(IslamToday ID) – MUI mengkritik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dinilai kembali membuat gaduh. Kritik MUI ini terkait dengan pernyataan BNPT soal sejumlah teroris yang menyusup ke lembaga publik dan ormas.
“Setelah BNPT menyampaikan permintaan maaf secara resmi tanggal 3 Februari 2022 di MUI. Kali ini kembali membuat pernyataan yang membuat gaduh dan menyesalkan di antaranya Irfan Idris mengatakan BNPT tidak bermaksud menuding sejumlah lembaga yang anggotanya ditangkap Densus 88/Antiteror sebagai organisasi teroris. Menurutnya, teroris menyusup dan tidak langsung melancarkan aksi teror, melainkan berupaya menguasai lembaga tersebut. Hal ini juga terjadi di perguruan tinggi,” kata Sekjen MUI Amirsyah Tambunan, Ahad (20/2/2022).
Ia mempertanyakan mengenai pencegahan penyusup ke ormas. Ia juga mengkritik soal pernyataan tentang teroris tidak langsung berupaya melakukan aksi teror, tapi berusaha menguasai lembaga tersebut.
“Yang menjadi pertanyaan bagaimana kita mencegah penyusup ke ormas sehingga target tidak pada penangkapan. Kata Irfan tidak langsung melakukan aksi di pendidikan tinggi tapi melakukan proses-proses awal, misalnya pembaiatan, pengajian, dengan sangat disayangkan,” ujar Amirsyah.
Narasi ini, katanya, harus diinvestigasi bersama-sama sehingga ada fakta dan data seperti apa proses pembaiatan, pengajian yang disebutkan BNPT itu agar tidak meresahkan masyarakat.
Amirsyah mengatakan keberhasilan penanggulangan terorisme bukan pada penangkapan, melainkan pada pencegahan. Ia lantas berbicara mengenai aturan tentang tindak pidana terorisme.
“Karena pencegahan merupakan kewajiban pemerintah, termasuk aparat penegak hukum berdasarkan UU No 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang,” katanya.
“Berdasarkan pasal 43 A (1) pemerintah wajib melakukan pencegahan tindak pidana terorisme. (2) Dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme, pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian. (3) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. kesiapsiagaan nasional; b. kontra-radikalisasi; dan c. deradikalisasi. Jadi ada logika hukum yang tidak masuk akal bagi pejabat BNPT,” tambah Amirsyah.
“Atas dasar itu, keberhasilan penanggulangan tindak pidana terorisme bukan pada penangkapan tapi pada pencegahan sehingga mengedepankan fungsi negara melindungi warga negara dari terorisme melalui deradikalisasi dan kontra-radikalisasi,” sambungnya.
Juru bicara BNPT, Irfan Idris angkat bicara soal teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI) menyusup ke partai dan lembaga publik. Menurutnya, teroris JI menyusup pada individunya, bukan lembaga atau partainya.
“Jadi bukan partainya, tapi kepada individu yang ada di partai itu. Bukan, organisasi itu yang punya visi dan misi untuk memperkuat kelompok-kelompok mereka,” kata Irfan di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Pusat, Jumat (18/2/2022).
Ia menegaskan BNPT tidak menyudutkan lembaga manapun. Namun Irfan mengimbau lembaga publik atau partai agar lebih waspada lagi dari ancaman penyusupan teroris.
“Bukan lembaganya, BNPT sekali lagi tidak bermaksud menuding lembaga, partai, organisasi keumatan sebagai organisasi teroris,” katanya.
“Oleh karena itu, lembaga yang dimasuki itu harus lebih waspada lagi, tentu berdasarkan visi-misi pembentukannya. Agar jangan masyarakat meyakini bahwa kalau partai ini ada terorisnya,” imbuhnya.
Irfan juga mengingatkan tidak ada kriteria fisik tertentu bagi seseorang menjadi teroris. BNPT menyebut fisik seseorang tak bisa menjadi patokan bahwa orang tersebut terlibat dalam aktivitas terorisme. “Terkait perkembangan kriteria tersebut, tidak ada kriteria fisik,” katanya.
Irfan menuturkan masyarakat tidak bisa terjebak dalam menentukan seseorang sebagai terduga teroris berdasarkan kriteria fisiknya. Ia menyinggung kasus bom Bali hingga penembakan di masjid di Selandia Baru beberapa tahun silam.
“Kalau kita terjebak dengan kriteria fisik seperti bom Bali, bagaimana dengan yang di New Zealand, yang menembak mati orang yang mau Jumatan. Tidak ada kriteria itu, jangan masyarakat terjebak pada simbol fisik. Karena kebetulan yang melakukan itu menggunakan simbol itu. Tidak bisa lantas semua yang berpakaian itu pasti teroris,” ujarnya.
Lebih lanjut, Irfan menambahkan, pihaknya bekerja sama dengan instansi terkait lain untuk terus berupaya membuat masyarakat paham mengenai radikalisme dan terorisme. Bahkan Idris menyebut teroris kini sudah mulai memasuki lembaga negara.
“Masyarakat harus kita cerdaskan. Tetapi kemudian jika diarahkan kepada aksi untuk menimbulkan dan menyuburkan penanaman ujaran kebencian dan penyebaran permusuhan di balik simbol itu, itu yang harus kita rumuskan bersama. Agar jangan ada stigma bahwa teroris ada simbol-simbolnya,” katanya.
“Secara kelembagaan, BNPT mengkoordinasikan seluruh instansi kementerian, lembaga, LSM, non-kementerian dan non-pemerintahan agar ini bisa kita cerahkan, cerdaskan masyarakat bahwa radikal teroris kini sudah mulai mengubah pola aksi pola pergerakan dengan mengubah nama jaringan, dengan juga memasuki lembaga-lembaga negara,” pungkas Idris. [wip]