ISLAMTODAY ID (SOLO)— Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akhirnya menggunakan hak konstitusionalnya melakukan judicial review (JR) atau uji materi terhadap aturan presidential threshold 20%. Presidential threshold tersebut dinilai terlalu tinggi dan ekstrim.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS, Mohammad Hidayat Nur Wahid mengungkapkan ketetapan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20% itu terlalu tinggi. Tingginya angka presidential threshold telah menimbulkan sejumlah permasalahan termasuk diantaranya pembelahan masyarakat.
“Secara pribadi dan secara partai tentu kami melihat bahwa presidential threshold yang 20% itu memang terlalu tinggi. Dan itulah yang menghadirkan pembelahan atau masalah-masalah pada pemilu tahun 2014 dan 2019,” kata Hidayat kepada ITD News saat ditemui di sela-sela acara Seminar Nasional dan Call for papers “Aktualisasi Pancasila Dalam Sistem Demokrasi Konstitusional Indonesia” di Solo pada Selasa, 5 juli 2022.
Pada kesempatan tersebut, tepatnya H-1 sebelum PKS resmi mengajukan JR ke MK pada Rabu (6/7/2022), ia mengatakan pihaknya akan mengajukan sebuah formula khusus tentang presidential threshold. Ambang batas pencalonan presiden seharusnya bukan pembatasan ekstrim yang berdampak pada semakin kecilnya peluang munculnya calon-calon pemimpin berkualitas.
“Presidential threshold itu diperlukan tetapi jangan yang kemudian membuat terjadinya pembatasan ekstrim yang mengakibatkan peluang yang sangat tipis bagi munculnya calon-calon alternatif, calon-calon berkualitas dari rakyat,” ujar Hidayat.
Ia memberikan sejumlah catatan komentarnya terkait ketetapan presidential threshold 20% yang selama ini berlaku. Salah satunya kekhawtirannya akan adanya pembiaran dan pelanggengan masalah yang sebenarnya ada dalam Pemilu tahun 2014 dan tahun 2019.
“Hendaknya jangan yang terlalu ekstrim yang memberikan ketidakadilan, melanggengkan permasalahan seperti yang terjadi tahun 2014 dan 2019,” tutur Hidayat.
Optimis
Hidayat merasa optimis gugatan yang diajukan oleh PKS nantinya akan diterima Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini berdasarkan standing position atau legal standing PKS.
“Mahkamah Konstitusi sudah banyak menolak sekian banyak judicial review berbasiskan, penolakannya biasanya karena alasan standing positionnya, legal standingnya dianggap bermasalah,”
PKS merupakan salah satu partai politik peserta pemilu, sekaligus pihak yang dirugikan dengan aturan tersebut. Artinya PKS memenuhi legal standing yang selama ini menjadi basis penolakan MK terhadap banyak JR yang dilakukan oleh sejumlah tokoh dan sejumlah organisasi non politik.
“Yang maju (JR) sekarang individu-individu atau organisasi-organisasi non politik, mereka oleh MK dinilai tidak punya legal standing, karena anda tidak dirugikan yang dirugikan kan partai politik,” ucap Hidayat.
Ia lantas memberikan opsional tentang aturan presidential threshold yang paling mungkin bisa dilakukan di Indonesia. Salah satunya pada pemilu tahun 2004 atau pada aturan parliamentary threshold 4%.
“Presidential Threshold bisa merujuk pada yang sudah ada, bisa parliamentary threshold 4%, atau praktik pada tahun 2004 yaitu 15%, atau praktik di negara yang lain tetapi tidak menghadirkan liberalisasi keikutsertaan pemilu maupun otoritanism yang menghadirkan pembatasan,” tegasnya.
Peran Intelektual Kampus
Hidayat juga mengungkapkan harapannya kepada para akademisi dan intelektual dari kampus-kampus di Indonesia. Para intelektual harus mendukung dengan membangkitkan rasa optimis bagi sebuah perubahan presidential threshold.
“Para cendekiawan di kampus jangan ikut-ikutan menjadi ‘pak turut’, ikut-ikutan atau (justru) menyebarkan pesimisme,” ujar Hidayat.
Hidayat berujar permasalahan presidential threshold, bukan hanya persoalan politik untuk kepentingan politik semata. Persoalan presidential threshold juga bagian dari permasalahan rakyat.
“Masalah ini bukan masalah politik saja, ini juga masalah sosial, publik, masalah kaum terdidik, masalah kampus, masalah publik semuanya,”
Suara dari kaum intelektual kampus diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dari MK. Terutama dalam melihat sebuah masalah.
“Kampus dan para akademisi tetap (harus) menyuarakan sehingga MK selalu diingatkan, dikoreksi bahwa ini ada masalah,” ujar Hidayat.
Pada saat yang bersamaan kampus juga menjalankan peranannya di bidang pemberdayaan masyarakat. Kampus sebagai bagian penting dari pendidikan harus turut serta mencerdaskan umat dan masyarakat secara luas.
“Kampus harusnya menjadi bagian dari mendidik rakyat, mendidik umat, mendidik warga tentang demokrasi, demokratisasi, hak rakyat, kedaulatan dan itu yang dibenarkan,” tutur Hidayat.
“Nasib bangsa ini dipertaruhkan bukan hanya untuk partai atau oleh partai politik tapi oleh seluruh warga bangsa Indonesia, dan kampus adalah bagian dari pendidikan,” pungkasnya.
Reporter: Kukuh Subekti