(IslamToday ID) – TNI AU bakal mengirim calon penerbang jet tempur Rafale untuk berlatih di Perancis. Latihan dan kesiapan itu sesuai dengan rencana Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang hendak memboyong enam unit jet tempur buatan Dassault Aviation itu. Selain di Perancis, calon penerbang juga akan berlatih di Indonesia.
“Latihannya (bagi calon penerbang) akan dilaksanakan di Perancis dan di dalam negeri,” kata Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo usai Rapat Pimpinan TNI AU Tahun 2022 di Mabes TNI AU, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (4/3/2022).
Namun, hingga kini, Fadjar belum menentukan jumlah calon penerbang yang akan menjalani pelatihan untuk mengemudikan Rafale. “Kami akan menyiapkan beberapa penerbang, tetapi belum ditentukan jumlahnya,” katanya seperti dikutip dari IDN Times.
Namun, ia memastikan prajurit TNI AU yang akan mengemudikan Rafale adalah prajurit yang layak dan memiliki kualifikasi tinggi. “Secara kriteria, kami sudah siapkan (calon penerbang) dan yang eligible untuk bisa berangkat,” tutur Fadjar.
Kapan jet tempur Rafale akan tiba di Indonesia?
Juru bicara Menteri Pertahanan (Menhan) Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan Kemenhan kini tinggal menunggu pembayaran uang muka untuk pembelian enam unit Rafale dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dahnil pernah menyebut nilai kontrak untuk pembelian enam unit jet tempur Rafale mencapai 1,1 miliar dolar AS atau setara Rp 15,7 triliun.
“Jadi, yang sudah kontrak itu ada enam unit jet tempur Rafale. Untuk yang enam unit ini butuh diaktifkan kontraknya oleh Kementerian Keuangan. Jadi, bahasa sederhananya setelah kontrak harus dibayar DP-nya (uang muka),” ujar Dahnil kepada media pada 12 Februari 2022.
Sementara, sisa 36 unit jet tempur lainnya belum dilakukan pemesanan dan tanda tangan kontrak. Dahnil memastikan proses pembeliannya dilakukan secara bertahap.
Kemudian, usai dilakukan pembayaran uang muka, proses produksi baru dilakukan. Ia menekankan pembelian alutsista tidak sama dengan membeli kendaraan ke dealer yang setelah terjadi transaksi, maka barangnya langsung dikirim ke rumah.
“Kami prediksi hingga ke tahap delivery, butuh waktu hampir 56 bulan atau hampir lima tahun,” katanya.
Dahnil menjelaskan, Prabowo sempat berkunjung ke sejumlah negara sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan membeli jet tempur Rafale. Selain ke Amerika Serikat (AS), Prabowo juga sempat ke Turki, hingga ke Perancis. Khusus ke Perancis, Prabowo datang ke sana hingga tiga kali.
Selain itu, Dahnil menyebut ada empat alasan mengapa Prabowo memilih Rafale. Pertama, efektivitas atau tepat guna. Menurut Dahnil, Prabowo selalu ingat pesan Presiden Jokowi bahwa belanja alutsista itu didasari kebutuhan bukan keinginan.
“Sementara, kita butuh alutsista terbaik untuk menjaga 81.000 kilometer garis pantai Indonesia dan lebih dari 7,7 juta kilometer persegi luas wilayah Indonesia. Pemerintah harus pastikan jet tempur atau alutsista yang dipilih tepat guna dan bisa digunakan untuk menjaga kepentingan NKRI,” katanya.
Alasan kedua, menyangkut geopolitik dan geostrategis. Dahnil menjelaskan setiap kali dilakukan belanja alutsista, maka hal tersebut berkaitan erat dengan dimensi diplomasi pertahanan.
Berdasarkan data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), ada 67 negara di dunia yang menjadi produsen alutsista. Namun, hanya lima negara yang jadi produsen terbesar yakni AS, Perancis, Rusia, Jerman, dan China.
“Maka, setiap Menhan mengambil keputusan maka harus dipastikan bersamaan dengan kepentingan Indonesia melakukan diplomasi pertahanan,” ujarnya.
Dahnil seolah merujuk bahwa jangan sampai pembelian alutsista dari negara tertentu kemudian memicu embargo suku cadang dari negara lain.
Alasan ketiga, yakni efisiensi. Ia mengatakan keinginan Kemenhan untuk membeli alutsista harus disesuaikan dengan ruang dan kapasitas fiskal. “Jadi, harus dipastikan apakah APBN memiliki kemampuan untuk membeli alutsista,” tuturnya.
Alasan keempat, harus ada alih teknologi dan konten lokal. Hal tersebut berangkat dari visi Jokowi yang ingin ke depan harus ada kemandirian industri pertahanan.
“Oleh sebab itu, ketika belanja alutsista, kita harus mendorong adanya alih teknologi sehingga industri pertahanan domestik bisa berkembang secara maksimal,” ungkapnya.
Maka tak mengherankan, kata Dahnil, saat dilakukan penandatanganan kontrak untuk pembelian Rafale, ada deretan MoU lainnya yang diteken. Kesepakatan itu merupakan bagian dari perjanjian untuk mendukung perkembangan industri pertahanan di dalam negeri.
“Dari empat kriteria itu, yang menurut kami paling memenuhi secara maksimal adalah Perancis. Sehingga kami menjatuhkan pilihan ke Dassault Rafale,” katanya. [wip]