(IslamToday ID) – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) segera mengusut dan meningkatkan penyidikan dugaan korupsi kontrak pembelian gas alam cair (LNG) antara PT Pertamina dengan Mozambique LNG-1 Company.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan pihaknya telah melakukan pengawalan penanganan perkara tersebut selama sebulan terakhir.
“Kami mendesak Kejagung untuk segera meningkatkan tahap penyidikan dan menetapkan tersangka jika telah terpenuhi unsur dugaan korupsi serta telah terpenuhi minimal dua alat bukti,” jelas Boyamin seperti dikutip dari Tempo, Senin (4/10/2021).
Adapun dengan adanya dugaan tersebut negara mengalami kerugian diperkirakan hingga Rp 2 triliun dan Rp 200 miliar.
Berdasarkan informasi yang dihimpun MAKI, Boyamin menyebut Direktorat Penyidikan Pidana Khusus Kejagung telah melakukan penyelidikan setelah melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket) berdasar ketentuan hukum yang berlaku.
“MAKI akan tetap mengawal perkara ini dan selalu mencadangkan upaya gugatan prapeperadilan apabila penanganan perkara ini lamban dan mangkrak,” tegasnya.
Boyamin menyebut pada tahun 2013/2014 Pertamina telah melakukan kontrak pembelian LNG dari Mozambik yang rencananya untuk kebutuhan dalam negeri, yang mayoritas digunakan untuk listrik dan kilang Refinery Development Master Plan (RDMP).
Negosiasi kontrak tersebut diawali pada 2013, dimana Pertamina dan Mozambique LNG1 Company Pte. Ltd mulai melakukan pembicaraan terkait potensi suplai LNG.
Kemudian, pada 8 Agustus 2014, kedua belah pihak menandatangani Head of Agreement (HoA) dengan volume 1 MTPA selama 20 tahun dengan harga DES 13,5 persen JCC.
“Dalam perjalanannya hingga tahun 2019, kontrak ini diduga telah merugikan Pertamina sekitar Rp 2 triliun dikarenakan harga pembelian lebih tinggi daripada harga penjualan alias tekor,” imbuhnya.
Kesalahan diduga lantaran kesalahan dalam kontrak tersebut diantaranya, pertama dugaan kesalahan melakukan kontrak panjang atau 20 tahun dengan harga flat. “Sehingga ketika harga pasar turun, namun pihak Pertamina tetap harus membeli dengan harga tinggi,” imbuhnya.
Kedua, dugaan kesalahan melakukan analisa kebutuhan dalam negeri. Dimana yang mengakibatkan persediaan LNG dalam negeri berlebih. “Sehingga LNG dari Mozambik. Akhirnya dijual lagi di pasar internasional dengan harga murah yang kemudian menimbulkan kerugian Pertamina,” jelasnya.
Sebelumnya, Pertamina terancam menghadapi gugatan dari perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Anadarko Petroleum Corporation. Anadarko dikabarkan menagih Pertamina membayar kerugian akibat pembatalan perjanjian jual beli gas alam cair liquefied natural gas (LNG) pada Februari 2019.
Dalam perjanjian itu, Pertamina akan mengimpor 1 juta ton (MTPA) gas per tahun dari Mozambik LNG1 Company Pte Ltd yang dimiliki Mozambique Area 1, anak usaha Anadarko, dalam jangka waktu 20 tahun.
Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok buka suara perihal kisruh tersebut. Ia mengatakan sejak Februari 2020 telah meminta penjelasan ke direksi Pertamina terkait potensi gugatan dalam kontrak pembelian LNG tersebut.
Ahok mengatakan komisaris telah mengevaluasi kebijakan Pertamina yang mengimpor LNG di tengah pasokan dalam negeri yang berlebih. Namun, ia tak membeberkan secara rinci mengenai hasil evaluasi tersebut.
Menurutnya, para direksi saat ini tengah berdiskusi untuk mengatur masalah yang tengah menerpa perusahaan migas plat merah tersebut. “Sejak Februari, dewan komisaris sudah mempersoalkan, dan meminta direksi selesaikan dengan baik pembelian yang dilakukan di masa empat direktur utama,” kata Ahok seperti dikutip dari Kata Data, 6 Januari 2021.
