(IslamToday ID) – Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Tadjuddin Noer Effendi menyangsikan klaim dan bocoran besaran rata-rata upah minimum provinsi (UMP) 2022 dari pemerintah yang cuma 1,09 persen. Menurutnya, angka ini terlalu kecil.
“Yang perlu dipertanyakan adalah angka 1,09 persen ini dapatnya dari mana?” kata Tadjuddin seperti dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (16/11/2021).
Ia menduga angka ini cuma berdasarkan tingkat inflasi yang menjadi salah satu indikator dalam formula penyusunan upah minimum. Kalaupun benar, sambungnya, angkanya terlalu kecil karena tingkat inflasi secara tahunan sampai Oktober 2021 sudah 1,66 persen.
Ia juga mempertanyakan pertimbangan indikator lain dalam formula penyusunan upah yang tidak disertakan pemerintah. Pasalnya, menurut PP No 36/2021, besaran UMP sejatinya juga didasari oleh beberapa indikator lain yang menggambarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
Misalnya, tingkat daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Nantinya, berbagai indikator ini membentuk batas atas dan batas bawah sebagai rentang kenaikan UMP 2022.
Sementara pada upah minimum kabupaten/kota (UMK), masih ada pertimbangan indikator lain selain UMP, yaitu pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah yang bersangkutan. Menurutnya, berbagai formula ini tidak diterapkan.
“Di PP yang baru pakai banyak variabel yang kelihatannya ideal, bagus sekali, tapi kok pas implementasi yang muncul cuma seputar inflasi? Bahkan lebih rendah dari inflasi, ini perlu dipertanyakan karena apa yang ada di PP dan implementasi kok tidak klop?” imbuhnya.
Tadjuddin menduga pemerintah mengambil jalan singkat mengeluarkan rata-rata UMP 2022 hanya sesuai dengan tingkat inflasi karena kesulitan mendapatkan data dari indikator lain, seperti tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah.
Hal ini karena kedua data ini sejatinya tidak ada di Badan Pusat Statistik (BPS). Alhasil, indikator yang digunakan cuma inflasi, meski hasil akhirnya pun justru di bawah inflasi.
“Sebenarnya, dari dulu pembahasan UU Cipta Kerja, yang menyusun saja sudah khawatir data-data ini tidak ada di BPS, maka tidak heran jadinya begini, dasar yang dipakai ujung-ujungnya cuma inflasi. Maka dari itu, pemerintah harus bisa secara transparan membuka bagaimana cara mereka menghitung hingga dapat angka 1,09 persen ini,” tuturnya.
Masalahnya, ada potensi buruh akan sulit melakukan pengeluaran karena kenaikan upah mereka di bawah kenaikan barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti bahan pokok dan lainnya.
Ambil contoh UMP 2022 Provinsi DKI Jakarta, Kemenaker menyatakan UMP-nya masih yang tertinggi sebesar Rp 4,4 juta. Maka, kenaikan upahnya kalau 1,09 persen cuma Rp 47.960 per orang alias di bawah Rp 50.000.
“Apa arti kenaikan kurang dari Rp 50.000 bagi buruh? Apa ini masuk akal? Ini hanya setara makan siang atau makan malam tambahan saja. Jangankan buruh, saya pun kecewa kalau keputusannya seperti itu,” ungkapnya.
Kendati begitu, bukan berarti secara pintas pula untuk mengamini tuntutan buruh yang meminta kenaikan upah minimum 10 persen pada tahun depan. Sebab, menurutnya, tuntutan ini pun juga harus dijelaskan dari mana datangnya hingga tiba-tiba 10 persen.
“Jadi kalau mau win-win solution, ya pemerintah, buruh, dan pengusaha bertemu lagi, jelaskan pertimbangan masing-masing, kenapa 10 persen, kenapa 1,09 persen, lalu cari titik temu. Ya bisa tengahnya mungkin 5 persen, tapi bisa juga dengan mempertimbangkan formula yang ada namun dengan negosiasi,” jelasnya.
