(IslamToday ID) – Aktivis HAM Haris Azhar berbicara soal banyaknya oknum polisi yang menyalahgunakan wewenang. Menurutnya, polisi sebetulnya adalah pembela HAM namun menjual kewenangannya.
“Sebetulnya polisi itu adalah pembela HAM. Dia adalah institusi yang orang-orangnya dipaksa untuk menjadi pelindung hak asasi manusia,” kata Haris dalam diskusi Kopi Party Movement bertajuk ‘Quo Vadis Reformasi Total Polri’, dikutip Kamis (20/10/2022).
Ini karena Polri memiliki dua fungsi, meskipun dalam UU No 2 Tahun 2002 ada tiga fungsi, yaitu keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum. “Tapi keamanan dan ketertiban itu kurang lebih satu angle lah. Dia angle soal penggunaan kekuatan fisik,” kata Haris.
Sementara penegakan hukum berarti Polri sebagai ujung tombak penegakan hukum. Fungsi itulah yang membuat Polri diberi alat dan kewenangan, karena negara berkewajiban melindungi dan memberikan pelayanan hukum pada rakyat.
“Tetapi, alat dan kewenangannya itu disalahgunakan. Nah, kita ada di gelombang ketiga kejahatan negara dalam bidang ekonomi dan hukum,” ujar pendiri Lokataru Foundation ini.
“Gelombang pertama, dulu itu dilakukan dengan mobilisasi kekuatan fisik, jadi orang diculik, dibunuh, diberondong di jalanan. Dulu banyak, sekarang ada meski nggak sebanyak dulu,” imbuhnya dikutip dari Law-Justice.
Sementara itu, lanjut Haris, gelombang kedua adalah dimana para aparat negara disuap sehingga mentalitasnya digaji lalu disuap.
“Nah, di gelombang ketiga ternyata yang menyuap itu posisinya ada di institusi negara. Jadi yang berbisnis itu sudah para pejabat negara,” kata Haris.
“Jadi, bayangkan di dalam negara itu isinya orang-orang yang punya kepentingan bisnis tapi juga punya kewenangan hukum,” lanjutnya.
Ia melanjutkan, itu adalah salah satu temuan dari para analis di bidang ekonomi-politik. Para analis itu juga berpendapat, ekonomi-politik suatu negara hancur karena tidak ada fairness dan yang ada hanya akumulasi kekuasaan, kepentingan, dan juga modal di satu kelompok.
Menurut Haris, ada kesadaran bahwa mereka punya kewenangan. Itulah mengapa, lanjutnya, pejabat-pejabat tinggi di institusi-institusi yang punya senjata dan penegakan hukum sudah punya saham di sana dan menjadi owner perusahaan tambang atau perusahaan sawit.
“Situasi itu balik ke poin saya awal, polisi akhirnya pamrih, menjual kewenangannya,” kata Haris.
Menurutnya, polisi harusnya melindungi HAM. Namun, justru menjual kewenangannya dan akhirnya ketika dipraktikkan siapa yang bisa beli memunculkan diskriminasi.
“Jadi dalam banyak kasus mereka tunduknya pada uang dan kekuasaan. Akhirnya kalau masyarakat nggak punya kekuasaan, nggak punya uang, apakah dia jadi korban, jadi pelapor, jadi tersangka, kalau Anda tidak punya kekuasaan dan uang, Anda wassalam (selesai). Anda akan mengalami kiamat hukum,” kata Haris.
Hanya untuk Menenangkan Publik
Haris juga menyoroti presiden yang membicarakan gaya hidup Polri, tapi tidak membahas isi rekening dan sumber uang mereka.
“Mestinya kalau mau ngomong, hentikan keterlibatan praktik-praktik bisnis atau menggunakan kewenangan hukum untuk mencari uang, bukan soal gaya hidup. Kalau gaya hidup, tapi kantongnya tetap diisi sama uang-uang yang sumbernya tidak patut kan sama aja bohong,” kata Haris.
“Itu menunjukkan bahwa presiden kurang paham apa yang dibutuhkan masyarakat soal Polri hari ini,” imbuhnya.
Ia melanjutkan, presiden mungkin begitu untuk menenangkan publik di tengah gegap gempita kasus Sambo, Kanjuruhan, sampai Teddy Minahasa. “Ini kan puncak gunung es, di bawah-bawah masih banyak,” kata Haris.
Ia juga membahas soal reformasi kepolisian yang menurutnya tidak hanya bertumpu pada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. “Sekarang bagaimana cara mereformasi Polri? Kita nggak bisa berharap hanya dari Pak Listyo Sigit,” ujar Haris.
Ia menyebut banyak momentum untuk mereformasi, tapi komitmennya kurang. Misalnya, pemanggilan Kapolri, Kapolda, dan Kapolres se-Indonesia oleh Presiden Jokowi, dimana ia membicarakan mengenai gaya hidup anggota Polri yang bisa memantik kecemburuan sosial.
“Kalau menurut saya, ungkap saja kasus-kasus yang besar-besar, yang melibatkan pejabat Polri,” kata Haris.
Ia melanjutkan, Mabes Polri tidak perlu mengungkap kasus kecil seperti penangkapan satwa liar. Menurutnya, Mabes Polri harusnya mengungkap kasus-kasus besar yang complicated. “Tidak usah mikirin survei persepsi publik, opini publik. Nggak ada itu di undang-undang bahwa Polri itu harus hidup dari opini publik,” pungkasnya. [wip]