ISLAMTODAY — Dilaporkan hingga Ahad (24/10) pukul 10.00 WIB telah terjadi rentetan gempa susulan di wilayah Salatiga, Banyubiru Ambarawa, Semarang, dan sekitarnya, sebelumnya gempa pertama terjadi kemarin berkekuatan 3 m. Fenomena ini dikenal sebagai gempa swarm.
Seluruh gempa yang terjadi merupakan gempa sangat dangkal dengan kedalaman kurang dari 30 kilometer, kekuatannya tak sampai 3 magnitudo. Gempa paling banyak terjadi berada pada kedalaman kurang dari 10 km di mana gempa terdangkal berada pada kedalaman 3 kilometer yang terjadi sebanyak 3 kali.
“Jika kita mencermati data parameter gempa yang terjadi sejak Sabtu pagi dinihari tampak bahwa berdasarkan sebaran temporal magnitudo gempa, maka fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai gempa swarm,” pungkas Kepala Mitigasi Gempa dan Tsunami BMKG Daryono, dikutip dari Twitternya.
Daryono menambahkan, gempa swarm dicirikan dengan serangkaian aktivitas gempa bermagnitudo kecil dengan frekuensi kejadian yang sangat tinggi. Berlangsung dalam waktu “relatif lama” di suatu kawasan, tanpa ada gempa kuat sebagai gempa utama (mainshock)
Selain berkaitan kawasan gunung api, bbrp laporan menunjukkan aktivitas swarm juga dapat terjadi di kawasan nonvulkanik (aktivitas tektonik murni), meski kejadiannya jarang. Swarm dapat terjadi di zona sesar aktif atau kawasan dengan karakteristik batuan rapuh sehingga mudah terjadi retakan.
Ia mengatakan bahwa, umumnya penyebab gempa swarm antara lain berkaitan dengan transpor fluida, intrusi magma, atau migrasi magma yang menyebabkan terjadinya deformasi batuan bawah permukaan di zona gunung api. Gempa swarm memang banyak terjadi karena proses-proses kegunungapian.
“Terkait fenomena swarm yang mengguncang Banyubiru, Ambarawa, Salatiga dan sekitarnya ada dugaan jenis swarm tersebut berkaitan dengan fenomena tektonik (tectonic swarm). Karena zona ini cukup kompleks berdekatan dengan jalur Sesar Merapi Merbabu, Sesar Rawapening dan Sesar Ungaran,” paparnya, dilansir Kumparan.
Tectonic swarm umumnya terjadi karena adanya bagian sesar yang mengalami rayapan (creeping) sehingga mengalami deformasi aseismik atau bagian/segmen sesar yang tidak terkunci (locked) bergerak perlahan seperti rayapan (creep).
Gempa swarm bukan sekali ini terjadi di Indonesia. Beberapa fenomenanya pernah terjadi beberapa kali, di antaranya di Klangon, Madiun pada Juni 2015; Jailolo, Halmahera Barat pada Desember 2015; dan Mamasa, Sulawesi Barat pada November 2018.
Masa berakhirnya aktivitas swarm berbeda-beda, dapat berlangsung selama beberapa hari, beberapa minggu, beberapa bulan, hingga beberapa tahun. Seperti halnya swarm Mamasa Sulawesi Barat yang mulai terjadi sejak akhir tahun 2018 dan masih terus terjadi hingga saat ini.
“Dampak gempa swarm jika kekuatannya signifikan dan guncangannya sering dirasakan dapat meresahkan masyarakat. Masyarakat diimbau tidak panik tetapi waspada. Terjadinya fenomena gempa swarm ini setidaknya menjadikan pembelajaran tersendiri untuk masyarakat, karena aktivitas swarm memang jarang terjadi,” ujarnya.
Jika struktur bangunan lemah maka gempa swarm dapat menyebabkan kerusakan bangunan rumah seperti yang saat ini sudah terjadi pada beberapa rumah warga di Banyubiru dan Ambarawa.
“Kita harus memperkuat kapasitas dengan mitigasi konkret, bangunan aman gempa dan tahu cara selamat saat gempa. Kemudian berdoa agar kita selamat, bukan berdoa jangan terjadi gempa karena gempa itu proses alam seperti turun hujan dan angin bertiup,” tandasnya.[IZ]