(IslamToday ID) – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan UU No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Rabu (16/3/2022).
Permohonan perkara No 24/PUU-XIX/2022 ini diajukan oleh E Ramos Petege (Pemohon). Pemohon menilai Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Kemudian Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Terakhir, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyatakan, “Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Ni Komang Tari Padmawati selaku salah satu kuasa hukum Pemohon menyebutkan, Pemohon merupakan perseorangan warga negara yang memeluk agama Katolik dan hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.
Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Hak-hak konstitusional Pemohon dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
“Pemohon kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan maka akan ada paksaan salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas,” kata Ni Komang dalam sidang yang juga dihadirinya secara daring bersama dengan kuasa hukum lainnya, yakni Asima Romian Angelina, Hans Poliman, dan Dixon Sanjaya.
Sementara, Ramos Petege menyadari gugatan serupa pernah diajukan pada 2015, namun tidak membuahkan hasil. Namun ia berasumsi gugatannya berbeda dengan gugatan 2015 lalu, sehingga layak dikabulkan.
“Karena tentunya terdapat perbedaan dalam hal konstitusionalitas yang menjadi alasan diajukannya permohonan,” ujar Ramos seperti dikutip dari kai.or.id.
Gugatan yang dimaksud yaitu perkara No 68/PUU-XII/2014. Judicial review itu diajukan Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra. Hasilnya, MK menolak permohonan keempatnya.
“Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi putusan MK yang diketok pada 18 Juni 2015.
MK menolak pernikahan beda agama dengan alasan perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara, termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.
“Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan,” tutur MK.
Perkawinan menurut UU No 1/1974 diartikan sebagai hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan,” urai MK.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat.
Sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.
“Bahwa ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan juga merupakan bentuk pernyataan secara tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” tutur MK.
Selain itu, kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan.
“Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia,” beber MK dalam putusan yang diketok oleh Hamdan Zoelva, Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams, Ahmad Fadlil Sumadi, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, dan Maria Farida Indrati.
Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan. Secara khusus, negara berperan memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia.
“Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” tegas MK.
Di putusan itu, hakim konstitusi Maria Farida Indrati berpendapat berbeda. Maria Farida Indrati setuju MK menolak permohonan tetapi dengan dasar pemikiran yang berbeda dengan majelis.
“Saya berpendapat bahwa memang benar undang-undang a quo telah menimbulkan berbagai permasalahan khususnya terhadap pelaksanaan perkawinan beda agama, bahkan menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum karena ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum negara,” ujar Maria. [wip]