisa mengerjakan itu sendiri,” ujar Supardi.
Ia mengatakan, penyidikan di Jampidsus saat ini sedang mendalami semua dugaan tipikor dalam perkara tersebut. Termasuk, indikasi pemberian-pemberian fee kepada pihak-pihak lain sepanjang operasional pengelolaan gas bumi PDPDE Sumsel tersebut.
Dalam kasus PDPDE Sumsel ini, penyidikan di Jampidsus-Kejagung sudah menetapkan empat orang swasta. Pada Kamis (16/9/2021), dua orang yang ditetapkan tersangka adalah Alex Noerdin, politikus Golkar yang kini menjabat sebagai anggota Komisi VII DPR RI.
Jampidsus juga menetapkan mantan Komisaris PDPDE Sumsel Muddai Madang sebagai tersangka. Pada Kamis (2/9/2021) lalu tersangka awalan dalam kasus tersebut, adalah Caca Isa Saleh S (CISS), dan A Yaniarsyah (AY).
Keempat tersangka tersebut sudah dilakukan penahanan terpisah. Alex Noerdin ditahan di Rutan LP Kelas I Cipinang cabang KPK. Sedangkan tersangka lainnya ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung.
Penahanan terhadap empat tersangka itu terhitung 20 hari. Supardi memastikan, penahanan para tersangka itu untuk memudahkan proses penyidikan, dan memastikan para tersangka tak kabur atau menghilangkan barang-barang bukti.
Kronologi kasus tersebut bermula dari pemberian alokasi pembelian gas bumi bagian negara oleh PT Pertamina, Talisman Ltd, Pasific Oil and Gas Ltd, Jambi Merang (JOB Jambi Merang) 2010. Pemprov Sumsel mendapatkan ‘jatah’ pemberian 15 MMSCFD atau million standart cubic feet per day. “Pemberian tersebut berdasarkan keputusan kepala BP Migas atas permintaan Gubernur Sumatera Selatan,” kata Kapuspenkum Kejagung, Leonard Ebenezer Simanjuntak.
Dari keputusan BP Migas tersebut, yang ditunjuk sebagai pembeli gas bumi bagian negara adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yakni PDPDE Sumsel. Akan tetapi, PDPDE Sumsel, dikatakan, pada saat itu belum punya pengalaman teknis, maupun pendanaan yang solid untuk pengelolaan gas bumi bagian negara.
Kondisi itu membawa keputusan lanjutan dengan menggaet pihak swasta, PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN) sebagai mitra kongsi. Kongsi bisnis tersebut berujung pada pembentukan badan hukum baru yakni PT PDPDE Gas.
“Tersangka AN (Alex Noerdin), selaku gubernur pada saat itu menyetujui kerja sama antara PDPDE Sumsel dengan PT DKLN dengan membentuk PDPDE Gas,” ujar Ebenezer.
Perusahaan kongsi tersebut memberikan hak kepemilikan saham kepada PDPDE Sumsel sebesar 15 persen. Sedangkan DKLN mendapatkan kepemilikan saham sebesar 85 persen. Komposisi kepemilikan saham moyoritas tersebut, yang membuat AYH bersama dan Muddai mengambil jabatan sebagai Dirut dan Direktur PDPDE Gas.
Dari peristiwa tersebut, menurut kejaksaan, negara dirugikan sepanjang 2010 sampai pembukuan 2019. “Bahwa akibat dari penyimpangan tersebut, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara,” kata Ebenezer.
Jampidsus, kata Ebenezer, mengacu hasil penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menyebutkan adanya dua sumber kerugian negara. Pertama kerugian negara senilai 30,19 juta dolar AS, atau setara dengan Rp 427 miliar sepanjang 2010-2019 selama perjalanan kongsi bisnis dalam PDPDE Sumsel, dan DKLN tersebut.
“Kerugian tersebut berasal dari hasil penerimaan penjualan gas, dikurangi biaya operasional selama kurun waktu 2010-2019 yang seharusnya diterima oleh PDPDE Sumsel,” ujar Ebenezer.
Nilai kerugian kedua, senilai 63.750 atau setara Rp 909 juta, dan Rp 2,1 miliar. “Kerugian negara tersebut merupakan setoran modal yang seharusnya tidak dibayarkan oleh PDPDE Sumsel kepada PT DKLN,” begitu sambung Ebenezer.
