(IslamToday ID) – Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU tahun 2021 baru saja menerbitkan fatwa haramnya daging berbasis sel untuk dikonsumsi.
NU berpandangan daging hasil pengembangbiakan sel yang diambil dari hewan yang masih hidup, seperti sapi dan ayam, hukumnya najis dan haram. Bagian yang dipisahkan dari hewan yang masih hidup, maka statusnya ibarat bangkai binatang. Sehingga hukum dagingnya mengikuti status hukum selnya.
Seseorang boleh mengonsumsi hewan apabila hewan telah melalui proses penyembelihan seperti sapi, kambing, dan ayam. Maupun tanpa proses penyembelihan seperti ikan.
Sebenarnya apa itu daging berbasis sel? Siapa penggagas ide tersebut?
Dalam beberapa tahun terakhir, memang kehadiran daging berbasis sel ramai diperbincangkan. Inovasi ini diharapkan mampu menjawab tantangan pangan global masa depan yang ramah lingkungan.
Adalah Memphis Meats, salah satu perusahaan startup di Amerika Serikat (AS) yang mengembangkan ide daging sel ini. Dilansir dari berbagai sumber, Memphis Meats merupakan produk daging dari sel hewan.
Memphis Meats berhasil mengembangkan berbagai jenis daging, seperti ayam, sapi, dan bebek menggunakan sel hewan itu sendiri. Budidaya ini dilakukan dalam bio reaktor serta dilakukan dalam lingkungan yang bersih dan terkontrol.
Memphis Meats diambil dari bagian sel hewan berkualitas tinggi yang ditumbuhkan dalam media kaya nutrisi, seperti gula, air, asam amino, dan mikronutrien lain.
Dalam waktu tertentu, sel tersebut tumbuh membentuk jaringan, lemak, dan otot seperti struktur aslinya yang diinginkan, yaitu daging. Pada prinsipnya, daging ini berasal dari satu sel yang tumbuh menjadi sesuatu yang kompleks.
Dilansir dari Virgin.com, daging berbasis sel diklaim memiliki rasa, bau, tekstur, dan nutrisi yang sama dengan hasil daging ternak konvensional. Karena dalam proses produksinya mengambil sel hewan itu sendiri yang kemudian dikembangkan menjadi daging, bukan menciptakan penggantinya. Sehingga tidak mengubah ciri khas apapun.
Daging Memphis juga dinilai mampu menghindarkan konsumen dari potensi penyakit hewan ternak. Memphis Meats disebutkan dapat menurunkan risiko kontaminasi penyakit berbahaya dari hewan ternak, seperti flu burung atau sapi gila.
Selain itu, kehadirannya juga diharapkan mampu menghindari dampak resistensi antibiotik pada hewan ternak yang dapat mengancam kesehatan manusia.
Perintis dari Memphis Meats adalah seorang ahli jantung bernama Uma Valeti. Ia bekerja di Klinik Mayo, yaitu rumah sakit swasta terbesar di AS. Ia memiliki ayah seorang dokter hewan dan ibunya merupakan guru fisika.
Berdasarkan bidang yang digelutinya, Uma mendapatkan ide untuk mengembangkan daging berbasis sel bersama Nicholas Genovese dan Will Clem. Demikian seperti dilansir dari majalah Inc.
Uma meninggalkan pekerjaannya sebagai kardiologis dan memilih membangun perusahaan Memphis Meats. Ia juga mengatakan, “Jika ia menjadi seorang ahli jantung, mungkin ia bisa menyelamatkan sekitar 2.000-3.000 nyawa selama 30 tahun ke depan. Namun jika ia membangun perusahaan daging berbasis sel ini, maka ia bisa menyelamatkan miliaran nyawa manusia dan triliun nyawa hewan.”
Perusahaan Memphis Meats mulai berdiri sejak tahun 2015. Sedangkan daging berbasis sel hasil budidayanya diperkenalkan pada awal 2016 silam. Masih tergolong baru, perusahaan startup ini telah mendapatkan investasi dari miliarder dunia, seperti Bill gates, Richard Brandson, dan perusahaan keuangan papan atas (DFJ dan Atomico), serta perusahaan daging terbesar dunia, yaitu Cargill dan Tyson Foods. Demikian seperti dikutip dari Aspenideas.org.
Singapura Izinkan Daging Rekayasa
Akhir Desember 2020 lalu, perusahaan rintisan Eat Just berhasil mengembangkan daging ayam hasil rekayasa di laboratorium. Baru-baru ini mereka juga mengantongi izin dari otoritas Singapura untuk menjual temuan mereka di pasaran.
Eat Just mengembangkan daging rekayasa dari sejumlah kecil sel dari hewan hidup. Sel itu kemudian diberikan nutrisi yang sama seperti hewan asli, supaya sel tumbuh dan berkembang biak. Sel-sel itu akan berkembang biak dalam bio reaktor hingga akhirnya menjadi daging yang dapat dimakan.
