ITD NEWS— Rencana pemerintah untuk menghapus listrik berdaya 450 VA membuat rakyat dirugikan. Rakyat harus menanggung beban atas kebijakan ketenagalistrikan yang dibuat antara pemerintah dan investor swasta.
Ironisnya kebijakan yang memaksa rakyat untuk menaikkan daya listriknya justru didukung oleh DPR. Sikap DPR sebagai wakil rakyat pun patut dipertanyakan.
“Apakah masuk akal DPR sebagai WAKIL RAKYAT “memaksa” rakyat menaikkan daya listrik dengan alasan bahwa terjadi kelebihan daya dari pembangkit swasta ke PLN?,” kata Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) periode 2005-2010, Muhammad Said Didu dalam tweetnya pada Rabu (14/9/2022).
Dukungan DPR membuktikan bahwa mereka secara terang-terangan mendukung kepentingan para penguasa, dan pengusaha. Mereka dengan terang-terangan mengorbankan kepentingan rakyat.
“Ini sudah jelas-jelas mereka memperjuangkan kepentingan penguasa dengan mengorbankan rakyat,” tegas Said Didu.
Swastanisasi Listrik
Problem kelistrikan ini pernah dikhawatirkan oleh Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) pada tahun 2016 lalu. Para pekerja menolak munculnya klausul ‘take or pay’ yang dinilai berpotensi merugikan PLN di kemudian hari.
“Untuk mencegah kerugian yang semakin lama semakin besar, kami meminta kepada Dirut PLN untuk menghilangkan atau membatalkan klausul take or pay dalam setiap perjanjian jual beli listrik dengan pihak swasta,”Ketua Umum SP PLN periode 2016-2019, Jumadis Abda di Jakarta, dilansir dari pikiranrakyatcom, Kamis 22 Desember 2016.
“Hanya pembangkit yang lebih andal dan murahlah yang terlebih dahulu mendapat prioritas untuk dioperasikan dan masuk sistem sesuai dengan merit order yang optimal,” tegasnya.
Tahun 2016 silam salah satu konsekuensi masuknya pembangkit listrik swasta ialah distopnya PLTU Bukit Asam. Sebab sejak beroperasinya pembangkit listrik swasta, Independent Power Producer (IPP) China Sumsel 5 yang mulai beroperasi sejak 29 November 2016.
Kemunculan pembangkit-pembangkit listrik swasta ini mulai muncul dalam proyek besar listrik 35.000 megawatt (MW). Proyek ini diprediksikan masih akan selesai pada tahun 2030.
Berdasarkan hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2020, terungkap bahwa proyek mercusuar di bidang kelistrikan ini dimulai sejak tahun 2015. Proyek 35.000 MW tersebut digarap dengan skema 25% PLN dan 75% swasta.
Upaya swastanisasi listrik seharusnya lebih diatur lagi agar tidak merugikan negara. Bahkan menurut amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 2, kelistrikan termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus tetap dikuasai oleh negara mulai dari hulu di pembangkit sampai sisi hilir di distribusinya. (Kukuh Subekti)