(IslamToday ID) – Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto meminta adanya ketentuan batas minimal penggunaan bahan baku raw sugar produk dalam negeri untuk memproduksi gula kristal rafinasi (GKR).
“Raw sugarnya selama ini guna rafinasi itu sepenuhnya impor. Harus ada ketentuan ke depannya setidaknya 30 persen raw sugarnya (berasal) dari (produksi) dalam negeri,” kata Sugeng seperti dikutip dari Suara, Senin (11/10/2021).
Ia menuturkan, bila Indonesia terus impor raw sugar, maka akan mengganggu serapan tebu petani lokal. Hal tersebut dinilai juga bakal mempersulit dalam upaya untuk mencapai swasembada gula seperti yang telah digaungkan.
Menurutnya, apapun yang sifatnya ketergantungan kepada impor dinilai tidak akan sehat karena akan mengakibatkan keluarnya aliran modal. Padahal aliran modal masuk dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh kegiatan ekspor, investasi, dan juga konsumsi.
“Bayangkan kalau kita impor, uangnya justru keluar. Sehingga, pada gilirannya nanti untuk industri, bahan baku gula atau raw sugarnya juga dari dalam negeri,” ujarnya.
Kebutuhan gula Indonesia saat ini mencapai sekitar 6 juta ton per tahun, yang terdiri dari 2,7-2,9 juta ton per tahun gula konsumsi (gula kristal putih/GKP) dan 3-3,2 juta ton per tahun gula industri atau GKR.
Saat ini, terdapat 62 pabrik gula berbasis tebu dengan kapasitas terpasang nasional mencapai 316.950 ton tebu per hari (TCD).
Apabila seluruh pabrik gula tersebut berproduksi optimal dan efisien, hal itu diperkirakan dapat menghasilkan produksi gula sekitar 3,5 juta ton per tahun. Namun, jumlah tersebut baru mampu menutupi kebutuhan untuk gula konsumsi, belum dapat memenuhi kebutuhan untuk gula industri.
Sehingga, Sugeng meminta volume impor bahan baku gula untuk industri yang rata-rata 120.000 ton per tahun berasal dari Thailand, Vietnam, dan Australia, harus dapat terserap betul untuk kebutuhan makanan, minuman, dan farmasi, tidak untuk konsumsi sehari-hari masyarakat.
Dengan adanya pemberlakuan batas minimal bahan baku gula rafinasi berasal dari produksi dalam negeri tersebut, Sugeng berharap agar terjadi harmonisasi kebijakan di tingkat kementerian.
“Inilah yang memerlukan harmonisasi kebijakan antara Kemenperin, Kementan, Kehutanan yang memiliki Perhutani dan lahan-lahan tebu itu, dan sebagainya, sehingga bahan bakunya tidak selamanya impor,” pungkas Sugeng.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto berharap tidak ada upaya kartelisasi dalam penetapan kuota impor, khususnya untuk produk gula kristal rafinasi (GKR) atau gula industri.
Sebab, menurutnya, hanya ada 11 perusahaan yang diberikan lisensi impor untuk memenuhi kebutuhan GKR secara nasional, termasuk di Pulau Jawa.
“Karena kalau terjadi kartelisasi, industri gula kita tidak bisa mendapatkan pasokan gula, harga, dan kualitas yang baik. Karena pasar monopolistik itu memang rata-rata membuat konsumen dan user tidak mendapatkan manfaat yang baik sesuai yang diinginkan,” jelas Rofik.
Karena itu, anggota Fraksi PKS DPR RI ini meminta Direktorat Jenderal Agro Industri Kementerian Perindustrian agar mengawasi betul upaya kartelisasi ini.
“Karena kalau jumlah (perusahaannya) sedikit tapi potensinya besar, lebih mudah untuk melakukan koordinasi, mengatur apa yang diinginkan,” ujarnya.
Dengan demikian, Rofik berharap Ditjen Agro Industri menjadi leading sector yang bertugas tidak hanya menetapkan perusahaan yang mendapatkan kuota impor, tapi juga mengawasi prosesnya dengan baik.
“Kita berharap juga ke depan aturan ini bisa dimodifikasi lebih baik. Karena peraturan menteri yang terkait dengan pengaturan gula rafinasi antara penetapan siapa saja yang bisa dapatkan kuota dengan pengawasannya sangat tipis. Kita berharap ada lembaga independen yang memang dia mewakili rakyat untuk mengawasi lebih baik,” pungkasnya. [wip]