ISLAMTODAY ID— Munculnya pasangan gay dalam podcast Deddy Corbuzier pada 7 Mei 2022 menjadi perhatian serius sejumlah pihak. Podcast tersebut akhirnya dihapus pasca ramainya tagar #UnsubscribePodcastCorbuzier.
Bagi masyarakat Indonesia podcast yang menampilkan pasangan gay itu sangat tidak pantas untuk ditonton. Podcast ini dinilai bagian dari propaganda gerakan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) di Indonesia.
Perilaku kaum LGBT dinilai telah melanggar norma agama dan norma masyarakat yang berlaku di Indonesia. Bahkan telah melanggar ketentuan dalam konstitusi negara.
Ironisnya propaganda LGBT masuk ke Indonesia dengan sangat halus melalui film kartun, anime, komik, hingga novel. Salah satunya yang sempat heboh ialah My Little Pony, animasi kartun produksi Hasbro Studios, Amerika yang sudah tayang di televisi nasional Indonesia sejak tahun 2016.
Dilansir dari republika edisi (14/6/2019), My Little Pony pada Juni tahun 2019 menampilkan pasangan lesbian, Aunt Holiday dan Aunty Lofty. Selain My Little Pony kartun lainnya yang juga menjadi alat propaganda LGBT ialah Powerpuff Girl, Arthur, hingga Spongebob.
Propaganda mereka makin masif seiring perkembangan dunia digital seperti youtube, instagram, facebook, twitter, tiktok hingga berbagai aplikasi kencan online.
Paparan LGBT telah menjangkiti anak-anak dan remaja di Indonesia. Fakta mengejutkan ini diungkapkan oleh Drone Emprit pada 9 Oktober 2021, menemukan 7.751 percakapan di twitter.
Agenda propaganda LGBT di Indonesia juga terungkap dalam buku laporan riset internasional PBB ‘Being LGBT in Asia’ tahun 2013 berjudul ‘Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia’. Mereka memanfaatkan HAM sebagai strategi mendapatkan pengakuan hukum di Indonesia.
“Setelah peristiwa dramatis tahun 1998 yang membawa perubahan mendasar pada sistem politik dan pemerintahan Indonesia, gerakan LGBT berkembang lebih besar dan luas dengan pengorganisasian yang lebih kuat di tingkat nasional, program yang mendapatkan pendanaan secara formal, serta penggunaan wacana HAM untuk melakukan advokasi perubahan kebijakan di tingkat nasional,” dikutip dari buku laporan PBB hlm. 9.
Pengondisian Masyarakat
Guru Besar Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Taufik Kasturi mengungkapkan propaganda LGBT yang berlangsung masif merupakan bentuk pengondisian masyarakat. Pengondisian ini akan dianggap berhasil mana kala berhasil mengubah persepsi perilaku LGBT yang menyimpang itu diterima masyarakat.
“Suatu hal yang dibiasakan terus menerus merupakan bentuk pengkondisian, sehingga masyarakat lama-lama menganggapnya hal yang biasa,” kata Prof. Taufik kepada ITD NEWS pada Senin (23 /05/2022).
Kaum LGBT dengan orientasi seksualnya yang menyimpang dikhawatirkan mampu mengubah persepsi masyarakat. Perilaku yang selama ini dinilai tidak normal itu jika didiamkan akan mendapat tempat.
“Kalau itu dilakukan secara simultan, terus menerus, lama-lama dianggap biasa, lama-lama perilaku yang tidak normal itu menjadi seakan-akan perilaku normal oleh masyarakat,” tutur Prof. Taufik.
Ada dua pendapat tentang perilaku dan gaya hidup LGBT. Ilmu psikologi Barat cenderung sekuler lebih open, sementara psikologi Islam sangat tegas mengatakan perilaku LGBT adalah penyimpangan seksual.
“Karena psikologi secara luas (umum) tidak berbasis pada nilai-nilai agama mereka lebih open, tapi kalau psikologi Islam, LGBT adalah suatu penyimpangan seksual yang itu harus dibantu mereka untuk kembali kepada fitrahnya yaitu heteroseksual,” ucap Prof. Taufik.
Gerakan Transnasional
Peneliti Institute for the Study of Islamic Tought and Civilizations (INSISTS), Dr. Dinar Dewi Kania, gerakan LGBT adalah gerakan transnasional.
“Gerakan homoseksual ini adalah gerakan transnasional (melewati batas negara-Pen) yang pertama dilakukan oleh masyarakat Barat,” ungkap Dr. Dinar kepada ITD.
Dr. Dinar menambahkan menurut handbook of homosexuality, gerakan LGBT sengaja dikembangkan melalui berbagai cara termasuk pendidikan. Masyarakat Barat yang sekuler menemukan konsep baru dalam seksualitas yang dikembangkan berdasarkan ilmu sosiologi yakni gender.
