(IslamToday ID) – Aparat kepolisian menangkap tiga demonstran di Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Penangkapan terjadi saat demonstrasi berlangsung di lokasi tambang PT Gerbang Multi Sejahtera (GMS) di Desa Sangi-sangi, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konsel, Sabtu (18/9/2021) malam.
Ketiga pendemo yang ditangkap adalah Ketua Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi atau LMND Kota Kendari Anhar, serta dua nelayan yakni Erwin dan Abdul Basir.
Ketiga orang ini ditangkap polisi saat mengikuti demonstrasi bersama ratusan nelayan di lokasi tambang site PT GMS sejak Sabtu pagi.
Dalam aksinya, para nelayan tersebut memprotes pencemaran laut akibat aktivitas PT GMS.
Salah seorang pengunjuk rasa, Daud (28) mengatakan, penangkapan terjadi saat massa menghalau mobil perusahaan yang hendak menabrak pendemo. Karena massa tak mau membubarkan diri, polisi akhirnya melepaskan tembakan berkali-kali ke udara.
“Mungkin karena polisi melihat mereka (yang ditangkap) bukan warga di situ dan ngotot bertahan, sehingga dikejar dan ditangkap,” ujar Daud seperti dikutip dari Tribunnews, Senin (20/9/2021).
Hingga Ahad dini hari, tiga pengunjuk rasa tersebut belum dilepas polisi dan bergabung dengan massa yang masih bertahan di lokasi demonstrasi.
Sejumlah pendemo yang didominasi emak-emak ini pun memilih tidur di jalan hauling perusahaan sebagai bentuk protes kepada pihak kepolisian.
“Kami tidak akan pulang sampai rekan kami dilepas polisi dan juga perusahaan bertanggung jawab atas pencemaran laut,” tandasnya.
Hingga kini, belum ada konfirmasi dari pihak aparat kepolisian dan pihak perusahaan terkait kejadian itu.
Sebelumnya, pada bulan Juni 2021 warga dan mahasiswa juga melakukan unjuk rasa meminta DPRD dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sultra segera menindak PT GMS atas dugaan kelalaian yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di perairan Kecamatan Laonti.
Tercemarnya laut disebabkan karena karamnya kapal tongkang milik PT GMS yang menumpahkan ore nikel beberapa waktu lalu.
Koordinator Lapangan Aksi, Anhar menilai bocornya kapal tongkang tersebut merupakan kelalaian PT GSM yang mengakibatkan pencemaran laut dan merugikan nelayan lokal. Ia pun meminta agar DLH Sultra meninjau lapangan guna mengecek seberapa besar kerusakan pencemaran laut akibat aktivitas perusahan pertambangan di Konsel.
“Makanya kami minta pada DLH Sultra supaya secepatnya meninjau kerusakan lingkungan di perairan Laonti,” papar Anhar, Jumat (4/6/2021).
Sementara, massa aksi lainnya Roy mengatakan, pencemaran lingkungan bukan baru kali ini saja terjadi di perairan Laonti, melainkan sudah lama terjadi.
“Jadi aktivitas tambang ini sudah banyak kali melakukan pencemaran lingkungan, bahkan sudah mencapai di wilayah perairan Cempedak,” bebernya seperti dikutip dari Telisik.id.
Menanggapi hal itu, Plt Kabid Tata Lingkungan DLH Sultra, Untung Ratu menerangkan, apa yang terjadi di laut Laonti tersebut memang dapat mencemari lingkungan. Terlebih jika material ore nikel tongkang itu jatuh di perairan.
“Memang kalau materialnya jatuh di laut maka dia menjadi pencemaran lingkungan,” katanya saat menerima massa aksi di kantornya.
Di sisi lain, kata Untung, jika kapal berlayar pastinya memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang dilakukan instansi lain dalam hal pencegahan terhadap pencemaran lingkungan.
Pihaknya pun nantinya akan berkoordinasi dengan instansi terkait, langkah-langkah apa yang sudah dilakukan saat terjadinya tumpahan material ore nikel di perairan Laonti.
“Kan itu sudah ada SOP-nya jika ada kapal karam atau tenggelam, apakah sudah melakukan itu atau seperti apa. Kita nanti akan koordinasikan soal itu,” jelasnya.
Meski demikian, kata Untung, pihaknya dalam waktu dekat ini bakal mengumpulkan data-data yang diperlukan sebelum turun meninjau lokasi terjadinya tumpahan ore nikel tersebut.
“Yang pasti ini sudah kita terima dan akan ditindaklanjuti. Awal minggu ini kami akan mengumpulkan dulu keterangan sebelum meninjau lapangan,” pungkasnya.
Berkonflik Sejak 2018
Konflik antara perusahaan tambang dengan warga Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) sebenarnya sudah berlangsung lama. Pada tahun 2018, warga Desa Tue Tue berkonflik dengan aparat kepolisian yang mengamankan alat berat perusahaan tambang nikel.
Polisi memukul mundur warga kala menolak alat berat perusahaan nikel, PT GMS masuk ke desa mereka. Penolakan itu bukan tanpa alasan, warga takut pemukiman mereka terancam operasi pertambangan. Mereka khawatir mata pencarian sebagai nelayan terganggu dan lingkungan rusak.
“Nda bisa bergerak orang di sana. Kita baku jaga, karena kita juga sudah siap. Apapun risikonya kami siap mati untuk tolak ini tambang,” kata Ridwan, warga Desa Tue Tue, Ahad (22/4/2021).
