ISLAMTODAY ID (LHOKSEUMAWE)— Center for Information of Samudra Pasai Heritage (CISAH) prihatin dan kecewa dengan adanya wacana pengangkatan Sultan Al-Malik Ash-Shalih sebagai Pahlawan Nasional. Gelar tesebut dinilai sebagai upaya pengkerdilan kiprah besar sultan pertama di Asia Tenggara itu.
“Kami menilai ini sebuah upaya pengkerdilan terhadap kiprah besar Sultan Al-Malik Ash-Shalih,” ungkap Ketua CISAH, Abd. Hamid seperti dilansir dari portalsatucom (18/2/2022).
Wacana pengangkatan sultan sebagai Pahlawan Nasional terus berkembang di Aceh sejak dua tahun terakhir. Ia berpendapat sang sultan lebih layak untuk menjadi tokoh dunia Islam.
“Beliau punya hak sejarah untuk dikenal oleh masyarakat dunia sebagai tokoh besar dunia Islam,” tutur Abd. Hamid.
Ia mengatakan jika pengangkatan tokoh pejuang Aceh di era pra kemerdekaan masih banyak yang perlu diperjuangkan. Sebut saja Pang Nanggroe, Pang Usuh, Pleton Karya, Pang Saleh dan masih banyak lagi.
“Hemat kami, sejarah wajib menempatkan tokoh-tokoh secara proporsional,” ujar Abd. Hamid.
Hal senada juga dikuatkan oleh Wakil Ketua CISAH, Sukarna Putra. Ia lebih lugas menyampaikan makna gelar sultan bagi Sultan Al-Malik Ash-Shalih.
Sukarna mengatakan gelar sultan sangat memiliki makna politik yang sangat penting. Sultan Al-Malik Ash-Shalih merupakan penguasa pertama muslim di Asia Tenggara.
“Gelar Sultan adalah jabatan kepemimpinan Islam tertinggi kedua di bawah khalifah,” ucap Sukarna.
Sukarna lebih lanjut menjelaskan sejumlah kriteria seseorang layak disebut ‘sultan’. Ia mengutip sejumlah kriteria seorang sultan berdasarkan penjelasan Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam kitabnya Husnul Muhazharah.
Pertama, ia harus memiliki 10.000 tentara perang. Kedua, setiap tahunnya harus pergi ke medan jihad. Ketiga, wilayah kekuasaannya harus bertambah.
“Sultan Al-Malik Ash-Shalih memiliki beberapa keistimewaan dalam masa kepemimpinannya sebagai founding father, peletak fondasi dasar dalam memangku dakwah untuk kawasan Asia Tenggara yang luas,” ungkap Sukarna.
Sukarna menambahkan sosok Sultan Al-Malik Ash-Shalih memiliki sifat-sifat yang istimewa. Sifat-sifatnya tersebut tertulis dalam nisan di makammnya.
Sultan Al-Malik Ash-Shalih memiliki enam nama istimewa yang terdiri atas At-Taqiy (yang bertaqwa), An-Nashih (pemberi nasihat), Al-Hasib (yang berasal dari keturunan terhormat), An-Nasib (yang terkenal), Al-‘Abid (ahli ibadah), dan Al-Fatih (sang pembebas).
Gelar Al-Fatih bahkan disematkan pada Sultan Al-Malik Ash-Shalih jauh sebelum Muhammad Al-Fatih berhasil membebaskan Konstantinopel. Jarak periode kekuasaan antara Sultan Al-Malik Ash-Shalih dan Muhammad Al-Fatih itu terpaut cukup jauh, 200 tahun lamanya.
“Sekitar 200 tahun sebelum itu, di Asia Tenggara telah hadir sosok Al Fatih yang kiprahnya dalam menerima serta mengembangkan Islam untuk kawasan yang sangat luas,” jelas Sukarna.
Sultan Al-Malik Ash-Shalih telah berhasil mendakwahkan Islam di Asia Tenggara. Masyarakat berangsur-angsur memeluk agama Islam sebagai agama mereka.
“Pembebasan yang dilakukan oleh Al-Malik Ash-Shalih, dan realita dari perjuangan beliau berabad silam dapat disaksikan sekarang adalah, berdirinya negara-negara baru di kawasan Asia Tenggara. Salah satunya Indonesia hari ini sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dan mazhab Syafi’i adalah fikih yang menjadi acuan hukumnya,” tandasnya.
Reporter: Kukuh Subekti