Ekonom INDEF Tauhid Ahmad juga meminta pemerintah secara terang-terangan membuka cara menghitung rata-rata kenaikan UMP 2022 yang cuma setara inflasi itu. Memang kondisi ekonomi Indonesia masih dalam proses pemulihan, sehingga permintaan belum tinggi dan tingkat inflasi masih rendah.
Tapi, menurutnya, hal ini tak bisa serta merta menjadi alasan pemerintah untuk menetapkan rata-rata kenaikan upah yang cuma setara inflasi. Apalagi, besaran upah untuk tahun depan yang kondisi ekonominya diproyeksi membaik dari tahun ini.
Selain itu, bagi Tauhid, pemerintah juga tidak boleh mengesampingkan pertumbuhan positif dari beberapa sektor usaha, seperti kesehatan dan telekomunikasi, meski pariwisata dan transportasi masih sangat tertekan. Artinya, kenaikan rata-rata upah tetap harus dicari jalan tengah yang pantas bagi buruh dari berbagai sektor usaha.
“Rata-rata pertumbuhan sektor usaha 3 persen, maka kenaikan upah buruh tidak bisa cuma 1 persen, meski ini dalam kondisi pemulihan ekonomi dan buruh minim daya tawar,” kata Tauhid.
Ia juga mewanti-wanti pemerintah soal pemerataan upah, di mana pemerintah ingin beberapa daerah upahnya tidak kelewat tinggi dibandingkan yang lain. Menurutnya, keinginan seperti ini memang susah untuk diterapkan di Indonesia.
Alasan paling sederhana saja, misalnya karena harga bahan pokok di Papua memang berbeda dengan di Jawa Tengah. Maka, sudah seharusnya upah buruh di Papua lebih tinggi daripada di Jawa Tengah.
“Justru kalau dipaksa ingin sama, jadinya malah bukan fair (adil), justru tidak fair karena pertumbuhan dan standar kebutuhan hidup di masing-masing daerah berbeda,” jelasnya.
Tadjuddin menilai kenaikan UMP 2022 ini sebenarnya bisa saja digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, karena memang perlu dijelaskan bagaimana cara menghitung formula kenaikan upah hingga cuma dapat besaran 1,09 persen. “Tentu bisa digugat, dipertanyakan ke MK,” terangnya.
Menurutnya, masalah apakah sudah ada kerugian materiil seperti yang kerap dipertanyakan MK, hal ini bisa dicoba dulu. Bahkan, biarkan MK yang mempertimbangkan.
“Meski belum berjalan (kebijakan upahnya), tapi bisa dilakukan kajian terhadap formula di UU, di PP dengan realitasnya. Jadi, nanti biar MK yang mempertimbangkan, dan cari titik temunya,” kata Tadjuddin.
Sementara, Tauhid menyoroti dampak penetapan upah buruh ke perekonomian. Ia menilai kenaikan besaran upah yang terlalu rendah tidak baik untuk perekonomian karena berpotensi membuat permintaan semakin melemah dan dampaknya bisa ke pertumbuhan sektor usaha juga.
Sedangkan dampak lebih luas akan mempengaruhi tingkat pemulihan daya beli dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang selama ini sudah tertekan pandemi Covid-19. Hasil akhirnya tentu akan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi.
“Kenaikan upah yang terlalu rendah tidak bagus untuk perekonomian, meski kenaikan yang terlalu tinggi pun juga tidak baik, harus seimbang dan ada titik tengahnya,” tutur Tauhid.
Di luar masalah besaran upah, sebetulnya perusahaan harus memikirkan tunjangan kesejahteraan buruh yang lainnya. Tujuannya, agar upah tidak menjadi tumpuan satu-satunya bagi buruh untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan mereka.
“Yang tak kalah penting adalah perusahaan seharusnya bisa memberikan jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, sosial untuk tenaga kerja, anak mereka, bahkan hingga mereka pensiun,” pungkasnya. [wip]