(IslamToday ID) – Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang ditandatangani Presiden Jokowi 29 Oktober 2021 merupakan UU terburuk dan terjahat dalam sejarah perundang-undangan, khususnya di bidang keuangan negara.
UU HPP meliputi enam topik yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (Tax Amnesty Jilid 2), Pajak Karbon, dan Cukai.
Dikatakan terburuk dan terjahat karena di dalam UU HPP ini memuat dua hal, yakni:
Pertama, karena dalam Bab PPN memuat Pasal 16B yang intinya memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah tentang apa yang akan dikenai/dipungut atau apa yang tidak dikenai/dibebaskan PPN, untuk sementara atau selamanya, dan dengan tarif PPN yang juga tergantung atau terserah pemerintah.
Cek kosong alias kewenangan yang diberikan UU HPP kepada pemerintah ini praktis meliputi semua objek PPN termasuk sembako, pendidikan, dan kesehatan, tambang dan sebagainya. Dengan adanya Pasal 16B ini pada hakekatnya seluruh kewenangan dan pengaturan UU PPN telah dilimpahkan kepada pemerintah.
Sudah dapat ditebak pada tahap awal pemerintah akan menggunakan kewenangan dari Pasal 16B dengan membebaskan/tidak memungut PPN atas sembako, jasa pendidikan, dan jasa pelayanan kesehatan, sehingga terkesan pemerintah pro rakyat dan bak pahlawan.
Padahal objek-objek PPN ini sedari dulu juga sudah bebas. Tapi pemerintah juga bisa berbuat yang sebaliknya. Jadi, UU pajak ini (PPN) tidak lagi memberikan kepastian hukum. Semuanya tergantung pada kebijakan atau maunya pemerintah saja.
Potensi penerimaan negara dari PPN sekitar Rp 1.000 triliun. Dengan demikian sejumlah itulah potensi yang bisa “diperjual-belikan atau dinegosiasikan” antara penguasa dengan WP (Wajib Pajak).
Siapa yang kuat tawar menawar atau lobinya akan diuntungkan. Sudah dapat diperkirakan bahwa Pasal 16B akan jadi ajang pasar korupsi atau power abuse. Mengandung moral hazard yang begitu kuat.
Saya juga heran pada pemerintah yang tega-teganya menyodorkan Pasal 16B alias cek kosong kepada DPR. Tapi lebih heran lagi pada DPR yang mau-maunya menyetujui Pasal 16B. Pengusaha besar tentu was-was dan siap-siap bernegosiasi, sementara WP kecil tinggal terima nasib.
UU yang tidak memberikan kepastian hukum seperti ini, cepat atau lambat akan dijauhi pebisnis yang baik. Tetapi sebaliknya akan mengundang politisi dan birokrat nakal mencari “rezeki” dan menjadi calo pembebasan/pengurangan PPN.
Masyarakat dan WP pada khususnya tidak dapat berharap keadilan pada UU yang seperti ini, dan sulit pula diharapkan mampu menaikkan tax ratio. Menyedihkan!
Kedua, UU HPP ini juga membuka Tax Amnesty Jilid 2. Kurang logis sebab Indonesia belum lama mengadakan Tax Amnesty, yaitu pada tahun 2016. Tetapi yang amat disesalkan adalah adanya Pasal 6 dan Pasal 11, yang menurut hemat kami sebagai pasal crime amnesty untuk “membantu atau memfasilitasi” pencucian uang.
Pasal-pasal ini memberikan perlindungan hukum kepada Wajib Pajak (WP) yang melaporkan hartanya (dalam program Tax Amnesty Jilid 2 ini, UU HPP). Harta yang mereka laporkan kepada kantor pajak tidak bisa dijadikan alat untuk menyelidiki, menyidik, maupun untuk tuntutan pidana.
Dengan demikian siapa saja yang menyimpan atau menyembunyikan harta haramnya, mungkin dari hasil korupsi, bisnis narkoba, perjudian, pelacuran, perampokan, pemerasan, penyelundupan, dan sebagainya terbebas dari pidana, cukup dengan melaporkan kepada kantor pajak dan membayar tarif PPh pengampunan. Aman, terputihkan dan bebas ancaman pidana.
Terpenting, setelah hartanya dimunculkan/diputihkan, kini hartanya bisa sah, resmi dan aman masuk ke banking system, untuk dibelikan sesuatu termasuk tanah, rumah, dan SUN, dijadikan modal usaha dan lain-lain.
Indonesia sungguh telah menjadi surganya para pelaku kejahatan melalui Tax Amnesty Jilid 2. Padahal tax amnesty itu seharusnya dimaksudkan untuk penghasilan atau keuntungan yang selama ini digelapkan atau dikecilkan oleh WP. Bukan untuk dijadikan alat perlindungan atau pemutihan dari kejahatan.
Dan yang disesalkan, lagi-lagi yang digunakan atau “dititipi” untuk melegalkan kejahatan itu adalah UU yang berkaitan dengan keuangan negara (pajak). Mungkin cara ini lebih mudah atau tidak banyak yang merecoki, daripada bila mengubah KUHP.
Para pakar hukum pasti akan berteriak keras mengkritisinya. Sementara bila dititipkan di UU yang berbau ekonomi, pakar hukum mungkin lengah, sementara para ekonom lebih menyoroti analisa ekonomi keuangannya. Penyusupan pasal yang cerdik dan cerdas, yang tampaknya mampu mengecoh banyak pengamat hukum.
Tapi kami yakin akan ada saja masyarakat kritis yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 6 dan 11 ini. Pasal yang kami duga titipan para pelaku kejahatan yang ingin memunculkan hasilnya ke permukaan dengan aman.
So, rasanya tidak salah bila ada yang menyindirnya dengan istilah bahwa banyak policy yang bukan business friendly tapi corruption friendly; bukan people friendly tapi crime friendly. [wip]
Sumber: Republika
Penulis pengamat ekonomi/mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier