(IslamToday ID) – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis kejadian bencana alam selama tahun 2022. BNPB mencatat ada 1.381 bencana alam yang terjadi di Indonesia sejak 1 Januari hingga 26 April 2022. Banjir masih menjadi bencana alam yang paling sering terjadi.
Secara total, ada sebanyak 536 kejadian banjir di dalam negeri sejak awal tahun ini. Selain banjir, Indonesia juga kerap mengalami cuaca ekstrem dengan sebanyak 506 kejadian.
Berikutnya, ada 253 kejadian tanah longsor secara nasional, 67 kejadian kebakaran hutan dan lahan, gempa bumi 10 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 8 kejadian. Sementara itu, ada 1 kejadian kekeringan yang terjadi di Tanah Air sejak awal tahun hingga kemarin.
Adapun bencana alam tersebut mengakibatkan 1.805.078 orang menderita dan mengungsi. Selain itu, sebanyak 619 orang luka-luka. Lalu, sebanyak 84 orang meninggal dunia dan 10 orang hilang.
BNPB juga melaporkan bahwa bencana alam tersebut mengakibatkan 22.244 rumah dan 587 fasilitas rusak. Ada pula sebanyak 81 jembatan serta 67 kantor yang mengalami kerusakan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis kejadian bencana selama tahun 2022. BNPB mencatat ada 1.137 bencana alam yang terjadi sepanjang 1 Januari hingga 31 Maret 2022. Jika dirinci, maka setidaknya ada tiga bencana dalam satu hari di Indonesia.
“Kita dalam tiga bulan pertama 2022 sudah mengalami 1.137 kali kejadian bencana. Kalau kita rata-rata harian dalam satu hari paling tidak kita memiliki tiga kali bencana, ini cukup luar biasa,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari seperti dikutip dari Sinpo.id, Senin (9/5/2022).
Mayoritas bencana alam yang terjadi terkait dengan hidrometeorologi basah yang mirip dengan kondisi kebencanaan 2021 lalu.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, korban luka-luka akibat bencana, korban terdampak dan mengungsi, hingga rumah rusak berkurang dari 2021. Namun parameter warga yang meninggal dan hilang akibat bencana meningkat pada tahun ini.
Daerah yang paling sering mengalami bencana antara lain Provinsi Aceh, Sumatera Barat (Sumbar), Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Barat (Jabar). Kemudian Kalimantan Selatan (Kalsel) serta Sulawesi Selatan (Sulsel).
Muhari lalu mengimbau kepada tujuh provinsi tersebut untuk melihat kembali kondisi lingkungan. Terutama sungai, pegunungan, perbukitan, serta daerah resapan air.
“Kondisi daerah sepanjang aliran sungai yang mungkin selama ini terjadi pendangkalan dan penyempitan harus kita benahi bersama,” ujar Muhari.
Kendala Peringatan Dini Bencana
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkap ada tiga kendala peringatan dini bencana di Indonesia. Pertama, sistem informasi tidak berjalan baik.
Ia mengambil contoh jika BMKG mengirimkan peringatan dini bencana ke pemerintah daerah, informasi tidak sampai. Penyebab bisa beragam, di antaranya tidak ada petugas yang menjaga sistem atau sistem lumpuh karena diguncang gempa bumi.
“Sehingga meskipun BMKG mengirimkan peringatan dini, namun apabila di daerah sistemnya tidak berjalan karena berbagai hal sehingga masyarakat di lokasi bencana tidak menerima, itu korban juga akan berjatuhan,” jelas Dwikorita seperti dikutip dari Liputan 6, Senin (9/5/2022).
Ia mendorong pengawasan sistem peringatan dini di daerah dilakukan selama 24 jam. Selain itu, ia meminta dukungan BNPB untuk menyiapkan satelit bencana. Satelit bencana ini berfungsi mengawasi masuknya sistem informasi peringatan dini baik dari BMKG maupun Badan Geologi Kementerian ESDM.
“Satelit untuk bencana yang menjaga agar informasi dari BMKG, Badan Geologi yang sudah dikirimkan itu bisa tersebar sampai ke pelosok. Kalau sekarang kadang-kadang ada hambatan-hambatan jaringan komunikasi,” ucapnya.
Kendala kedua, masyarakat belum memahami peringatan dini bencana. Sehingga meskipun peringatan dini sudah sampai ke pemerintah daerah, masyarakat belum mengetahui tindak lanjutnya.
Guna meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap peringatan dini bencana, Dwikorita menilai perlu kerja sama semua pihak untuk melakukan edukasi dan literasi.
“Kami terus berupaya bekerja sama dengan BNPB, Badan Geologi, dengan pihak terkait dan pemerintah daerah, ada sekolah LAPAN Gempa Bumi dan Tsunami, beberapa sekolah LAPAN, sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman,” terangnya.
Terakhir, kesadaran masyarakat untuk melakukan evakuasi dini masih rendah. Ini yang menyebabkan jumlah korban bencana masih banyak. Menurut Dwikorita, kesadaran masyarakat menyelamatkan diri dari bencana harus dimulai dari level terkecil, yakni keluarga.
“Belajar dari Jepang, di sana mayoritas selamat dari bencana karena di level keluarga sudah siap siaga bahkan budayanya sudah terbangun,” pungkasnya. [wip]