(IslamToday ID) – Ekonom senior Didik J Rachbini mengkritik pemerintah terkait pengelolaan uang pajak yang habis hanya untuk membayar utang.
Ia mengatakan pemerintah selama pandemi Covid-19 mematok defisit anggaran sangat tinggi. Bahkan pada 2020, tembus 6,14 persen dari PDB atau Rp 947,6 triliun. Nilai ini naik tiga kali lipat dari defisit 2019 sebesar 2,2 persen dari PDB atau Rp 353 triliun.
Adapun, penerimaan pajak terealisasi Rp 1.069,98 triliun di 2020 dan meningkat jadi Rp 1.277,5 triliun di tahun 2021. Namun, Didik melihat penerimaan pajak ini hampir sama jumlahnya dengan defisit anggaran atau penarikan utang setiap tahunnya.
Defisit APBN adalah selisih kekurangan antara penerimaan negara dan belanja negara. Artinya saat belanja Rp 2.000 triliun dan penerimaan hanya Rp 1.000 triliun, maka pemerintah butuh utang Rp 1.000 triliun untuk menutupi belanja, ini yang dinamakan defisit.
“Misalnya, pajak cuma Rp 1.400 triliun, defisit di atas Rp 1.000 triliun, jadi hampir seluruh pajak untuk bayar defisit,” ujarnya dikutip dari acara TVOne, Jumat (22/7/2022).
Menurut Didik, hal tersebut yang membuat tumpukan utang makin besar. Sebab, uang pajak habis hanya untuk membayar defisit di tahun anggaran yang sama.
Sementara itu, untuk membayar utang lama dan bunganya harus menarik utang baru. Alhasil, pemerintah sekadar gali lubang tutup lubang dalam pengelolaan utang.
“Dan (belum lagi) utang sendiri untuk pokok dan bunga. Jadi seluruh perolehan pajak rakyat Indonesia sama dengan utang (defisit) yang kita buat setiap tahun,” jelasnya dikutip dari CNN Indonesia.
Didik juga menanggapi penjelasan Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Abdurohman yang mengatakan defisit Indonesia lebih baik dibandingkan negara-negara lain yang capai dua digit selama pandemi Covid-19.
Menurut Didik, jangan membandingkan utang dengan negara lain dari sisi angka, tetapi juga dari seberapa besar penarikan utang setiap tahun. Ia pun mencontohkan perbedaan beban APBN Indonesia dan Jepang dalam membayar bunga setiap tahun dengan nominal utang yang sama.
Misalnya, beban utang Indonesia dan Jepang sama-sama Rp 7.000 triliun. Namun, bunga yang ditetapkan Jepang hanya 0,2 persen, sedangkan Indonesia mencapai 7-8 persen.
“Jadi kalau kita punya utang, dan Jepang punya utang Rp 7.000 triliun, dia hanya bayar (bunga) Rp 14 triliun, Indonesia harus bayar (bunga) Rp 400 triliun. APBN-nya dikuras Rp 14 triliun, kalau kita bunga 7-8 persen bisa Rp 400 triliun, kan beda jauh,” pungkasnya. [wip]