(IslamToday ID) – Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax telah memperlebar disparitas harga dengan bensin bersubsidi. Siapa sangka, hal tersebut justru menimbulkan risiko baru dalam hal ketersediaan dan penyaluran BBM di dalam negeri.
Sekretaris Eksekutif I KPC-PEN Raden Pardede mengatakan kenaikan harga komoditas di dalam negeri tak dapat dilepaskan dari gejolak harga komoditas global akibat disrupsi rantai pasok yang disebabkan pandemi dan lockdown di berbagai penjuru dunia.
Hal itu diperparah oleh gejolak geopolitik yang terjadi di Ukraina menyusul serangan Rusia ke negara itu sejak 24 Februari lalu. Alhasil, dunia pun berisiko mengalami stagflasi, yakni kombinasi stagnasi dan inflasi tinggi.
Terkait harga komoditas, menurutnya, jika perbedaan harga dunia dengan domestik cukup mencolok, maka potensi penyelundupan terjadi.
Selain itu, jika harga keekonomian jauh lebih tinggi dari harga penetapan untuk BBM, atau kalau harga BBM nonsubsidi jauh lebih tinggi dari harga BBM bersubsidi, seperti sekarang ini, maka dapat terjadi migrasi dari konsumen nonsubsidi ke konsumen bersubsidi.
“Akibat lanjutannya adalah terjadi kelangkaan pada BBM bersubsidi,” katanya dalam sebuah catatan seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Ahad (3/4/2022).
Ia juga mencontohkan selisih harga solar bersubsidi dan non subsidi yang terus melebar dari kisaran Rp 3.000 per liter pada 2020 menjadi sekitar Rp 8.000 per liter sekarang ini.
“Di sinilah ‘gengsi’ terpaksa diturunkan. Terjadilah migrasi dari konsumen kelas atas dan bahkan industri (truk besar) dari sebelumnya mengonsumsi solar premium menjadi konsumen baru solar bersubsidi. Tentu sudah diduga, akibatnya adalah terjadi antrean terhadap solar bersubsidi (alias terjadi kelangkaan),” tuturnya.
Menurutnya, ada dua langkah yang dapat diambil sebagai solusi. Pertama, menaikkan harga BBM bersubsidi hingga selisihnya tidak terlalu jauh. Kedua, memberikan bantuan langsung kepada masyarakat dengan tepat sasaran. [wip]