(IslamToday ID) – Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi membongkar kerugian maskapai plat merah Garuda Indonesia. Seperti diketahui, Garuda akhir-akhir ini gencar diberitakan mengalami kebangkrutan dampak dari pandemi Covid-19.
Menurut Achsanul, Garuda saat ini hanya mengoperasikan 36 dari 142 pesawat yang tersedia. Walaupun jumlah penumpang sudah meningkat, namun sisanya tetap harus terpaksa terparkir. Apa pasal?
Rupanya, lessor alias pihak yang menyewakan atau menyediakan jasa leasing, belum mengizinkan sisanya terbang lantaran kendala sewa. “Karena dari 142 pesawat, mayoritas tak diizinkan lessor untuk terbang (sewa belum bayar),” tulis Achsanul di akun Twitternya @AchsanulQosasi, Senin (1/11/2021).
“Rata-rata EBITDA sampai dengan September minus 84 juta dolar AS per bulan. Saat pemeriksaan 2019, sewa pesawat yang boros tak sesuai FeetPlan,” tambahnya.
Ia lantas membeberkan kerugian dan utang Garuda Indonesia terkini, yang jika dikonversikan mencapai sekira Rp 754.113.150.000 sebulan.
“GA (Garuda Airlines) akan sulit beroperasi, dengan revenue hanya berkisar 23,2 juta dolar AS, sedangkan biaya 75 juta dolar AS per bulan (Lease, Personel Cost dan Overhead). Artinya, rugi 53 juta dolar AS per bulan,” ujar Achsanul.
Ia seraya mengungkap ada penyakit yang sudah lama menjangkiti Garuda, sehingga berbuah masalah tak teratasi kala pandemi. “Penyakit ini akumulasi dari kinerja yang tak efisien sejak dulu, sehingga tak mampu survive saat masalah tiba (pandemi),” katanya.
Total utang Garuda per 30 September 2021, katanya, mencapai 4 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 70 triliun, dengan total EBITDA negatif 817 juta dolar AS.
Jumlah ini, ujar Achsanul, disimpulkan sebelum PSAK 73 (terdiri atas penerapan prinsip penyajian, pengungkapan, pengukuran, dan pengakuan sewa)
Total, terdapat 856 pemberi utang baik di dalam maupun luar negeri, dengan kepentingan berbeda. Sedangkan lagi, Garuda wajib mengakomodir kepentingan publik dan pemegang saham lainnya.
Pendapat pribadi Achsanul, maka opsi penyelamatan Garuda tidak bisa lepas dari peran pemerintah, setidaknya dalam beberapa hal. Antara lain convertible bonds dijadikan modal, relaksasi pajak, restrukturisasi utang BUMN dan Himbara, perbaikan struktur sewa pesawat, sampai pemberian rute yang bagus untuk Garuda.
“Garuda mengajukan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Bukan pailit. Sehingga GA masih beroperasi. Jika PKPU ini disetujui pengadilan, Garuda harus melakukan restrukturisasi dengan mereformasi cara dan sistem kerja. PKPU butuh biaya dan komitmen direksi dan pemegang saham. GA harus sehat dan kuat,” katanya memungkas utas.
Dalam unggahan itu, ia menyatakan BPK tidak rutin memeriksa keuangan Garuda. BPK memang terakhir mengaudit 2017. Tetapi, pemeriksaan khusus pada 2019 lebih fokus terhadap dugaan rekayasa laporan keuangan (penerimaan fiktif) yang akhirnya dikoreksi oleh Garuda. [wip]