Setelah mendapatkan izin, perusahaan rintisan ini akan segera meluncurkan produk komersial daging ayam di Singapura dalam waktu dekat. Di sisi lain, perusahaan ini juga tengah mengembangkan daging sapi rekayasa yang dibudidayakan dari sapi California dan Wagyu Jepang.
“Saya yakin bahwa izin yang kami dapat akan menjadi yang pertama di Singapura, bahkan di negara-negara di seluruh dunia,” kata Josh Tetrick, salah satu pendiri dan CEO Eat Just seperti dikutip dari Republika.
Tetrick optimistis perusahaannya bisa membantu memenuhi permintaan protein hewani yang akan meningkat seiring dengan bertambahnya populasi manusia menjadi 9,7 miliar pada tahun 2050.
Meski saat ini harganya masih mahal, namun daging rekayasa ini bisa menjadi alternatif bagi para pecinta daging yang ingin lebih sehat. Selain faktor kesehatan, pengembangan daging rekayasa ini juga bertujuan untuk menawarkan cara yang lebih berkelanjutan dalam produksi pangan.
Seperti diketahui, produksi daging konvensional membutuhkan lahan dan energi yang besar, serta menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Karenanya para ahli berpacu untuk menemukan cara baru yang lebih ramah lingkungan.
“Kami senang atas temuan ini. Izin layak diberikan karena mereka secara konsisten berhasil membudidayakan daging dalam jumlah signifikan tanpa antibiotik,” kata Direktur Eksekutif Organisasi Nirlaba The Good Food Institute, Bruce Friedrich.
“Sangat penting bagi perusahaan budidaya daging untuk berhati-hati dan melampaui harapan publik dalam memastikan keamanan dan kenyamanan konsumen dengan produk mereka,” tambah Friedrich seperti dikutip dari laman New Atlas.
Sejumlah perusahaan rintisan lain juga ada yang mengembangkan produk daging rekayasa dari sayuran, seperti daging sapi rekayasa yang ditawarkan oleh Impossible Foods. Perusahaan rintisan lain termasuk KFC dan Aleph Farms, yang sedang mengerjakan daging rekayasa dari sel hewan.
Kebutuhan Daging Dunia
Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan Prof Ronny Rachman Noor menyatakan bahwa isu daging buatan ini memang tidak dapat dikesampingkan. Menurutnya, fenomena tersebut terkait erat dengan pemenuhan protein hewani yang menjadi masalah nyata di masa depan.
Pada 2050, diperkirakan penduduk dunia mencapai 9 miliar orang. Dengan tingkat produktivitas yang telah dicapai saat ini, dunia hanya mampu memberi makan untuk sekitar 8 miliar orang.
Menurut Ronny, di tengah tekanan peningkatan penduduk dunia, industri peternakan harus meningkatkan produksi daging sekitar 65 persen di tahun 2020 untuk memenuhi kebutuhan daging dunia.
“Jadi memang sangat wajar jika pemenuhan akan daging ini harus dilakukan tidak saja melalui sistem peternakan komersial yang ada saat ini, namun juga melalui berbagai alternatif lain seperti misalnya daging buatan,” kata Ronny.
Ia menyatakan, isu terkait daging buatan bukanlah sesuatu yang baru. Era daging buatan dimulai pada 1998 ketika Jon Vein mematenkan daging buatannya yang dikembangkan di laboratorium dengan menggunakan teknik kultur sel dan jaringan untuk tujuan konsumsi manusia.
Sejak saat itu, daging buatan mendapat perhatian dan teknologinya mengalami perkembangan yang pesat. Bahkan di tahun 2009, majalah TIME menjuluki daging buatan sebagai terobosan besar.
Pada 2013, perhatian dunia terpusat pada pengumuman keberhasilan pembuatan burger berbahan daging buatan pertama yang ditumbuhkan dengan menggunakan kultur jaringan di laboratorium dengan total biaya penelitian dan pengembangan mencapai 300.000 dolar AS..
Keberhasilan ini, katanya, tentunya membawa imajinasi masyarakat bahwa ke depan kemungkinan daging buatan ini akan dapat menggantikan peran daging tradisional yang didapat dengan cara beternak.
“Perkembangan teknologi daging buatan memang sangat pesat. Sebagai contoh di tahun 2015 Maastricht University melakukan konferensi internasional pertama yang khusus membahas perkembangan teknologi daging buatan ini,” imbuhnya.
Di tahun 2018, salah satu perusahaan bernama Meattable juga menyatakan akan memproduksi daging buatan secara komersial yang dikembangkannya melalui teknologi kultur jaringan asal tali pusar ternak.
