(IslamToday ID) – Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mengkritik adanya hak remisi bagi pelaku kejahatan luar biasa atau extraordinary crime di dalam UU Pemasyarakatan yang baru disahkan pada Kamis (7/7/2022). Yang termasuk dalam jenis kejahatan luar biasa adalah kasus korupsi, narkoba, dan terorisme.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan vonis untuk tidak mendapatkan pengurangan hukuman bagi terdakwa sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, hingga kini hal itu tidak pernah dilakukan.
“KUHP sebenarnya sudah mengakomodir pencabutan hak (tidak mendapatkan remisi), selama ini belum pernah (diberikan kepada terdakwa),” ujar Boyamin seperti dikutip dari Kompas, Sabtu (9/7/2022).
“Maka, nanti mestinya (dilakukan) untuk tiga perkara ini kalau memang ada korupsi yang kerugian negaranya besar, triliunan misalnya, atau dilakukan secara sangat jahat misalnya, teroris dan narkoba pun juga begitu,” lanjutnya.
Kendati demikian, MAKI tetap menghormati UU Pemasyarakatan yang telah disahkan sebagai sebuah produk politik yang disetujui rakyat melalui wakil-wakilnya.
Dalam pandangan Boyamin, tidak ada yang salah dari niat menjadikan lembaga pemasyarakatan (lapas) menjadi tempat pembinaan bagi narapidana melalui pembuatan UU tersebut.
“Bahwa ini ada kehendak lebih memanusiakan orang yang di dalam tahanan atau dalam lapas, ya memang dalam konsep modern seperti itu,” papar Boyamin.
“Bahwa kemudian ada konsep untuk mendapatkan yang bergizi, mendapatkan hak-hak dasar itu ya kita hormati,” tambahnya.
Namun, Boyamin tetap menekankan pentingnya hukuman tinggi, misalnya vonis 20 tahun penjara bagi terdakwa kasus tindak pidana luar biasa sebagai efek jera. Sehingga, jika seorang terdakwa kasus tersebut memenuhi kriteria untuk mendapatkan pengurangan masa tahanan namun hukumannya yang akan dijalani masih tetap tinggi.
“Jadi kalau toh ada remisi, asimilasi, bebas bersyarat atau pengurangan-pengurangan yang lainnya maka masih tetap ancaman hukumannya tinggi. Konsep inilah yang mestinya diimbangi oleh putusan-putusan hakim di pengadilan,” papar Boyamin.
“Sehingga nanti kasus-kasus korupsi untuk efek jera itu selain ancaman divonis hukuman tinggi maka termasuk dicabut haknya untuk mendapat pengurangan, sehingga ya enggak dapat remisi segala macam. Jadi putusan hakim nanti mestinya itu,” tambahnya.
Adapun pengesahan UU ini dilakukan dalam Rapat Paripurna Ke-28 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022 yang berlangsung di ruang rapat Gedung DPR, Senayan, Jakarta. [wip]