Ahok telah melaporkan persoalan yang membelit Pertamina kepada Kementerian BUMN. Namun, ketika dikonfirmasi perihal gugatan tersebut, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga enggan memberikan penjelasan. “Tanya ke Pertamina saja mengenai detailnya,” ujarnya.
Kata Data pun mencoba menghubungi SVP Corporate Communication & Investor Relation PT Pertamina (Persero), Agus Supriyanto. Namun yang bersangkutan juga enggan menjelaskan. “Segera akan kami share jawabannya. Setelah diskusi pihak internal selesai,” ujarnya.
Mantan Direktur Pemasaran Korporat Pertamina Basuki Trikora Putra pernah menjelaskan alasan Pertamina mengimpor LNG dari Mozambik.
Ketika itu ia mengatakan, pembelian LNG dari Mozambik rencananya untuk kebutuhan domestik, yang mayoritas digunakan untuk listrik dan kilang Refinery Development Master Plan (RDMP). Pertamina memilih impor untuk mendapatkan harga lebih murah dan dinilainya menguntungkan.
Pasokan LNG Domestik yang Berlebih
SKK Migas menyoroti langkah Pertamina yang pernah membuat kontrak impor LNG dalam jangka panjang.
Deputi Keuangan SKK Migas, Arief S Handoko menyebut impor tak tepat di tengah pasokan LNG di dalam negeri yang cukup melimpah. “Negeri kita banyak LNG kok malah impor. Enggak ada semangat memperbaiki current account deficit,” kata Arief.
Ia menduga kebijakan Pertamina yang menandatangani pembelian LNG dari Mozambik lantaran perusahaan ingin mencari untung. Namun, sayangnya tanpa perhitungan matang. “Mau mencari profit besar tanpa perhitungan yang matang dan tidak memperhatikan produksi LNG dalam negeri,” ujarnya.
Soal perjanjian impor LNG antara Pertamina dan Anadarko yang berbuntut gugatan, Arief mengaku tak tahu soal itu. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai pembatalan perjanjian kemungkinan karena kesalahan perhitungan terhadap kebutuhan LNG dalam negeri.
Proyeksi kebutuhan LNG yang disusun oleh pemerintah dan Pertamina akan kebutuhan LNG ternyata meleset. Ternyata, pertumbuhan ekonomi dan konsumsi akan LNG jauh lebih rendah dari perkiraan. Bahkan efek pandemi saat ini membuat pasokan LNG di dalam negeri mengalami kelebihan atau oversupply.
Banyak kargo LNG di dalam negeri yang akhirnya harus dijual ke pasar spot. Mamit menilai pembatalan kontrak pembelian berpotensi membawa Pertamina ke meja arbitrase internasional. “Perlu dilihat dari SPA (sales and purchase agreement), apakah ada klausul untuk memutuskan kontrak dengan kesepakatan apa,” katanya.
Ia menyarankan agar Pertamina tetap komitmen untuk menyerap LNG tersebut, dengan menjualnya kembali ke pasar dalam negeri. Dibandingkan jika harus membayar denda yang sedemikian besar jika tidak bisa dinego. “Saya kira ini tidak akan terlalu mempengaruhi iklim investasi kita ke depan. Mengingat ini adalah perjanjian jual beli ya,” ujarnya.
Sekjen Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal Husin mengatakan tahun ini merupakan tahun yang cukup berat untuk industri hulu migas karena permintaan dunia akan sektor energi terus menurun.
Ia berharap permasalahan yang membelit Pertamina dapat diselesaikan kedua belah pihak tanpa ke arbitrase internasional. Pasalnya, kasus ini bisa mencoreng nama Pertamina sebagai buyer.
“Yang pertama adalah balas suratnya, kedua duduk bersama membahas opsi apa saja yang bisa dijalankan agar meminimalisir kerugian masing-masing pihak,” ujar Moshe.
Pandemi Covid-19 menyebabkan melemahnya perekonomian dunia dan berimbas pada berkurangnya permintaan bahan bakar. Permintaan gas alam cair di pasar global anjlok yang berdampak pada terjadinya kelebihan pasokan LNG secara global.
Komoditas ini diperkirakan akan tumbuh seiring dengan meningkatnya permintaan dari China dan India. Namun, selama periode 2021 hingga 2024 banyak proyek LNG yang mulai berproduksi secara bersamaan. Sehingga persaingan memperebutkan pasar LNG global makin ketat. [wip]