(IslamToday ID) – Koalisi Masyarakat Sipil untik Kesehatan dan Keadilan mencatat setidaknya ada lebih dari Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tes PCR. Koalisi masyarakat sipil tersebut terdiri dari ICW, YLBHI, LaporCovid-19, dan Lokataru.
“Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp 10 triliun lebih,” kata anggota koalisi dari LaporCovid-19, Amanda Tan seperti dikutip dari Republika, Senin (1/11/2021).
Menurutnya, ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga.
Berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6 persen dari Rp 99,5 triliun. Kondisi keuangan tahun ini pun demikian. Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp 193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen.
Dari kondisi tersebut, sebenarnya pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat. Sehingga, terdapat dua permasalahan dari kondisi di atas.
Pertama, koalisi menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah atau perusahaan, akan memasuki masa kedaluwarsa. Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut, diduga pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR.
Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan investigasi bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi.
Kedua, ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya.
Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh koalisi, sejak Oktober 2020 lalu harga reagen PCR hanya sebesar Rp 180.000. Ketika pemerintah menetapkan harga Rp 900.000, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen. Selain itu, komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga dari Rp 900.000 juga tidak memiliki landasan yang jelas.
Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350.000, juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi. Sehingga, keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya, sejak Oktober 2020, pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu.
Dari catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak agar pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan. Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya.
Koalisi menilai penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas. Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi.
Kepentingan Kelompok Bisnis
Ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak empat kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp 2,5 juta.
Kemudian pada Oktober 2020 pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp 900.000. 10 Bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp 495.000-Rp 525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275.000-Rp 300.000.
Koalisi memandang pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu. Terlebih, penurunan terakhir pada 27 Oktober 2021, terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat.
“Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya. Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi,” tegas Amanda Tan.
Pemerintah mengeluarkan aturan wajib tes PCR dan vaksin untuk penerbangan pesawat keluar masuk Jawa-Bali. Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Sukamta menyebut, kebijakan ini lebih kuat muatan bisnisnya daripada tujuan kesehatan.
“Kebijakan ini aneh dan terlalu jelas motifnya. Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp 2,27 triliun,” ujar Sukamta belum lama ini.
Ia kemudian menampilkan data bahwa perusahaan swasta adalah yang paling banyak menikmati bisnis tersebut. Pertama, negara eksportir. Menurut data BPS, impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp 7,3 triliun.
China dan Korea menjadi negara importir terbesar senilai masing masing 174 juta dolar AS dan 181 juta dolar AS. Kemudian disusul Amerika Serikat (AS) sebesar 45 juta dolar AS dan Jerman 33 juta dolar AS.
Kedua adalah perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen. [wip]