“Dan di situlah mahasiswa Indonesia, terutama jurusan humaniora itu banyak dikirim ke luar untuk sekolah,” ujarnya.
Propaganda Ilmu Pengetahuan
Propaganda LGBT ke seluruh dunia dilakukan dengan tiga argument homo politic atau gay politic. Propaganda tersebut diselundupkan lewat tiga bidang keilmuan yakni biologi, sosiologi dan psikologi.
Secara biologi para aktivis pro LGBT mengklaim bahwa seorang gay atau homoseksual terjadi karena faktor genetik. Propaganda ini disebarluaskan ke seluruh dunia termasuk Indonesia.
“Padahal banyak penelitian lainnya yang mengatakan bahwa faktor utama dari gay itu adalah sosial bukan secara biologi tapi ya itu ada (gerakan) gay politic di sini,” ungkap Dr. Dinar.
Setelah gagal menggunakan ilmu biologi, propaganda dilakukan dengan berlindung di bawah ilmu sosiologi. Para sosiolog Barat memberikan pembelaan terhadap LGBT yang saat itu masih dinilai sebagai penyimpangan sosial.
“Yang tadinya LGBT itu dianggap penyimpangan sosial lalu dengan ahli-ahli sosiologi Barat itu dikenalkan bahwa ini bukan penyimpangan seksual, ada konsep gender dan lain-lain oleh ahli sosiologi,” tutur Dr. Dinar.
Modus propaganda LGBT ketiga bagian dari gay politic melalui ialah lewat ilmu psikologi. Gay sebelum tahun 1973 termasuk dalam gangguan jiwa atau mental illness.
Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) yang saat itu sudah susupi oleh kelompok feminis mengeluarkan LGBT dari kategori gangguan jiwa. Ketiga gerakan gay politic yang mendukung propaganda LGBT itu lalu disebarluaskan dengan berbagai cara.
“Jadi ketika ketiga argumen ini (dipropagandakan) secara masif melalui akademik, kebijakan-kebijakan internasional masuk (ke Indonesia) lewat LSM, globalisasi, medsos dan lain-lain,” ucap Dr. Dinar.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Taufik. Ia melihat gerakan LGBT sebagai gerakan politik yang bersifat global dan mendunia.
“LGBT sudah masuk ke ranah gerakan politik yang bersifat global atau universal yang tidak hanya tataran lokal atau sektoral tapi sudah gerakan mendunia,” ujar Prof. Taufik.
Prof. Taufik mengungkapkan modus di balik gerakan LGBT yang mendunia itu ialah keinginan mereka untuk diterima. Mereka sadar jika pengesahan undang-undang pro LGBT hanya akan memantik kemarahan publik maka mereka perlu bermanuver.
“Mereka mulai mengupayakannya dengan cara melakukan tahapan-tahapan penerimaan seperti penerimaan identitas, (lalu) penerimaan sosial,” jelasnya.
“Kemudian penerimaan politik, mereka diakui eksistensinya untuk menduduki posisi tertentu dalam bidang politik, dan sampai tujuan akhirnya adalah penerimaan secara hukum,” tutur Prof. Taufik.
HAM Pintu Masuk LGBT?
Propaganda LGBT tidak hanya menggunakan strategi gay politic mereka juga berlindung dibawah penanggulangan HIV AIDS dan pengakuan hak asasi manusia (HAM). Pada tahun 2000-an keduamodus ini menjadi alibi baru bagi propaganda LGBT di Indonesia.
“Tahun 2000-an di Indonesia, mereka (aktivis LGBT) sudah go internasional menjadi mitra Komisi Aids Nasional, mendompleng isu aids ini. (Lalu) tahun 2010-an (LGBT) masuk melalui isu HAM,” ujar Dr. Dinar.
Propaganda LGBT melalui HAM ini dikenalkan Barat kepada para mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Barat. Sejumlah LSM-LSM internasional bahkan melakukan kaderisasi aktivis-aktivis untuk mendukung gerakan LGBT.
“(Mereka) dikasih pemahaman bahwa LGBT ini harus diadvokasi, dikasih haknya, diberikan atas nama HAM,” tuturnya.
Sementara itu Prof. Taufik menyoroti tentang penggunaan sentimen HAM yang dilakukan oleh kelompok LGBT. Mereka sengaja menggunakan nilai-nilai kemanusiaan sebagai cara untuk mendapatkan simpati masyarakat.
“Nilai-nilai umum (HAM) diakui sebagai bahasa umat manusia yang dimanapun di muka bumi ini akan menjunjung tinggi nilai-nilai kemnusiaan itu,” ucap Prof. Kasturi.
Biasanya penggunaan nilai-nilai HAM ini dijadikan sebagai hal utama ketika seseorang tidak lagi menjadikan agama sebagai panduan. Nilai-nilai seperti rasa ketidakadilan, kesamaan sosial, dan kesamaan hak menjadi alasan utama yang diperjuangkan.
