(IslamToday ID) – Kejaksaan Agung (Kejagung) tak lagi menjadikan pemenjaraan badan sebagai hukuman terhadap para pelaku dan pengguna narkoba.
Jaksa Agung ST Burhanuddin memerintahkan agar para jaksa penuntut umum (JPU) di seluruh Indonesia menerapkan konsep keadilan restoratif atau restorative justice berupa rehabilitasi dalam setiap penuntutan di pengadilan bagi para pelaku dan pengguna narkoba. Perintah Burhanuddin tersebut tertuang dalam Pedoman Jaksa Agung No 18/2021 yang sudah diterbitkan.
“Tujuan ditetapkannya Pedoman Jaksa Agung tersebut untuk optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkoba melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa, pengendali perkara,” kata Burhanuddin seperti dikutip dari Republika, Senin (8/11/2021).
Ia mengatakan, pedoman itu diterbitkan dan diterapkan mulai 1 November 2021. Pedoman itu sebagai basis pelaksanaan penuntutan oleh seluruh jaksa terhadap perkara-perkara yang terkait dengan UU No 35/2009 tentang Narkotika.
Khususnya perkara yang menyangkut tentang para pelaku penyalahgunaan narkoba dalam pasal 127 ayat (1). Selama ini, pemenjaraan terhadap penyalahgunaan narkoba dalam pasal tersebut berorientasi pada penghukuman ke pemenjaraan 1-4 tahun.
Burhanuddin mengatakan, orientasi pemenjaraan tersebut berujung pada persoalan serius yang dihadapi sistem pemidanaan, dan pelembagaan masyarakat saat ini. Yaitu padatnya seluruh fasilitas pemenjaraan di Tanah Air, yang didominasi oleh para narapidana dari ragam pelaku penyalahgunaan narkoba.
“Isu overcrowding telah menjadi perhatian serius masyarakat dan pemerintah sebagaimana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menangah 2020-2024,” ujar Burhanuddin.
Pendekatan keadilan restoratif menjadikan kewajiban rehabilitasi sebagai hukuman dalam setiap penuntutan di pengadilan bagi para pelaku penyalahgunaan narkoba.
Burhanuddin mengatakan, penuntutan tersebut dengan mengoptimalkan peran lembaga-lembaga dan pusat-pusat rehabilitasi narkoba.
“Jaksa selaku pengendali perkara, berdasarkan asas dominus litis, dapat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan narkoba melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan,” ujar Burhanuddin.
Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) pernah merilis tentang kapasitas yang berlebih di seluruh lembaga pemasyarakatan (lapas) Tanah Air yang mencapai 204 persen pada 2020. Hingga Maret 2020, jumlah penghuni penjara di seluruh Indonesia, mencapai 270.466 narapidana atau yang diistilahkan pemerintah sebagai warga binaan pemasyarakatan (WBP).
Padahal, kapasitas rumah tahanan (rutan) maupun lapas di Indonesia hanya cukup menampung sekitar 132.335 WBP. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38.995 orang, atau sekitar 55 persen di antaranya adalah narapidana yang dipenjara karena perkara penyalahgunaan narkoba.
Jumlah tersebut menurun dari Februari 2020 yang mencatat angka 47.122 narapidana penyalahgunaan narkoba. ICJR sebagai lembaga swadaya masyarakat yang mengkaji penerapan sistem hukum di Indonesia, kerap mengkritisi pemerintah maupun aparat penegak hukum yang menjadikan pemidanaan badan terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba sebagai solusi dalam pemberantasan tindak pidana narkoba.
Direktur ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, menyambut baik penerbitan dan pelaksanaan Pedoman Jaksa Agung No 18/2021 tersebut. Menurutnya, langkah apapun dari aparat penegak hukum, pun juga lembaga penuntutan yang membuka pintu dan celah adanya pemidanaan alternatif non penjara, adalah upaya pemajuan hukum di Indonesia.
“Kita (ICJR) mendukung, langkah-langkah kejaksaan dalam memperkuat penggunaan alternatif pidana non penjara bagi pengguna narkoba ini,” ujarnya.
Namun, Erasmus mengatakan, perlu langkah lanjutan dalam memastikan konsistensi penerapan rehabilitasi bagi para pelaku dan pengguna penyalahgunaan narkoba tersebut dengan perevisian UU No 35/2009 tentang Narkotika. [wip]