(IslamToday ID) – Kebijakan Presiden Jokowi menghentikan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng harus ditinjau ulang. Kebijakan tersebut sama halnya mengulang kesalahan pada kasus batubara pada Januari 2022 lalu.
Demikian diungkapkan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara. Menurutnya, pengawasan menjadi hal terpenting dalam distribusi minyak goreng. Bhima menyampaikan bahwa kebijakan domestic market obligation (DMO) 20 persen sudah cukup untuk menjaga kebutuhan dalam negeri.
“Yang seharusnya dilakukan cukup kembalikan kebijakan DMO crude palm oil (CPO) 20 persen. Selain DMO, pemerintah juga harus menggunakan HET di minyak goreng kemasan, dan pengawasan yang benar, jangan pakai suap,” ungkap Bhima seperti dikutip dari Bisnis, Jumat (29/4/2022).
Lebih lanjut, ia melihat kemungkinan Indonesia akan kehilangan devisa sekitar 3 miliar dolar AS jika pelarangan benar-benar dilakukan sepenuhnya. Mengingat bahan baku minyak goreng yang tidak hanya CPO, pelarangan ini dinilai tidak bijak karena akan berdampak pada industri selain minyak goreng yang juga membutuhkan CPO.
Bhima menambahkan, satu hal yang pasti jelas, adanya larangan ini akan otomatis menaikkan harga internasional secara signifikan. Bila melihat harga CPO di Bursa Malaysia Derivatives (BMD) per 21 April 2022, harga CPO mencapai MYR6.808 per ton. Angka ini diprediksi akan naik bila larangan ekspor berjalan.
Bhima khawatir negara lain akan melakukan balas dendam atau retaliasi terhadap pelarangan ini. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terjadi. “Khawatir ada retaliasi dan protes dari negara-negara lain juga. Ini tidak selesai masalahnya. Harusnya dengan DMO 20 persen itu cukup, yang bolong ini kan pengawasannya, jangan memukul rata semua bahan baku minyak goreng dilarang, hal ini akan membuat rugi besar terhadap perekonomian Indonesia,” ujar Bhima.
Kritikan larangan ekspor juga datang dari pakar ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini. Ia mengatakan, kebijakan tersebut seolah-olah heroik namun tidak berdampak positif bagi industri kelapa sawit di Indonesia.
Pasalnya, banyak petani sawit yang berteriak lantaran buah tandan yang menjadi bahan baku minyak goreng menumpuk dan membusuk jika tidak segera diproduksi dan diekspor.
“Untuk sebagian orang ini seolah-olah heroik, ini kepahlawanan dari pemerintah atau presiden, berani melawan mafia. Tetapi ini kebijakan yang jongkok ya, enggak punya desain yang baik,” katanya seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL.
Rektor Universitas Paramadina ini mengurai, pemerintah telah gagal dalam menyelamatkan produksi minyak goreng di Indonesia. Dari mulai mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk CPO, kemudian memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng, dan terakhir menumpas mafia minyak goreng.
“Pemerintah itu sudah membikin kebijakan namanya Domestic Market Obligation (DMO) gagal. Artinya, DMO itu tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk suplai minyak goreng, gagal,” tuturnya.
“Setelah gagal dia (pemerintah) bikin lagi harga eceran tertinggi (HET), setelah bikin HET gagal kan. Setelah HET dia bikin langkah untuk mencari mafia, mafianya enggak ketemu kan, yang ditangkap malah dirjen yang tidak punya harta, bukan orang besar,” imbuhnya.
Menurut Didik, kegagalan pemerintah ini terlihat dengan mengumumkan tersangka kasus minyak goreng yang seolah-olah tanda kepahlawanan dan berpihak kepada masyarakat. Namun hal tersebut justru menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia.
“Kegagalan-kegagalan ini ditimpa lagi dengan stop ekspor minyak goreng, jadi gagal lagi. Karena itu pasti petaninya berteriak, ini sama dengan menghancurkan sistem perdagangan yang ada secara keseluruhan. Banyak teman-teman yang mengatakan itu membakar lumbungnya,” pungkasnya. [wip]