(IslamToday ID) – Brigjen Junior Tumilaar mengaku sangat memahami tentang risiko yang harus dihadapinya ketika membuat surat terbuka kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Surat yang intinya sebagai protes atas tindakan oknum lembaga kepolisian Sulut yang memanggil untuk memeriksa anak buahnya, Bintara Pembina Desa (Babinsa).
“Saya tahu risikonya, termasuk akan dipanggil untuk diperiksa Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Puspomad). Soal pencopotan sebagai Irdam XIII Merdeka, saya siap melaksanakannya. Saya ini orang teknik tempur, jadi tahu risiko pertempuran,” ujar Junior saat berbincang dengan pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta Selamat Ginting melalui Zoom, Selasa (12/10/2021).
Dalam pertempuran, kata Junior, tidak bisa dihindari akan ada korban. Sehingga, ia siap menjadi korban dalam pertempuran tersebut untuk kemenangan yang lebih besar.
“Surat saya yang disebut Bung Selamat Ginting dalam tulisannya seperti grafiti komunikasi memang merupakan bentuk protes,” ujarnya.
Ia melanjutkan dalam karier militernya lebih banyak ditugaskan di lembaga pendidikan selama sekitar 17 tahun. Mulai sebagai guru militer di Pusat Pendidikan Zeni (Pusdikzi) selama lima tahun, dilanjutkan sebagai Wakil Komandan Pusdikzi selama sekitar dua tahun.
Begitu juga penugasan di Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Kodiklatad), hingga menjadi dosen utama di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad). Total sekitar 17 tahun dari 33 tahun pengabdiannya sebagai militer.
“Jiwa saya guru, guru militer. Guru militer maupun dosen militer itu harus berani. Protes saya itu bentuk edukasi, pendidikan agar tidak ada lagi kesewenangan oknum polisi memeriksa anak buah saya sebagai Babinsa,” kata mantan Komandan Kodim Tapanuli Tengah itu.
Junior mengaku awalnya sudah menyampaikan ada kekeliruan dari kepolisian melalui forum resmi kepada Polda Sulut, dan juga kepada Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Sulut. Ternyata tidak ada tindak lanjut apapun. Bahkan seperti tidak ada persoalan sama sekali.
Sehingga ia membuat surat terbuka kepada Kapolri yang tembusannya ditujukan kepada Panglima TNI, KSAD, dan Panglima Kodam XIII Merdeka. “Saya tidak mau institusi saya disepelekan, institusi saya tidak dihormati, institusi saya dilecehkan. Sebagai Irdam, saya adalah pengawas. Saya mengawasi dan memeriksa, ada yang tidak beres,” kata Junior.
“Saya ambil risiko, termasuk membela rakyat yang tertindas. Masa sebagai jenderal saya takut kehilangan jabatan? Saya rela berkorban untuk institusi TNI, Angkatan Darat, untuk Kodam, dan untuk rakyat Sulawesi Utara tempat saya berdinas,” ucap Junior.
Ilmu Tentang Tanah
Setidaknya, Junior memang sudah malang melintang tugas di enam Kodam di Indonesia, mulai dari Maluku, Papua, Kalimantan Timur, Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jakarta, dan Sulawesi. Sehingga, ia memahami masalah rakyat. Termasuk masalah pertanahan dan kasus-kasus yang menimpa rakyat.
Menurut Junior, sebagai perwira Korps Zeni, ia diberikan ilmu tentang tanah dan asal usul tanah. Termasuk dokumen-dokumen pertanahan dari zaman kolonial Belanda. Masalah tanah dalam institusi militer diserahkan penanganannya kepada Korps Zeni di Kodam. Sehingga, ia mempelajari status-status tanah di wilayah Indonesia yang digunakan oleh militer.
“Sama dengan kasus di Sulawesi Utara, saya pelajari juga status tanah yang dimiliki sejumlah korporasi (PT Ciputra International/Perumahan Citraland). Kok bisa mereka menguasai tanah-tanah rakyat, tanah ulayat, tanah adat. Sudah sekian lama terjadi, tapi tidak ada yang berani melawan kezaliman,” kata Junior.
“Bisa jadi kasus tanah di Sulawesi Utara, di Sentul Bogor, dan Toba di Sumatera Utara juga mengundang pertanyaan besar. Bagaimana rakyat terusir dari kampung halamannya, tanah dari nenek moyangnya tak bisa ditempati. Rasanya harus ada keadilan bagi rakyat,” kata Junior.
Sebagai tentara, katanya, maka prajurit harus menyesuaikan diri dalam tugas di sejumlah daerah. Seperti saat dirinya bertugas di Aceh, Junior menghormati kebiasaan dan tradisi masyarakat Aceh. Termasuk keyakinan agama masyarakat setempat jangan dijadikan kendala, tetapi justru harus bisa menyatu dengan rakyat.
“TNI itu tentara rakyat dan tidak boleh dimanfatkan oleh golongan-golongan mana pun, baik politik maupun korporasi atau ekonomi. Itu petuah Panglima Besar almarhum Jenderal Sudirman,” tegas Junior yang menyandang pangkat Kolonel selama delapan tahun dengan enam jabatan. Sementara pangkat Letnan Kolonel disandangnya selama 12 tahun dengan delapan jabatan.
Ia memang bukan perwira karbitan, namun melalui perjuangan berliku menjadi jenderal. Kini setelah kasusnya viral, hasil pemeriksaan Puspomad berbuntut ia harus kehilangan jabatan bergengsi sebagai Irdam XIII/Merdeka. “Jabatan itu amanah, kalau diambil ya harus siap, jangan dipikirkan,” kata Junior sambil tertawa lepas.
“Jika dianggap bersalah oleh institusi saya, Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad), saya akan terima dan patuhi,” kata Junior.
Mengenai rencana menghadapi pensiun pada Mei 2022, Junior mengaku sudah siap. Ia mengaku tidak tertarik untuk masuk dalam dunia politik, seperti mencalonkan sebagai kepala daerah. “Bidang saya bukan di situ. Jiwa saya adalah guru. Guru itu memberi tahu tentang kebenaran. Jadi setelah pensiun saya akan menjadi guru,” kata kandidat doktor hubungan internasional tersebut.
Ia mengaku belum bisa melanjutkan kuliah lagi, walaupun tinggal penelitian disertasi. Alasannya, antara lain karena tidak memiliki cukup dana untuk melanjutkannya. Junior lebih memilih membiayai kuliah anak-anaknya daripada menuntaskan kuliah doktoralnya di Universitas Padjajaran, Bandung.
“Modal kuat saya karena ditempa lama di lembaga pendidikan militer, jadi nurani saya tinggi untuk membela ketidakadilan di tengah masyarakat. Saat menjadi Komandan Kodim di Sibolga, saya pelajari falsafah orang Sumatera Utara. Saya pelajari antropologi sosial budaya serta kearifan lokalnya. Jadi saya tidak kesulitan dalam tugas-tugas teritorial. Itulah hakikatnya tentara rakyat,” pungkasnya. [wip]