Ia menambahkan, penyidikan di Jampidsus yang menemukan adanya bukti pembayaran tidak sah yang diterima tersangka Alex Noerdin dan Muddai. “Untuk sementara nilainya tidak bisa disebutkan karena menyangkut materi kasus,” ujar Ebenezer.
Sementara ini, kata Ebenezer, terhadap empat tersangka semuanya dijerat dengan sangkaan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3, jo pasal 18 UU No 31/1999-2020/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan pasal 3 UU Tipikor.
Dugaan suap gas bumi bukan satu-satunya kasus hukum yang melilit Alex Noerdin. Bulan Juli lalu, Alex diperiksa tim penyidikan Kejati Sumsel di Gedung Pidana Khusus Kejagung. Pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Raya Sriwijaya.
Alex diperiksa terkait dengan perkara tindak pidana korupsi pembangunan Masjid Raya Sriwijaya berdasarkan pengakuan dua tersangka atas nama Mukti Sulaiman dan Ahmad Nasuhi. Dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Raya Sriwijaya ini, persidangannya sudah mulai digelar di PN Tipikor, Palembang, Sumsel, pada Juli 2021. Dalam sidang perdana tersebut, terungkap dugaan kerugian keuangan negara hingga Rp 116 miliar.
Dalam dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum (JPU), juga disebutkan, adanya penerimaan uang senilai Rp 2,4 miliar kepada Alex Noerdin saat menjabat gubernur. Penerimaan uang tersebut terkait dengan pembangunan masjid.
Selain itu Alex juga terlilit dugaan korupsi dana hibah dan bantuan sosial (bansos) Pemprov Sumsel tahun anggaran 2013. Kasus tersebut diperkirakan merugikan negara hingga Rp 21 miliar. Alex pada tahun 2018 sudah pernah diperiksa sebagai saksi dugaan korupsi dana hibah itu.
Ketika itu Kejagung sudah menetapkan dua tersangka. Mereka adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Sumsel, LT, dan mantan Kepala Kesbangpol Provinsi Sumsel berinisial I.
Dari hasil penyelidikan, diduga dari perencanaan, penyaluran, penggunaan, dan pertanggungjawaban terhadap dana hibah dan bansos tersebut yang diberikan langsung oleh Gubernur Sumsel dilakukan tanpa melalui proses evaluasi atau klarifikasi biro terkait.
Diduga terjadi pertanggungjawaban penggunaan yang fiktif, tidak sesuai peruntukan, dan terjadi pemotongan dalam dana hibah dan bansos tersebut.
Kemarin setelah ditetapkan tersangka Alex langsung ditahan. Pengacara Alex, Soesilo Aribowo mempertimbangkan untuk mengajukan praperadilan atas status penahanan itu. “Masih dipikirkan (untuk praperadilan),” ujar Soesilo, Kamis (16/9/2021).
Menurutnya, tak ada alasan objektif dari kejaksaan dalam melakukan penahanan terhadap politikus Golkar tersebut. Karena dikatakan Soesilo, status jabatan kliennya sebagai anggota lembaga legislatif. Sebagai anggota DPR, kata Soesilo, tak ada peluang bagi Alex kabur atau menghilangkan barang bukti atas kasus hukum yang menderanya.
“Tentu kami keberatan dengan penahanan ini,” ujar Soesilo. Ia pun mempertanyakan status penetapan tersangka terhadap Alex. Sebab kata Soesilo, membaca kronologis kasus dan jalannya proses penyidikan, kliennya itu baru diperiksa satu kali sebagai saksi.
“Ini tadi beliau diperiksa sebagai saksi, dan langsung ditetapkan tersangka, dan ditahan hanya beberapa jam setelah pemeriksaan. Saya tidak paham metode apa yang dipakai kejaksaan,” ujar Soesilo.
Sebagai lembaga penegak hukum, kata Soesilo, semestinya Kejagung memahami asas hukum acara pidana dalam penetapan seorang menjadi tersangka dan melakukan penahanan. “Ini menjadi warning (peringatan) untuk siapapun. Kalau seseorang diperiksa sebagai saksi di Kejagung bisa langsung tersangka, ditahan, dan tidak pulang,” ujarnya. [wip]