Ridwan mengatakan, ada 10 warga dipukuli polisi dari Polda Sultra dan Polres Konawe Selatan. Mereka yang mengamankan operasi PT GMS kala memasukkan alat berat. Mulut Ridwan gemetar kala bercerita. Rasanya ia ingin mengajak polisi sengel (berkelahi) satu lawan satu.
“Daripada, masa main pakai senjata. Masyarakat takutlah. Mending kita sengel saja. Terus terang Pak, kurang ajar caranya mereka. Kita dipukuli dan diseret. Katanya ini legal dan punya izin. Padahal, bukan soal legal atau tidak. Yang kami lawan adalah ancaman dari tambang,” katanya seperti dikutip dari Mongabay.co.id.
Seorang warga lainnya, Sarman yang pernah ditembak polisi pada Januari lalu, menceritakan alat berat PT GMS sudah berhasil masuk di lokasi. Mereka tak berbuat banyak lantaran personil kepolisian dan TNI sangat banyak. Belum lagi masyarakat dari desa lain turut membantu mengawal alat berat.
“Memang kita dikasi berkelahi sama-sama warga. Kami tahu mereka itu sudah dimasuki sama tambang (jadi pekerja),” kata Sarman.
Dari puluhan warga yang berkumpul memutuskan untuk demo di Mapolda Sultra, Senin (23/4/2018). Mereka dikawal Lembaga Aliansi Indonesia. Segala persiapan pun dilakukan mereka, mulai serba-serbi keperluan aksi dan sebagian bertugas mengajak warga Desa Tue Tue yang konsisten menolak tambang PT GMS. Warga ada ratusan.
“Sudah kalian tembaki kami, sekarang kalian pukul kami. Melawan aparat kami tak punya senjata apa-apa. Kami hanya meminta polisi berpihak kepada kami,” teriak salah satu warga dari atas mobil di halaman Polda Sultra, Senin pagi.
Ratusan warga dari Desa Tue Tue mendatangi Polda Sultra. Mereka menggelar demo, meminta Kapolda Sultra, Brigjen Pol Irianto memeriksa dan menangkap anggotanya yang memukul warga. Masyarakat meminta Propam Polda Sultra memeriksa Kapolda yang diduga berada di belakang PT GMS. Warga menuding polisi membekingi aksi PT GMS mengeksploitasi kekayaan Desa Tue Tue.
“Kami menolak tambang GMS dan meminta aparat mundur dari tanah Tue Tue. Tidak ada keberpihakan dan kriminalisasi. Meminta Kapolda Sultra menarik pasukannya.”
Warga menuntut Pj Gubernur mencabut IUP GMS. Juga meminta Bupati Konsel menutup PT GMS dan berpihak kepada masyarakat. Meminta Ketua DPRD Sultra mendorong pencabutan IUP GMS.
Mereka juga meminta Kapolda Sultra mengusut tuntas kasus pemukulan warga dan penembakan serta kekerasan oknum polisi kepada warga Desa Tue Tue.
“Tolong polisi harus adil dan tidak tebang pilih. Kami masyarakat kecil dipukuli, mereka pengusaha tambang dibantu dan membiarkan kami tersiksa,” kata Sifajar, koordinator aksi.
Warga pun meneriakkan Kapolri agar mencopot Kapolda Sultra kalau tuntutan mereka diabaikan. “Kami menganggap, beliau (Kapolda) tidak mampu menyelesaikan persoalan ini.”
Mongabay menanyakan soal ini kepada Brigjen Polda Irianto, Kapolda Sultra di sela-sela ngopi bareng jurnalis. Menurut Irianto, investasi pertambangan telah sesuai dengan mekanisme dan UU. PT GMS yang eksploitasi berdasarkan data mereka, katanya, telah memenuhi segala bentuk kewajiban.
“Jadi kita melihat mereka diakui negara dan kami harus mengawal proses investasi. Karena ini juga diatur dalam UU. Posisi kami jelas, kami tidak juga bergerak di luar kewenangan kami sebagai aparat,” katanya.
Perwira polisi dengan satu bintang di pundak ini menjelaskan, soal ancaman kerusakan lingkungan di Desa Tue Tue, belum bisa disimpulkan saat ini. Pasalnya, PT GMS juga belum beroperasi.
“Sewaktu-waktu mereka melakukan pelanggaran, ya tetap ditindak. Kami mengawal itu bukan berarti membekingi, melainkan kami melindungi proses investasi yang sah berdasarkan UU,” katanya berdalih.
Kisran Makati, Direktur Eksekutif Walhi Sultra menilai tambang di wilayah pesisir berpotensi mencemari lingkungan. Perusahaan tambang PT GMS, katanya, terletak di Kecamatan Laonti, Konawe Selatan itu, merupakan wilayah dengan gugusan pulau kecil, hingga tak layak ada pertambangan.
“Tidak ada aktivitas ekstraktif ramah lingkungan, semua pasti akan merusak lingkungan, termasuk GMS. Hancur itu Tue Tue, sekarang iya tidak. Besok lusa pasti akan sama seperti Mandiodo dan Boenaga di Konawe Utara,” kata Kisran.
Berdasarkan UU No 1 Tahun 2014, perubahan atas UU No 27 Tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, menyebutkan bahwa pulau kecil dan perairan di sekitar diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan. Juga penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri, perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara.
“Meskipun perusahaan mengklaim lokasi tak masuk dalam hutan lindung dan konservasi, namun pertambangan dipastikan berpotensi merusak ekosistem hutan dan lingkungan.” [wip]