“Nilai-nilai merasa ketidakadilan, nilai-nilai tentang kesamaan sosial, kesamaan hak ketika itu dilepaskan dari value agama maka akan cenderung ke arah sana, tidak berpikir tentang konsep fitrah,” jelas Prof. Taufik.
Sejarah persoalan atas HAM di kalangan LGBT mulai muncul semenjak mereka dikeluarkan dari kelompok mental disorder atau gangguan mental oleh para psikiatri Amerika. Hal ini terjadi ketika kelompok LGBT berhasil menguasai sektor ekonomi Amerika lalu menuntut untuk dikeluarkan dari kelompok tersebut.
“Karena sudah dikeluarkan dari list mental disorder maka kemudian maka harus memperoleh pengakuan, pengakuan itu berkembang menjadi hak asasi. Amerika yang paling awal sekarang gerakan internasional,” ujar Prof. Aidul.
LGBT Dihadapan Konstitusi Indonesia
Indonesia sebagai negara berketuhanan memberikan batasan dalam penegakkan HAM. HAM bagi bangsa Indonesia adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Pelaksanaan HAM di Indonesia tentu saja disesuaikan dengan konstitusi negara, Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Pembatasan HAM inilah yang secara tegas tidak akan memberikan pengakuan HAM kepada LGBT.
“Salah satu pembatasan hak asasi di Indonesia, berdasarkan agama, pembatasan hak asasi manusia itu pasal 28 J ayat dua,” ungkap Pakar Hukum Tata Negara UMS, Prof. Aidul Fitri Ciada Azhari kepada ITD.
Berikut kutipan Pasal 28J ayat 2: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
“(Pasal) 28, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dilakukan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, (dan) nilai-nilai agama,” tutur Prof. Aidul.
Pasal tersebut merupakan aturan tegas yang melarang LGBT di Indonesia. Hal inilah yang membedakan Indonesia dan negara luar, yang melandaskan sesuatu dengan moralitas.
“Bedanya dengan di luar, secara internasional tidak ada pembatasan berdasarkan agama hanya moralitas,” ujar Prof. Aidul.
Dilema Pidana dan Ancaman Populasi
Pemidanaan pelaku LGBT juga mengundang kekhawatiran. Kekhawatiran tersebut ialah bahaya penularan LGBT kepada napi lainnya di dalam penjara.
“Jangan-jangan dipenjara (semakin jadi), penjara kan laki-laki semua jangan-jangan satu penjara jadi homo, jadi gay semua. Karena menular, gaya hidupnya bisa menular,” ungkap Prof. Aidul.
Menurutnya penyelesaian LGBT bisa dilakukan dengan cara di luar hukum. Baik dari sisi pendekatan keagamaan maupun ekonomi.
Pemerintah diharapkan membuka lapangan pekerjaan yang sejalur dengan proses industrialisasi. Misalnya dengan mengembangkan sektor manufaktur atau industri yang membutuhkan tenaga besar.
“Pemerintah harus seiring dengan proses industrialisasi, kita harus memperbesar sektor manufaktur. Sektor manufaktur kan sektor yang maskulin,” ujar Prof. Aidul.
Mengapa hal ini perlu dilakukan, hal ini terutama jika merunut pada sejarah kelahiran LGBT. Jika merunut sejarah munculnya gerakan LGBT tidak bisa lepas dari revolusi industri ketiga yang terjadi pada tahun 1970-an.
“Aspek ekonominya lebih banyak, kalau secara sejarah ini terkait dengan perkembangan industri. Bisa kita lacak perang dunia pertama itu ditandai oleh laki-laki banyak bertempur, perempuan di rumah, perempuan terdorong masuk ke sektor publik,” ungkap Prof. Aidul.
“Tahun 1970-an terjadi revolusi industri ketiga, ketika elektronik lebih akomodatif terhadap perempuan dibanding manufaktur. Cara laki-laki untuk bersaing itu dengan mengembangkan tipologi pekerjaan yang sama dengan perempuan,” terangnya.
Fenomena tersebut membuat dunia kerja mengalami feminisasi, sektor jasa dikuasai perempuan. Hal ini memungkinkan munculnya pekerjaan bertipologi perempuan pun semakin berkembang seperti industri fashion, hingga industri hiburan.
Prof. Aidul menambahkan pemberlakuan hukum pidana menurutnya sebagai upaya terakhir atau ultimum remedium. Sebelum itu pemerintah atau negara harus memberlakukan upaya non yuridis misalnya pendampingan sosial, perbaikan ekonomi.
“Saya cenderung untuk melihat pidana bukan upaya satu-satunya, bagi saya pidana itu ultimum remedium jadi (pidana) itu upaya terakhir,” ujar Prof. Aidul.
“Tidak dikriminalisasi tapi upaya sosial melalui pembinaan, pendekatannya ekonomi juga, bagaimana memberikan pekerjaan-pekerjaan yang kualifikasi laki-laki,” jelasnya.
Reporter: Kukuh Subekti