(IslamToday ID) – Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) menolak tegas legalisasi pernikahan beda agama. DDII menyatakan alasan HAM tidak bisa dipakai untuk pernikahan beda agama karena HAM ada batasnya.
“Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan HAM bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara mutlak tanpa memperhatikan hak orang lain,” kata Juru Bicara DDII Abdullah Al Katiri yang disampaikan dalam sidang MK sebagaimana dilansir website MK, Selasa (19/7/2022).
DDII menilai HAM yang dianut konstitusi Indonesia bukanlah kebebasan individualisme. Dasar filosofis HAM tersebut bukanlah kebebasan individualis, melainkan menempatkan manusia dalam hubungannya dengan bangsa.
“Dan hal tersebut dipertegas pada frasa berikutnya pada alinea ketiga Pembukaan Undang‐Undang Dasar Negara Tahun 1945 sebagai berikut, ‘Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya’,” ucap Abdullah seperti dikutip dari DetikCom.
Dalam UUD 1945, pengaturan mengenai HAM tercantum dalam satu bab tersendiri. Yaitu dalam Bab 10A dengan 10 Pasal serta 24 ayat, yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J terkait jaminan HAM dan penegakan hukum untuk menjamin tegaknya HAM sebagai sebuah pilar negara hukum.
“Rumusan mengenai HAM ini sangat lengkap yang mencakup seluruh aspek yang diakui secara universal. Dan yang perlu dipahami dengan teliti dan seksama adalah seluruh HAM yang tercantum dalam Bab 10A UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Ketentuan HAM dapat dibatasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang HAM,” beber Abdullah.
Sistematika pengaturan mengenai HAM dalam UUD 1945 tersebut sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal pembatasan HAM sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) berbunyi:
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society”.
“HAM yang dianut konstitusi Indonesia mengatur setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang juga bersifat asasi, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan untuk alasan apapun tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban, tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di mana pun ia berada, harus dijamin hak‐hak dasarnya, pada saat yang bersamaan, setiap orang di mana pun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini, merupakan ciri penting pandangan bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab,” ungkap Abdullah.
Atas pertimbangan itu, DDII meminta MK menolak permohonan pemohon untuk melegalkan pernikahan beda agama. “Menolak permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya atau setidak‐tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),” kata Abdullah.
Sebagaimana diketahui, permohonan ini diajukan oleh perorangan beragama Katolik yang berdomisili di Kampung Gabaikunu, Papua, E Ramos Petege. Dalam permohonannya, ia hendak melangsungkan perkawinan dengan perempuan pemeluk agama Islam. Namun karena terkendala UU Perkawinan, Petege tidak bisa melangsungkan pernikahan.
“Lembaga‐lembaga HAM dunia, termasuk organisasi non pemerintah seperti Amnesty International menganggap hak untuk menikah dan membentuk keluarga ini adalah bagian dari hak asasi manusia. Berbagai komentar umum Komite HAM PBB, putusan-putusan Komite HAM Umum PBB ketika memeriksa kasus-kasus perselisihan antara warga negara dengan negara anggota PBB terkait pernikahan menyatakan ‘tidak boleh ada keraguan untuk membolehkan pernikahan beda agama di dalam berbagai kasus negara‐negara tersebut’,” ungkap ahli dari pemohon, Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid di persidangan. [wip]