(IslamToday ID) – Rencana kenaikan tarif masuk Candi Borobudur menjadi Rp 750.000 per orang yang diwacanakan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengundang kritik keras dari guru besar ilmu sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Margana. Ia menduga wacana tarif naik itu hanya akal-akalan pemerintah untuk mengundang investor.
“Mengatasnamakan konservasi Candi Borobudur, tapi sebenarnya merupakan kebijakan yang kapitalis,” katanya seperti dikutip dari Tempo, Selasa (7/6/2022).
Menurut Margana, hal itu ditengarai karena munculnya kampanye Candi Borobudur yang bakal menjadi tujuan pariwisata premium. Apalagi, katanya, pemerintah telah membentuk Badan Otorita Borobudur pada 2018 yang membawahi zona perbukitan Menoreh yang membentang dari Purworejo dan Kulon Progo.
Dikutip dari situs resminya, Badan Otorita Borobudur mengembangkan zona otorita seluas 309 hektare yang merupakan kawasan pariwisata eksklusif. Di zona otorita ini akan dibangun berbagai fasilitas wisata bertaraf internasional, seperti hotel dengan konsep glamorous camping, eco resort, serta Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) yang diklaim dapat meningkatkan nilai investasi di zona otorita Badan Otorita Borobudur.
Dampaknya, menurut Margana, investor yang umumnya justru berasal dari luar DIY dan Jawa Tengah akan berdatangan. Ia mengatakan mereka akan membangun banyak hotel dan restoran yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki uang.
“Candi Borobudur jadi seperti panggung untuk orang-orang kaya. Seolah yang berbudaya hanya mereka yang memiliki uang, itu tidak adil,” kata Margana.
Wacana tarif naik yang fantastis itu, kata Margana, hanya akan menciptakan kasta. Mereka yang naik ke Borobudur bisa membayar Rp 750.000, sedangkan yang tak mampu membayar hanya bisa melihat Borobudur dari pelataran dengan biaya Rp 50.000. “Wacana itu seperti membangun kembali sistem kasta,” katanya.
Adapun Margana sepakat dengan adanya pembatasan jumlah pengunjung Borobudur. Hal itu, katanya, perlu dilakukan untuk menjaga Borobudur. Pembatasan kuota pengunjung juga harus disertai edukasi agar wisatawan tak merusak candi.
Ia mengatakan semestinya pembatasan jumlah pengunjung tak perlu diikuti dengan kenaikan harga yang fantastis. Menurutnya, tak ada jaminan bahwa yang membayar Rp 750.000 tak merusak candi.
“Wacana tarif naik itu ugal-ugalan. Ibarat orang sakit kulit, tidak diobati, tapi dikasih baju mewah. Langkah kenaikan tarif itu tidak relevan untuk menyelesaikan masalah preservasi,” katanya.
Menurut Margana, langkah pertama yang perlu dilakukan untuk menjaga Borobudur adalah menempatkan kepentingan preservasi. Preservasi adalah upaya untuk merawat candi agar situsnya tak rusak.
Sedangkan, menurutnya, konservasi adalah upaya mengelola candi agar menjadi kawasan yang aman, bermanfaat untuk kebutuhan sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan, dan juga bisa memberi nilai tambah untuk perekonomian dan kesejahteraan rakyat. “Jadi pastikan kondisi candi aman dulu. Baru dimanfaatkan untuk kepentingan publik,” kata Margana.
Guna memastikan kondisi candi, pemerintah bisa saja menutup sementara untuk naik ke candi yang berlaku untuk semua lapisan masyarakat. “Kalau tak boleh naik ke candi, ya tidak boleh semua. Baik yang punya uang dan tidak,” kata Margana.
Ia pun meminta pemerintah memberikan keterangan yang jelas mengenai tujuan kenaikan tarif naik ke Borobudur. “Jangan bikin dalih. Kalau kebijakannya melahirkan keresahan, masyarakat cukup cerdas untuk mengoreksi,” pungkasnya. [wip]