Melalui pengamatan perkembangan teknologi, daging buatan umumnya dapat dikategorikan dalam empat kelompok, yaitu daging alternatif (alternative meat) yang umumnya dibuat dengan menggunakan sumber protein dari tanaman dan jamur atau yang disebut juga dengan mycoprotein.
Kelompok kedua dinamakan daging substitusi (meat substitute) atau dikenal juga dengan in vitro meat yang dibuat berbasis pengkulturan sel dan jaringan di laboratorium.
Kelompok ketiga melibatkan rekayasa blueprint genetik ternak untuk menghasilkan daging dengan spesifikasi tertentu yang biasanya disesuaikan dengan keinginan konsumen ataupun kebutuhan kesehatan.
Kategori keempat didapat dengan cara melakukan cloning dengan menggunakan teknologi somatic cell cloning. Yaitu menggandakan ternak dengan cara mengkopi ternak untuk menghasilkan ternak lainnya tanpa melalui teknik perbuahan alami untuk memproduksi daging dengan spesifikasi dan kualitas tertentu.
Dalam pemenuhan kebutuhan daging dunia ini, menurut Ronny, harus dicari alternatif lain disamping apa yang sudah dilakukan saat ini, termasuk mencari alternatif sumber protein lainnya. Seperti protein asal tanaman, jamur, ganggang, dan juga serangga yang kesemuanya memiliki kandungan protein yang tinggi yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Lebih lanjut, Ronny mengemukakan, sangat wajar jika banyak kalangan yang berpendapat bahwa keberadaan daging buatan dapat mengurangi risiko manusia tertular penyakit dari ternak. Namun demikian, tetap harus diperhatikan dampak positif dan negatif dari keberadaan teknologi ini.
Secara teoritis proses pembuatan daging buatan memang memerlukan kontrol proses dan lingkungan yang sangat ketat dan berdampak pada pengurangan tingkat kontaminasi dan bakteri pathogen yang ditularkan melalui makanan seperti Salmonella dan E-Coli.
Namun demikian dalam melakukan kultur sel dan jaringan, dampak negatifnya tidaklah dapat 100 persen dikontrol secara pasti karena melibatkan proses biologi yang sangat kompleks. Oleh sebab itu sesuatu yang berdampak negatif dapat saja terjadi walaupun prosesnya sudah dikontrol secara ketat.
Menurut Ronny, kekhawatiran sel mengalami modifikasi melalui proses yang dinamakan epigenetic tetap saja dapat terjadi selama proses pengkulturan jaringan dan dapat saja berdampak negatif pada metabolisme dan kesehatan manusia.
Beredar di Indonesia
Terkait dengan kemungkinan beredarnya daging buatan di Indonesia, Ronny berpendapat bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa konsumen umumnya akan membeli daging dengan bentuk, warna, dan tekstur yang sudah biasa dikonsumsi. Oleh sebab itu, akan menjadi tantangan tersendiri bagi produsen daging buatan untuk membuat daging buatan yang mirip dengan daging yang ada di pasaran.
Tantangan lain yang akan dihadapi oleh daging buatan ke depan, menurutnya, adalah aturan dan sertifikasi yang harus secara jelas menyatakan bahwa daging buatan itu aman untuk dikonsumsi, tidak membahayakan kesehatan, dan harus halal.
Di pasaran, daging buatan harus dapat bersaing dengan daging tradisional dari segi penerimaan konsumen, rasa, dan tekstur. Sehingga, menurutnya, saat ini daging buatan berbasis protein tumbuhan masih sangat terbatas seperti misalnya untuk vegetarian.
“Saat ini dunia peternakan yang lebih ramah lingkungan dan memperhatikan animal welfare memang menjadi keharusan. Perkembangan teknologi peternakan ke depan memang harus mengakomodasi isu ini,” jelasnya.
Sebagai contoh, Uni Eropa di abad 21 mendatang akan menerapkan konsep agroecology dan industrial ecology dalam dunia peternakan. Melalui konsep ini, peternakan akan menggunakan hanya jenis ternak yang telah diseleksi dan dikembangkan selama ratusan tahun dan dinilai cocok pada lingkungan peternakan dan juga sistem produksi yang akan diterapkan.
Dengan visi baru ini, industri peternakan mendatang diharapkan akan lebih ramah lingkungan dan juga memperhatikan dengan baik animal welfare yang menjadi kunci industri peternakan masa depan.
Arah perbaikan industri peternakan dalam menghasilkan susu, daging, dan telur yang ramah lingkungan ini memang menjadi keharusan, mengingat peternakan akan tetap menjadi tulang punggung dunia dalam pemenuhan akan protein hewani.
“Ke depan diperkirakan walaupun teknologi daging buatan akan terus berkembang dan tingkat penerimaan konsumen meningkat, namun peran daging tradisional tidak akan pernah tergantikan,” pungkas Ronny. [wip]