(IslamToday ID) – Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari menilai rencana Jaksa Agung ST Burhanuddin yang meminta jajarannya menyelesaikan kasus korupsi di bawah Rp 50 juta hanya dengan mengembalikan uang ke negara tak masuk akal.
Feri mengatakan memberantas korupsi bukan semata-mata mengembalikan uang yang dicuri, tetapi juga mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan. Ia khawatir rencana Burhanuddin justru menimbulkan budaya korupsi baru.
“Jika koruptor Rp 50-an juta dibiarkan melenggang, maka akan timbul budaya korupsi baru. Selama cuma Rp 50 juta tidak korupsi, maka orang akan bersama-sama korupsi di bawah Rp 50 juta,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (29/1/2022).
Feri tak habis pikir Burhanuddin berpikir seperti itu. Menurutnya, sebagai aparat penegak hukum, seharusnya Burhanuddin tak mengeluarkan pernyataan yang justru kontraproduktif. “Bahkan harusnya tidak melintas di alam pikiran seorang Jaksa Agung,” ujarnya.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengaku tidak memahami argumentasi ST Burhanuddin. Menurutnya, tidak ada aturan hukum yang mengatur pengembalian uang korupsi ke negara bisa menghapus pidana.
Justru sebaliknya, dalam pasal 4 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dinyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3.
“Patut diingat, mengembalikan dana hasil praktik korupsi hanya dapat dijadikan dasar untuk meringankan tuntutan dan hukuman, bukan malah tidak ditindak,” kata Kurnia.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Gandjar Laksmana Bondan turut mengkritik Burhanuddin yang meminta jajarannya menyelesaikan kasus-kasus korupsi di bawah Rp 50 juta hanya dengan cara mengembalikan uang ke negara.
Gandjar mengaku tak habis pikir dengan usulan tersebut, padahal jaksa mempunyai kewenangan penuntutan.
“Enggak tahu lagi deh mesti ngomong apa ketika pemimpin institusi yang tugasnya melakukan penuntutan malah berpendapat kayak gini. Bubar…! Bubaaar…” ujar Gandjar melalui akun twitter @gandjar_bondan dikutip Sabtu (29/1/2022).
Dalam postingannya, ia turut menyandingkan usul Burhanuddin dengan sikap Kepala Kejari Pangkalpinang, Jefferdian, yang membebaskan terduga pelaku pencuri ponsel dan justru memberikan ponsel baru. Motif terduga pelaku berinisial RC mencuri ponsel disebut untuk kebutuhan anaknya agar bisa sekolah secara daring. “Ini lembaga yang punya kewenangan penuntutan mau dibubarin aja atau gimana…?” katanya.
Gandjar menjelaskan bahwa pihak yang berwenang membebaskan terduga pelaku atau terdakwa adalah hakim, bukan jaksa.
Ia memberi contoh sosok Frank Caprio, hakim kepala di Kota Providence, negara bagian Rhode Island, Amerika Serikat, yang pernah memutus bebas kakek berusia 96 tahun bernama Victor Cueva.
Cueva disebut berkendara melebihi batas kecepatan. Dalam sidang, ia beralasan saat itu sedang membawa anaknya (63 tahun) yang difabel ke dokter darah. Setiap dua pekan sekali. Mendengar penjelasan itu, hakim Caprio menutup kasus kakek tersebut.
“Catat, ada proses hukum, dan dibebaskan oleh hakim. Bukan oleh polisi/jaksa! Begitulah penegakan hukum dan kepastian hukum,” kata Gandjar. [wip]