(IslamToday ID) – Pemekaran wilayah di Papua dengan menambah menjadi tiga provinsi baru yang dilakukan pemerintah pusat dinilai seperti mengulangi model tata kelola kekuasaan Belanda era kolonial. Hal itu disampaikan oleh Koalisi Kemanusiaan untuk Papua.
Peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas, yang tergabung dalam koalisi, mengatakan kebijakan pemekaran Papua ini mendorong ketidakpercayaan masyarakat Papua pada pemerintah meluas.
“Pemekaran top down yang dibuat sepihak oleh pemerintah pusat ini seperti mengulangi model tata kelola kekuasaan Belanda untuk terus melakukan eksploitasi sumber daya alam dan menguasai tanah Papua,” kata Cahyo seperti dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (9/4/2022).
Ia yang juga anggota Jaringan Damai Papua (JDP) menyebut UU Otonomi Khusus Papua yang baru dan kebijakan pemekaran provinsi ini akan menimbulkan situasi yang kontraproduktif.
Sementara, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan pemekaran provinsi baru harus melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli Papua (OAP).
Hal ini merupakan amanah UU No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua sebagai bentuk perlindungan hak-hak orang asli Papua.
“Pemekaran di Papua seharusnya melibatkan MRP sebagai representasi kultural OAP. Hal itu diatur dalam UU Otsus sebagai bentuk perlindungan hak-hak orang asli Papua,” kata Usman.
Direktur Eksekutif Public Virtue Miya Irawati menyebut pemerintah seharusnya membatalkan atau menunda rencana pemekaran Papua sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal gugatan revisi UU Otsus Papua yang dilayangkan oleh MRP.
Menurutnya, langka yang telah ditempuh Baleg DPR dan pemerintah menyetujui RUU pembentukan tiga provinsi baru merupakan sebuah kemunduran demokrasi di Papua.
“Kami juga mendesak pemerintah membatalkan rencana pembentukan provinsi baru di Papua atau setidaknya menunda rencana tersebut sampai ada putusan MK pada beberapa bulan mendatang,” kata Miya.
Sementara itu, peneliti Imparsial Hussein Ahmad khawatir kebijakan pemekaran wilayah Papua akan digunakan untuk membenarkan penambahan militer di Papua yang berpotensi meningkatkan kekerasan dan pelanggaran HAM di sana.
“Jika ada tiga provinsi baru maka biasanya akan diikuti dengan pembentukan tiga Kodam dan satuan-satuan baru juga di bawahnya yang tentunya akan berdampak pada meningkatnya jumlah pasukan militer di Papua,” ujarnya.
Diketahui, Koalisi Kemanusiaan Papua adalah kemitraan sukarela yang terdiri dari sejumlah organisasi dan individu, yaitu Amnesty International Indonesia, Biro Papua PGI, Imparsial, Elsam Jakarta, KontraS, Aliansi Demokrasi untuk Papua, KPKC GKI-TP, KPKC GKIP, SKPKC Keuskupan Jayapura, Public Virtue Research Institute, PBHI, dan peneliti BRIN Cahyo Pamungkas.
Peningkatan Pelayanan Publik
Ketua DPR Puan Maharani mengklaim pembentukan tiga provinsi baru di Papua untuk peningkatan pelayanan publik serta kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, penambahan provinsi itu juga bertujuan untuk mempercepat proses pemerataan pembangunan di Bumi Cenderawasih.
“Penambahan provinsi di Indonesia bagian timur dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan pembangunan di Papua dan untuk melayani masyarakat Papua lebih baik lagi,” kata Puan.
Ketua DPP PDIP itu mengatakan penambahan provinsi itu juga bertujuan agar Papua bisa semakin maju, serta mengangkat harkat dan martabat masyarakatnya.
Puan memastikan pembahasan regulasi tentang pemekaran provinsi Papua itu akan tetap selaras dengan UU No 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua. “Dalam pembahasan RUU ini nantinya agar memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Papua,” tuturnya.
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi menyampaikan nama untuk tiga provinsi baru di Papua masih bisa diubah. Sebelumnya diputuskan tiga nama yaitu Anim Ha untuk Papua Selatan, Meepago untuk Papua Tengah, serta Lapago untuk Papua Pegunungan Tengah. “Kalaupun kemudian mau diubah, itu di dalam pembahasan bisa,” katanya, Jumat (8/4/2022).
Ia menjelaskan nama-nama adat yang digunakan sebagai nama tiga calon provinsi tersebut merupakan rekomendasi dari Baleg. Ia mengklaim nama adat yang dipilih sudah sesuai dengan aspirasi publik dan kajian para akademisi.
“Memang kita rekomendasikan juga dalam RUU itu nama-nama adat juga dimasukkan. Misalkan Papua Pegunungan Tengah itu apa, terus Papua Tengah itu apa, Papua Selatan itu apa,” ujarnya.
Sebelumnya, Baleg menyepakati RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah dalam rapat pleno yang digelar Rabu (6/4/2022). Selanjutnya RUU ini akan dibawa ke paripurna DPR untuk disahkan.
RUU itu mengatur pemekaran Papua menjadi tiga provinsi lain. Nantinya sejumlah kabupaten bakal masuk ke dalam tiga provinsi baru tersebut. [wip]