(IslamToday ID) – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai keputusan pemerintah menghapus pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya hingga 31 Agustus 2022 berdampak pada penerimaan negara.
Seperti diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah mengeluarkan aturan mencabut biaya pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya. Aturan ini berlaku dari 15 Juli hingga 31 Agustus 2022.
Nailul menjelaskan, bila mengacu pada larangan ekspor sawit yang sempat berlaku selama sebulan, yaitu pada 28 Mei-23 April 2022, negara juga mendapat pemasukan dari bea keluar. Ketika itu potensi penerimaan yang hilang dari pajak ekspor diperkirakan Rp 6 triliun.
Kini dengan ekspor dibuka lebar, tapi sebaliknya pungutan ekspor dibuat Rp 0, maka kondisinya sebenarnya kurang lebih sama dengan saat larangan ekspor diberlakukan. Negara sama-sama kehilangan pendapatan.
Ia memperkirakan potensi penerimaan yang hilang hingga penghapusan pajak ekspor sampai 31 Agustus 2022 nanti mencapai Rp 9 triliun.
“Tentu ini juga kerugian, karena negara juga butuh uang untuk menghadapi pandemi Covid,” katanya seperti dikutip dari Liputan 6, Selasa (19/7/2022).
Nailul juga mengatakan kebijakan ini belum tentu berhasil membuat harga tandan buah segar (TBS) sawit naik. Sebab yang langsung diuntungkan dari kebijakan pungutan ekspor nol rupiah ini adalah para eksportir sawit. “Yang menikmati sebagian besar eksportir,” katanya.
Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani Indrawati telah mengeluarkan aturan mencabut biaya pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya. Aturan ini akan berlaku hingga 31 Agustus 2022 mendatang dan tertuang dalam PMK No 115 Tahun 2022.
“Jadi pungutan ekspor diturunkan Rp 0, 0 dolar AS kepada seluruh produk yang berhubungan dengan CPO dan sawit,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) Bali, Sabtu (16/7/2022).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menambahkan, pembebasan pungutan ekspor ini untuk mempercepat kinerja ekspor. Sebab ketika harga CPO naik, pemerintah melakukan pelarangan ekspor sebagai respons untuk memastikan kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Namun saat ini kegiatan ekspor CPO dan produknya sudah dibuka kembali. Sehingga untuk memulihkan ekspor, pemerintah mendorong dengan pembebasan pungutan ekspor. “(Jadi) kita mau mempercepat ekspor saja,” kata Febrio dalam acara yang sama.
Sebenarnya upaya serupa juga telah dilakukan. Tepatnya pada bulan Juni saat pajak harga melonjak tinggi. “Pajak ekspornya tinggi sekali di Juni, sudah bagus dan kami melihat perlu lebih cepat lagi. Jadi kita turunkan aja pungutan ekspor ke 0 hingga akhir Agustus,” jelas Febrio.
Ia mengingatkan, kebijakan ini hanya berlaku sampai 31 Agustus 2022. Lalu pada 1 September, tarif pungutan ekspor akan kembali menggunakan skema progresif sebagaimana dalam ketentuan PMK No 115 tahun 2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan. “Jadi nanti 1 September langsung naik lagi ke tarif yang progresif,” katanya.
Disinggung soal dampaknya terhadap penerimaan negara, Febrio mengatakan pungutan dan pajak ekspor CPO hanya salah satu indikator pendapatan negara. Ia memastikan adanya kebijakan ini tidak akan mempengaruhi penerimaan negara.
“Kan penerimaan negara cuma salah satu aspek yang kita lihat, penerimaan negara sih aman. Anda lihat aja penerimaan kita masih tinggi 40 persen (yoy), jadi kita masih aman,” katanya.
Ia menambahkan penggunaan pajak hanya sebagai salah satu instrumen fiskal dari penerimaan ini adalah PNBP. Sehingga tidak selamanya harus mengutamakan penerimaan.
“Kadang kala dalam konteks ketersediaan supply lebih penting agar menjaga, agar ekspor lebih cepat juga penting. Jadi dalam konteks penerimaan negara, enggak terlalu berdampak besar,” pungkasnya. [wip]